Keumala, the Power of Nanggroe


Roda kendaraan menggelinjang menuruni jalan berbatu, sesekali dihindarinya gelitikan semak belukar dari kiri kanan jalan yang berebut menggapai tubuhnya. Melihat kondisi jalan yang kami lalui, bisa dipastikan sangat jarang kendaraan yang sengaja untuk berlalu lalang di sini.

Jelang tujuan, mata berulang menyusuri kembali pesan-pesan yang dikirimkan oleh sang Penerima Pesan sehari sebelum berangkat ke Nanggroe. Petuah untuk menyiapkan hati menghalau kecewa jika nanti mendapati hal yang jauuuuuuuh dari harapan bila bertandang ke benteng IBU.

“Jangan lewatkan pemandangan indah menuju benteng.”
“Kalau ke benteng jangan sedih ya, di sana tak ada satu pun yang tersisa.”

benteng inong balee
Perempuang Keumala di Benteng Inong Balee

Sebuah monumen terpancang dengan huruf-huruf yang sudah pupus samar terbaca, Benteng Inong Balee. Kurengkuh Perempuan Keumala, tak menghiraukan panas yang menyengat ikuti langkah dan kata hati menyusuri benteng dari sisi timur ke utara. Ingin kudengar pekik sorak seribu laskar Inong Balee dan gemerincing gelang kaki beradu kala berlatih di tengah lapangan ini! Andaikan bisa, ingin kuputar waktu menyusuri masa itu, andaiiii.

Meski telah siap lahir bathin, tak urung hati dan mata getir menyusuri setiap sudut benteng. Tak tampak jejak kejayaan, simbol kekuatan dan keperkasaan di sana. Yang tersisa hanyalah padang kosong, bebatuan yang pasrah dipanggang mentari serta dinding terjal yang membisu dihantam hempasan ombak dari perairan Selat Malaka.

benteng inong balee
Mengajak langkah menyusuri benteng Inong Balee – captured by bang Faisal, Aceh Adventure
benteng inong balee
Berpijak di atas sisa benteng dengan latar belakang Teluk Krueng – captured by bang Faisal, Aceh Adventure

Kaki terus melangkah tak bisa dihentikan, memanjat bebatuan berusaha menggapai tempat tertinggi untuknya menjejak dan mencoba menikmati setitik masa kejayaan yang mungkin masih tersisa. Tak salah IBU memilih tempat ini menjadi benteng pertahanan dan membangun barak-barak untuk perkampungan Inong Balee.

Dari atas bukit ini terpantau dengan jelas kesibukan di teluk Krueng Raya, kapal lalu lalang keluar masuk pelabuhan menuju Selat Malaka. IBU, bisa kubayangkan betapa ramainya ketika kapal-kapal perangmu berlabuh di pelabuhan itu. Keramaian di jam sibuk yang masih terlihat hingga hari ini, di tempatmu menanti kekasih jiwa yang  tak pernah kembali tuk menebar sauh dan berlabuh. Ah IBU, sedihmu adalah sedihku.

Pandangan menerawang jauh ke Teluk Haru, Selat Malaka. Memori memindai masa hingga tersangkut pada satu masa, kebangkitan!

Kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Mukammil (1589 – 1604M). Kala Baginda Sultan memimpin Armada Laut Selat Malaka didampingi putera bungsunya Abangta Meurah Upah dan dua orang panglimanya: Panglima Armada Selat Malaka, Laksamana Mahmuddin bin Said Al Latief dan Panglima Laut Kerajaan, Laksamana Teuku Mughal Fadlil Syah menghalau armada Portugis di perairan Teluk Haru. Pasukan Portugis berhasil dihancurkan namun Abangta Meurah Upah dan Laksamana Mahmuddin bin Said Al Latief gugur bersama seribu prajurit membela Nanggroe.

pelabuhan malahayati
Pelabuhan Malahayati dilihat dari atas bukit
benteng inong balee
Pemandangan di Teluk Krueng menuju Selat Malaka dilihat dari Benteng Inong Balee

Keumalahayati, Komandan Protokol Kerajaan Aceh Darussalam, istri Laksamana Mahmuddin bin Said Al Latief kemudian diangkat oleh Baginda Sultan untuk menggantikan mendiang suaminya menjadi Panglima Armada Selat Malaka. Setahun memegang jabatan sebagai Panglima Armada Selat Malaka, atas restu Baginda Sultan; Malahayati mengajukan pengunduran diri. Malahayati kemudian diangkat menjadi Panglima Armada Inong Balee, pasukan yang dibentuknya dan diperkuat seribu inong balee (=janda) prajurit yang gugur dalam pertempuran di Teluk Haru.

Malahayati kakeknya, Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah adalah salah seorang pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Jiwa bahari dan keberanian mengalir deras dalam dirinya, diturunkan dari kakek dan ayahnya Laksamana Mahmud Syah. Malahayati mendapatkan didikan militer kelautan di jurusan bahari Ma’had Baitul Maqdis, sekolah khusus militer yang mencetak perwira-perwira kerajaan dengan instruktur dari Turki. Dengan keyakinan dan keteguhan jiwa, Malahayati melatih dan membekali para perempuan yang tadinya hanya bergelut di seputar dapur dan urusan menyusui anak dengan latihan dasar militer, mengangkat senjata agar jiwa raga siap terjun ke medan laga. Armada Inong Balee, pasukan khusus Kerajaan Aceh Darusalam yang berjaya menjaga perairan Aceh dan diperkuat oleh para perempuan!

InongBalee07
Tinggal padang bisu yang menyimpan kisah para pembela negeri

Di tempat kaki kini berpijak, berabad yang lalu pasukan Inong Balee dengan semangat yang tinggi berlatih di tengah-tengah lapangan bisu saksi sejarah yang merekam suka duka mereka dipersiapkan dan dibentuk menjadi pasukan tangguh. Dari benteng ini, Armada Inong Balee mengangkat sauh berangkat ke medan laga menggempur armada dagang Belanda yang dipimpin dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman. Di bawah pimpinan Laksamana Malahayati, Armada Inong Balee berhasil melumpuhkan armada dagang Belanda. Lewat pertarungan duel di atas geladak kapal van Leeuw pada 11 September 1599, nyawa Cornelis de Houtman pun melayang di tangan Laksamana Keumalahayati.

Perempuan Keumala, walau raga telah berkalang tanah namun kobar semangatmu tetap berjaya. Ia yang menuntun jiwa menemui rindunya menyusuri jejakmu. Terima kasihku untuk inspirasi dan semangat yang kau wariskan, nur cahaya yang takkan padam. Kutitipkan jejakku di sini, jejak yang akan kembali kususuri demi rindu yang telah merekatkan hati padamu IBU, pada Nanggroe tercinta.

benteng inong bale
Berjalan dari sisi utara Benteng Inong Balee – captured by bang Faisal, Aceh Adventure

Meski jejak kejayaan Kerajaan Aceh tenggelam digerus masa, kenangan pada IBU bangkitkan rindu untuk tuturkan kembali sengat kekekalan yang menuntun langkah ke negeri ini. Kubiarkan langkah meninggalkan jejaknya di Benteng Inong Balee, meninggalkan kenangan manis pada Ibu Negeri yang kadang tersenyum getir melihat pergerakan masa.

Selamat beristirahat IBU, pada satu masa aku pasti kembali menemuimu dan berharap sedih itu kan terbagi ganti senyum indah sepanjang masa, semoga. Dan, langit pun sepakat menuai sedih yang terpancar dari hati, direstuinya mendung menyelimuti semesta saat kaki beranjak dari Lamreh kembali ke Banda Aceh.

*******

sebuah catatan kaki:
Keumala, the Power of Nanggroe adalah tulisan terakhir dari 4 (empat) catatan perjalanan usai menyusuri jejak Laksamana Keumalahayati, Panglima Armada Inong Balee Kerajaan Aceh Darussalam. Sebuah perjalanan yang dimimpikan selama 2 (dua) tahun! Tulisan sebelumnya: Keumala, Seusai Perjalanan, Keumala, the Spirit of Nanggroe dan Keumala, the Soul of Nanggroe.

Tulisan ini didedikasikan untuk penulis idola, ibu Endang Moerdopo yang telah menginspirasi lewat untaian kata yang menyengat sukma berkat karya agungnya, Perempuan Keumala. Sengatnya merasuk hingga ke sumsum yang senantiasa bergolak untuk tuntaskan rindu menjumpai IBU dan menyemai cinta pada Nanggroe, negeri elok di ujung Sumatera.

Dan ketika rindu menemui muaranya maka hanya sujud syukur yang tak putus dipanjatkan kepadaNya, Yang Maha Penuntun. Perjalanan ini terealisasi dengan sendirinya berkat apresiasi yang diberikan oleh Komunitas I Love Aceh pada Merindu Keumalahayati yang diikutkan dalam Lomba Blog I Love Aceh Story pada  Pebruari 2013 lalu.

Syukur tak henti ketika kaki siap melangkah, kerinduan untuk bertemu dengan penulis Perempuan Keumala terwujud sehari sebelum pulang ke Nanggroe. Jadilah perjalanan akhir Pebruari ini sangat berkesan karena sang penulis pujaan “turut menemani” langkah selama menyusuri jejak pujaan hati. *thank to Mark Zuckerberg & his facebook*

Dan ketika rindu itu kembali menggelora, hanya asa yang kembali dipupuk untuk bersiap pulang ke Nanggroe menyemai rindu pada Ibu Negeri. Saleum. [oli3ve]

*******

Tulisan terkait:

6 thoughts on “Keumala, the Power of Nanggroe

Leave a comment