Rindu Terbaik, Semaian Marthin Saba di Hati Kami


Kejutan itu datang di awal 2021. Sebuah kabar yang membuat banyak hati retak yang datang di jelang pergantian hari. Kabar yang masuk lewat pesan WA pukul 02.00 disertai banyak panggilan tak berbalas yang baru dibaca pukul 06.00. “Kak … Coach sudah gak ada.” Kabar apaan ini? Empat hari sebelumnya kami masih berbalas pesan usai latihan daring lewat IG hingga larut malam. Beberapa hari sebelumnya, Kak Marthin masih ngajak bersua dan mau atur waktu untuk ketemuin dan ngobrol bertiga Kak Lulu, “Kak Marthin pasti bayar utang sama Olive. Kak Marthin pasti ketemuin dengan Kak Lulu, sabar yaaa.”

“Serius, Kak? Kok pergi gak pamit, Kak? Kaaaaaaaak ….!!”

Aku gak akan pernah lupa Senin itu ketika hanya bisa menemuinya terbaring di dalam peti berwarna putih yang diletakkan di ruang tamu. Momen ketika hanya bisa menggenggam tangannya yang sudah kaku, bersarung tangan putih yang diletakkan di dada. Momen ketika hanya bisa berbisik dengan air mata campur ingus yang terus saja turun dan menumpuk di dalam masker yang sudah berat menampung .. Kak, ketemunya begini? Gak ada cara lain? Momen ketika ingin memeluknya namun yang keluar dari mulut hanya … sedih lho, kak. Makasih sudah sayang dan baik sama aku yang sering ngeles sama kakak, aku sayang banget sama Kak Marthin.

***

semaian marthin saba, marthin saba, teladan marthin saba, inspiring book, writing healing therapy
Monument of Life Marthin Saba

Rabu pagi di minggu ketiga Mei 2018.

Kereta Api Argo Parahyangan jurusan Bandung – Jakarta masih bersandar dengan santai di peron Stasiun Bandung. Aku yang sering kikuk bila memasuki ruangan tertutup yang dipadati manusia, berhenti dan tunduk memainkan telepon selularku di belakang dua penumpang yang sedang menaikkan kopernya ke atas rak ketika terdengar seseorang meneriakkan namaku, ”Oliiive!” Apa aku tak salah mendengar? Masakan tanpa melihat muka, ada yang mengenaliku di stasiun kereta? Suaranya yang kencang membuat semua orang di dalam gerbong nomor tiga, menelengkan kepala mencari sumber suara itu. Ah, bisa saja ada orang lain dengan nama yang sama sedang berada di gerbong ini. Pikirku. Tapi, suaranya yang tak asing, membuatku mengangkat kepala penasaran dan mendapati bayangan seorang lelaki yang duduk di dekat jendela sebelah kiri, beranjak dari bangku nomor 7B. “Kak Marthiiiin!” suaraku tak kalah kencang, senang melihatnya. Begitu penumpang di depanku mendorong badannya duduk ke bangku, kupercepat langkah mendekati dirinya yang telah berdiri di tengah koridor, merentangkan tangan, dan menangkap tubuhku dengan hangat.

“Heeeiii, ‘ngapain di Bandung, Liv?” Matanya penuh senyum, laiknya orang yang senang bersua yang dirindukannya. Belum kujawab, suaranya kembali terdengar. “Selfie dong, Liv. Kapan lagi Kak Marthin foto dengan traveler yang mulai jarang latihan.” Asem benar. Obrolan kami pun melompat-lompat dari bertukar kabar, kegiatan, hingga keinginan untuk bertukar tempat duduk dengan tetangga bangku – untungnya penumpang di sebelah kami tidak bersedia. Jika tidak, mungkin gerbong itu akan riuh dengan suara kami – agar bisa ‘ngobrol panjang di tiga jam perjalanan ke Jakarta. Kami menyudahi obrolan ketika tersadar kami yang masih berdiri berangkulan usai berswafoto di tengah koridor, telah menarik perhatian orang segerbong dan menghalangi laluan penumpang lain. Kak Marthin kembali ke bangkunya. Aku pun melangkah ke belakang, ke bangku nomor 10B.

Hubungan kami tidaklah dekat. Sebatas murid dan guru vokal yang bertemu sekali seminggu di latihan paduan suara gereja di akhir pekan. Pada setiap pertemuan, kami lebih sering hanya berbagi senyum dan peluk cium bila muncul di kelas setelah lama bolos latihan. Namun, pelukan di Parahyangan pagi itu, serupa yang diberikan kepada seseorang yang dekat yang, lama terpisah. Pertemuan yang diceritakannya dengan bersemangat ketika muncul di kelas pada Sabtu siang yang membuat hati bunga. Momen yang menjadi awal kedekatan di tahun ketujuh mengenalnya yang membuat kita lebih sering berbincang – tepatnya, aku jadi lebih berani untuk mendekat dan bertanya banyak hal bahkan curhat tak tentu – di sela latihan.

Marthin Saba, seorang musisi yang menghidupi talenta bermusiknya, pengajar vokal yang tak pernah menonjolkan kehebatannya. Mungkin, benih akan rasa itu pun tak pernah punya keinginan untuk timbul di dalam hatinya. Meski cukup lama berkecimpung di ranah musik sekuler, namanya lebih dikenal di dunia musik rohani. Bagi orang-orang dekatnya, murid-muridnya, adik-adik rohaninya, dan mereka yang berpapasan dengannya – sengaja atau tanpa terencana – dia adalah pribadi yang hangat. Namanya kukenal dari teman-teman di kampus sewaktu kuliah di Bandung yang mengidolakannya sebagai artis, vokalis KSP Band, grup band terkenal dari Bandung. Ia juga memiliki grup vokal bersama tiga saudara laki-lakinya yang kasep: Carlo, Denny, dan Ivan yang diberi nama sesuai nama keluarga mereka, SABA. Siapa yang pernah menyangka jika bertahun kemudian, di satu Sabtu siang di pertengahan 2011, dirinya muncul di Gereja Duta Injil dan diperkenalkan sebagai pelatih Duta Injil Choir (DIBC) yang baru. Ia menggantikan Kak Javet Trihandoyo, saudara sepupunya, yang sebelumnya melatih kami selama dua tahun.

semaian marthin saba, marthin saba, teladan marthin saba, inspiring book, writing healing therapy
Mencoba untuk menuliskan tentangnya

Kak Marthin mendedikasikan hidupnya untuk musik dan Tuhan. Dia memiliki kelompok paduan suara gospel Glorify the LORD Ensemble yang didirikan Papa Daud, ayahnya, pada 9 Mei 1993 bersama Carlo Saba, Dewi Lestari, dan Imelda Simangunsong. Glorify beranggotakan anak-anak muda pilihan yang dipersiapkan untuk menjadi penyembah sejati yang mewartakan firman Tuhan lewat puji-pujian dengan gaya anak muda. Sebagai guru yang baik, Kak Marthin tahu dan mengenali orang-orang yang memiliki potensi namun tidak memiliki ambisi bahkan (kadang) gak sadar memiliki talenta sehingga tidak memiliki rasa percaya diri; boro-boro menonjolkan diri. Dan, dia bisaaaaaa menyentuh mereka dan memberikan motivasi yang membuat orang itu dibangkitkan semangatnya untuk berlatih percaya diri.

Kasihnya tulus untuk menjangkau lebih dalam ke jiwa bikin Kak Marthin “kepo” dengan keseharian kita yang membuat beberapa orang yang tertutup, tidak nyaman. Sebagai orang introvert, awalnya aku pun merasakan hal yang sama tetapi kemudian aku bersyukur untuk itu. Malahan lama-lama rindu untuk di”kepo”in bukan sekadar berbagi kabar dan berdoa agar diberi kesempatan untuk ‘ngobrol panjang dengan Kak Marthin. Puji Tuhan di tiga tahun terakhir hidup Kak Marthin, Tuhan berikan kesempatan itu sehingga kita punya momen-momen curhat yang membuat dekat, nyaman, dan kesempatan belajar banyak darinya. Satu hari ketika menemukan jalan keluar dari persoalan yang pelik dan cerita ke Kak Marthin; Kak Marthin ingatin, kadang, ketidaknyamanan harus dilewati untuk sampai pada satu tujuan yang baik. Untuk itu dalam setiap proses, diperlukan respon hati yang tepat karena Tuhan selalu percayakan sesuatu waktu kita punya respon yang tepat, salah satunya waktu kita bisa berdamai dengan diri sendiri, juga orang lain.

Tepat waktu, disiplin, totalitas, selalu bersemangat, dan sungguh-sungguh, beberapa nilai hidupnya yang – mungkin – bisa dan mudah dicontoh dengan belajar bertekun. Namun perkara detail, paling sering kita abai. Bukan karena kita tidak bisa, tapi tidak mau belajar sabar. Orang yang senang detail pastilah seorang pemerhati sejati. Begitu juga Kak Marthin. Bahkan sampai hari terakhirnya pun all in detail.  Memang paling repot dan susah belajar bernyanyi – atau apa pun itu – dengan detail, padahal hasilnya pasti akan lebih maksimal. Kuncinya mau mencoba dan terus evaluasi, sama prinsipnya Tuhan ciptakan manusia sangat amat detail, dan apa saja yang dari Tuhan, prosesnya selalu detail makanya hasilnya excellent. Spirit ini yang musti terus kita jaga. Pesannya ketika kami mengevaluasi kegiatan di masa pandemi yang dikerjakan asal-asalan agar segera selesai dan tayang. Perkara detail ini memang – mungkin – agak ribet di awalnya saja, tapi jika dilakoni dengan tekun dan konsisten; akan terbiasa. Segala sesuatu – baik atau buruk – yang dilakukan setiap hari akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan terus-menerus akan menjadi karakter. Pesannya yang akan selalu jadi pegangan dalam mengerjakan sesuatu dengan memperhatikan hingga detail walau sering berbenturan dengan teman sendiri. Kalau istilahnya Kak Lulu, terbentur, terbentur, terbentuk!

Kemarin aku merindukannya. Sangat. Rindu yang membawa ingatanku pada hari-hari yang dibersamai. Kebersamaan yang dituliskan sebagai pengobat rindu untuk mengenangnya menjadi sebuah buku, Semaian Marthin Saba di Hati Kami. Bukunya sudah tersedia di lokapasar Tokopedia, Shopee, juga Google Play Book. Kamu dapat memesan bukunya lewat tautan linktree Semaian atau dengan mengirimkan pesan ke WA 0881-2731-411.

semaian marthin saba, marthin saba, teladan marthin saba, inspiring book, writing healing therapy
Merayakan kehidupannya di peristirahatan kakanya, Carlo Saba

Satu hari, ketika rindu itu mendera teramat sangat, aku memesan travel dan berangkat pagi-pagi ke Bandung bersama Sasgia yang nyaris kutinggal karena datang terlambat ke titik jemput keberangkatan. Sesampai di Pasteur, kami memesan cappuccino panas di Poin Coffee yang memang rasanya juara di sebuah toko kelontong modern yang berdiri di pinggir jalan lalu menyeberang ke Pandu. Di tempat peristirahatan itu, kami duduk-duduk dan bercerita kelucuan-kelucuan di hari-hari lalu selama dua jam penuh sebelum beranjak mencari tempat untuk makan siang dan kembali ke Jakarta.

Di hari lain, seminggu dari hari itu, aku kembali ke Bandung karena emergency call, paman kesayanganku purnatugas. Ia mendadak dipanggil pulang di hole 18 ketika sedang menyelesaikan pertandingan di turnamen golf. Sebelum kembali ke Jakarta, aku mampir makan siang ke Kantin AA, di dekat rumah Sekeloa. Kata Herman, Kak Marthin suka sekali makan Ayam Garang Asem di kantin itu. Seporsi Ayam Garang Asem yang kuahnya menguar saat bungkusnya dibuka, membawa ingatanku pada pertemuan dengan Kak Lulu ketika kami masing-masing menghabiskan dua porsi Ayam Garang Asem di Depok sembari menggosipkan Kak Marthin yang sok-sokan mau ketemuin dan ngajak ngopi bertiga, tapi ditinggal ngobrol berdua saja.

Ketika rindu pada seseorang, lakukanlah perjalanan ke dalam dirimu. Cobalah menyeduh kopi hitam (atau apa saja minuman kesukaanmu) dan menyesapnya lamat-lamat. Ritual itu yang biasa kulakukan sembari menuliskan rasa yang muncul bersama kenangan akannya di atas kertas. Rindu terbaik! [oli3ve]

Leave a comment