Suara-Suara Asing yang Tinggal di Dalam Kepala Rio


Perbincangan dengan Dilan siang itu membawa ingatan pada Rio, seorang kawan yang rajin berkabar ketika dirinya dirongrong oleh suara-suara yang hinggap di kepalanya.

– Hai, selamat siang. Nama, ASL pls.
+ Siang. Olive 25/f/Jkt. Ini siapa?
– Rio 23/m/Jkt. Pernah dengar istilah skizofrenia[1], Liv?
+ Hmm … kalau tak salah ada kaitannya dengan gangguan kejiwaan?
– Kamu pernah dengar istilah itu? Aku baru dengar ketika dokter menyebut namanya sambil memberikan setumpuk obat yang harus aku minum setiap malam agar aku bisa tidur dengan tenang. Kata dokter, aku mengidap skizofrenia.

Obrolan terlalu jujur dan tak biasa di awal perkenalan dengan orang yang asing. Tetapi, begitulah perkenalanku dengan Rio di chat room mIRC[2] beberapa tahun lalu. Rio mengenalkan dirinya sebagai mahasiswa semester akhir Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) yang tersendat-sendat menyelesaikan tugas akhir karena si skizo yang acap hinggap di kepalanya dan  mengganggu aktivitasnya.

Sejak perkenalan itu, hampir setiap hari, di jam istirahat makan siang; Rio menelepon ke kantor. Sebagai karyawan yang baru pindah ke kantor pusat, kadang tak nyaman menerima telepon berlama-lama. Pun rasanya tak elok memutus pembicaraan ketika seseorang sedang “konsultasi”. Pula, aku memang sengaja memberikan nomor kantor agar tidak “diganggu” saat ingin beristirahat dan baru memberi Rio nomor telepon kos ketika satu hari dia bercerita, ”Semalam Mama panik, beliau masuk ke kamar saat aku baru saja mengoyak-oyak kasur hingga isinya berhamburan. Suara-suara itu … aaghhhhh, aku takut pada diriku sendiri, Liv.”

Baca juga: Peluhku Menjadi Daya: Perjalanan Pulih Seorang Penyembuh yang Terluka

“Suara siapa? Suara apa, Rio?”
“Suara-suara yang sering muncul di dalam kepalaku. Ketika mereka bertengkar, aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Suara-suara itu kadang menyuruhku membentur-benturkan kepala ke dinding, merusak barang yang ada di kamar, bahkan ada juga yang memaksa-maksaku untuk mengambil benda tertentu dan menyuruhku melukai diriku sendiri.”
“Rio, kamu sudah ceritakan ini ke dokter?”
“Dokter bilang suara-suara itu terdengar ketika aku lupa minum obat. Kasihan Mama, aku … aku tak pernah bermaksud merusak barang-barang di rumah …” Suara Rio pelan, parau, dan ujungnya sesenggukan.

Aku bingung harus bagaimana. Kupasang telinga mendengar setiap keluhnya hingga dia tenang dan menyudahi obrolan. Satu hari, kami mengatur janji temu untuk jogging pada Sabtu pagi di Senayan. Rio bilang mamanya sudah memberi izin setelah melihat perkembangan Rio selama sebulan ke belakang. Dirinya bisa berkegiatan dengan nyaman tanpa diganggu suara-suara aneh itu. Tetapi, ketika hari itu datang, Rio tak muncul. Aku mencoba menghubungi nomor telepon rumah yang pernah dia berikan. Nadanya tersambung tapi tak ada yang mengangkat telepon di seberang sana. Setelah berulang dihubungi dan tak jua ada yang menyahut, aku cuma berdoa dalam hati semoga dirinya baik-baik saja.

dari balik tembok penjara, writing healing theraphy, orang dengan skizofrenia, gejala skizofrenia

Sejak kedua kakak perempuannya menikah dan pindah ke luar kota mengikut suami mereka, Rio tinggal berdua saja dengan mamanya di Kalimalang. Dia anak bungsu. Kakaknya yang pertama tinggal di Medan, dan yang kedua di Bandung. Papanya meninggal ketika Rio SMA. Tak lama dari situ, dia mulai merasakan ada suara-suara aneh yang sering berbisik-bisik di kupingnya. Pikirnya, dia hanya mengalami sedikit gangguan karena kupingnya kotor. Setelah diperiksakan ke dokter, tak ada masalah. Tetapi ketika mulai kuliah dengan seabrek tugas, Rio bilang, “Suara-suara itu pindah dan tinggal di dalam kepalaku, Liv.”

Kadang, bunyinya hanya seperti air yang bergulung-gulung. Kalau datangnya seperti itu, Rio bilang dirinya masih bisa menghalaunya dengan pergi tidur. Yang bikin pusing ketika mereka datang beramai-ramai dan mulai bertengkar satu sama lain. Itu yang terjadi di Sabtu pagi saat kami janjian untuk bertemu di Senayan. Rio menceritakan kejadian itu di Selasa malam saat aku baru sampai di kos. Kejadian seperti itu tak hanya sekali, beberapa kali janji temu kami tak mewujud karena mamanya tak memberikan izin dirinya keluar sendirian tanpa ada yang menemani. Ke kampus pun dia jadi sering absen sebab, mamanya khawatir sakitnya datang saat ia di perjalanan atau sedang di kampus dan tak ada yang mengawasi.

“Maaf, ya, Liv. Aku gak jadi datang kemarin. Kamis malam aku hampir saja bunuh diri. Mama bilang aku sudah memegang pisau, yang entah gimana bisa tiba-tiba ada di kamar. Untungnya aku tidak melukai Mama …” Rio berhenti sebentar menghela napas. Airmataku sudah mengalir dari tadi, kugigit bibir agar isakku tak tertangkap kupingnya. “Ciciku tadi pagi-pagi datang dari Bandung. Mama memintanya tinggal beberapa hari di rumah. Khawatir aku tiba-tiba mengamuk lagi.” Hari itu Rio berbicara panjang dan sulit dihentikan. Kakiku sudah mulai kram karena menerima telepon sambil berdiri di gang menuju kamar selama tiga jam. Sementara itu, mbak Kori, anak ibu kos, sebentar-sebentar membuka pintu kamarnya, tak sabar melihatku masih betah berbincang. Teleponnya memang diletakkan di depan kamar mbak Kori, yang mengawasi rumah kos. Aku mencoba melempar senyum setiap pintu dibuka meski hati dan pikiranku sedang tak selaras.

“Rio … cepat cari bantuan, ya. Maaf, aku hanya bisa bantu dengan mendoakan kamu. Aku tak tahu bilamana suara-suara itu datang mengganggumu.” Pembicaraan itu berakhir saat kupingku yang mulai panas terselamatkan suara mamanya Rio yang sayup terdengar, “Rio, sudah, Nak. Jangan lama-lama telepon. Nanti gak bisa masuk telepon yang lain.” Setelah pembicaraan malam itu, aku keluar kota. Kata mbak Kori, Rio beberapa kali telepon menanyakan diriku. Seminggu kemudian, Rio telepon ke kantor. Dia pamit hendak ke Medan bersama mamanya. Mereka ikut retreat gereja. “Mama sering membawaku retreat biar kepalaku tenang. Aku gak akan gangguin kamu di telepon karena kami pergi dua minggu. Doain ya, Liv.”

Selama setahun berteman dan menjadi teman curhat, tak sekali pun kami bertemu muka. Tidak juga bertukar potret diri seperti layaknya orang yang berteman cukup lama. Tetapi aku hafal suara Rio dan jam-jam ketika dia sering telepon. Sejak telepon terakhir itu, tak lagi terdengar teriakan ibu kos dari lantai bawah, “Liiiip, teman curhat loe telepon! Bilangin jangan lama-lama nelponnya!”

Baca juga: A Private War: Perang Batin Jurnalis Sejati, Marie Colvin

dari balik tembok penjara, mental health awareness, gejala skizofrenia, writing health theraphy

Lewat dua minggu, tak ada kabar dari Rio. Aku mencoba menghubungi nomor telepon rumahnya, tapi tak pernah ada yang mengangkat. Walau di awal kenal sempat “terasa” mengganggu, ternyata curhat-curhat Rio juga menjadi pengingat akan pentingnya memberi telinga untuk mendengar keluh kesah orang di sekitar kita, tak hanya menuntut perhatian untuk didengar. Sebulan, dua bulan, hingga lima bulan, Rio tak berkabar juga. Telepon ke rumahnya pun tak tersambung. Rasanya ada yang hilang. Sejak saat itu, aku tak pernah mendengar kabar dari Rio, hingga aku bertemu Dilan di lubang angin tempatnya bercerita siang itu. Saleum [oli3ve].

[1] Skizofrenia = gangguan mental yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku dengan baik
[2] mIRC = jejaring sosial yang terkenal pada awal 2000

Membaca dari Balik Tembok Penjara karya kawan-kawan Perempuan Keumala pembela kehidupan, saya tercekat diberati catatan manusia yang merintih terasing tak berarti dalam ramai, kesunyian oleh dan dalam cinta, dipenjara ketidakadilan, kecemasan, pun ketubuhan. Saya percaya semesta hadir di sini. Inilah kita: jiwa dijerat hasrat, nista tercampak, serta harapkan telinga dan atma damai bersama-Nya. Bacalah. Dan saksikan paradigma jalan panjang musafir mencari merdeka.

Riris K. Toha Sarumpaet, M.Sc, Ph.D
Guru Besar Purnabakti Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia

****

Nukilan cerita yang menjadi bagian dari Antologi Cerpen Merawat Kewarasan: Dari Balik Tembok Penjara. Kumpulan kisah yang lahir dari proses healing bersama teman-teman di kelas Writing Healing Therapy pada 2021 yang terbit pada 7 Februari 2022. Pemesanan buku dilakukan lewat WA 0881-2731-411 atau mengirimkan pesan ke IG @stiletto_indiebook Terima kasih.

Leave a comment