Kami kembali ke jantung Surabaya setelah seharian membiarkan kulit terpapar panasnya kota ini. Panas yang mengingatkan pada kejadian setahun yang lalu; ketika makian dan hujatan, bahkan ancaman dipolisikan dari seseorang yang mengaku punya kuasa di sini. Siang itu masih pertengahan bulan puasa. Dirinya yang di keseharian berpakaian tertutup dari kepala hingga ujung kaki dan mengaku berpuasa, mulutnya tak henti melontarkan kata – kata yang tak pantas didengar. Dia pun meminta dengan paksa sejumlah uang yang angkanya besar, pengganti jasa beberapa nama yang batang hidungnya saja tak tampak di tempat berkegiatan. Jelas saya menolak. Tapi hari itu, saya memang harus melewati satu proses yang membuat saya sadar niat baik tak melulu akan diterima baik jika yang kita hadapi manusia yang gelap mata dan selalu mengedepankan ego, tak pernah bisa menghargai kebaikan!
Usah takut ketika kita yakin berdiri pada sisi yang benar. Biarkan waktu yang akan membuktikannya. Jika teringat perkara satu itu, saya hanya senyum – senyum saja karena terbukti tiga bulan setelahnya yang bersangkutan berkabar, menumpahkan uneg – uneg dan penyesalannya. Kadang – kadang, orang melampiaskan amarah kepada orang lain ketika dirinya bermasalah dengan yang lain. Tak semua manusia pandai mengelola emosinya. Kitalah yang harus bijak menyikapinya.
Mbak, nggak salah mau nginap di sini?
Ingatan saya pada peristiwa lalu terpotong suara pak Marchel, lelaki yang menemani selama dua hari main di Surabaya. Rupanya kami telah sampai di tujuan. Terbiasa dengan pandangan menyelidik orang – orang yang menemani berjalan ke tempat – tempat tak biasa, saya pun hanya senyum – senyum melihat wajah penuh tanya pak Marchel saat menghentikan kendaraan di depan beranda rumah bergaya kolonial – perpaduan Belanda dan Cina – di Kapasan.
– Nggak. Saya memang pesan kamar di sini. Kenapa pak?
+ Nggak takut? Seharian tadi ke kuburan, malamnya tidur di rumah tua.
– He .. he .. emang apa yang ditakutkan pak?
+ Kalau mau uji nyali coba nginap di Hotel Niagara, mbak
– Saya tidak sedang uji nyali pak. Tak pernah tertarik. Saya cuma mau beristirahat dan menikmati suasana di rumah ini.
Sejak masuk pekarangan saya memerhatikan rumah itu tampak lengang. Letaknya yang menjorok, membuatnya tersembunyi dari pandangan pengguna jalan raya yang lalu lalang di depannya. Kalau saja tak awas memerhatikan penanda yang berdiri di samping dinding bangunan ruko di depannya, bisa – bisa tadi kami terlewat dan harus berputar arah lagi. Penanda paling meyakinkan adanya sepasang singa, duduk di ujung kiri kanan undakan serambi depan. Tak salah lagi, ini rumah The Toan Ing, Mayor Cina Surabaya awal 1900. Rumah yang seharusnya saya datangi dari kemarin siang.
Meski check out pagi – pagi dari Paviljoen, penginapan yang berdiri di kawasan Genteng sejak 1917; saya baru sampai di Kapasan dan menjejakkan kaki di rumah engkong pk 16.00 karena seharian berkeliling dulu ke Ereveld Kembang Kuning, Makam Yahudi, Museum dan Makam Dr Soetomo, Makam WR Soepratman, dan Museum WR Soepratman.
Dulu, ketika populasi Tionghoa di Batavia meningkat tajam dan mulai mengkhawatirkan karena mereka juga sudah menguasai perniagaan; Valckenier, Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu, mengeluarkan ultimatum berupa: penerapan kuota terhadap imigran Tionghoa, pemberlakuan ijin tinggal serta ijin usaha bagi orang Tionghoa, pemberlakuan jam malam dimana orang Tionghoa hanya dibolehkan berada di dalam kota Batavia pada siang hari dan di malam hari mereka diisolir di luar tembok/benteng Batavia. Raad van Indie (Dewan Hindia) mulai melakukan razia terhadap orang Tionghoa yang mencurigakan, mereka yang didapati tidak memiliki pekerjaan diciduk dan dibuang ke Ceylon (sekarang Srilangka).

Puncaknya saat Valckenier memberikan ijin untuk melakukan penangkapan dan pembantaian terhadap orang – orang Tionghoa. Pada 10 Oktober 1740 genosida terjadi di Batavia! Usai peristiwa berdarah itu, eksodus Tionghoa besar – besaran pun mengalir dari Batavia ke daerah – daerah yang dianggap aman termasuk Surabaya. Di masa itu orang – orang Tionghoa juga sudah banyak yang menetap di Surabaya, sementara yang datang – tak hanya pengungsi dari Batavia tapi juga dari beberapa daerah yang ingin mencari penghidupan baru – pun tak tahu lagi hendak kemana. Mereka akhirnya diberi ijin untuk membuka kawasan hutan randu sebagai tempat tinggal. Tempat yang di kemudian hari dikenal sebagai daerah Kapasan (kapas = randu).
Kapasan pada abad 17 menjadi pusat pergerakan orang – orang Tionghoa. Untuk memantau kegiatan mereka, pemerintah Hindia Belanda menunjuk seorang pemimpin yang disebut opsir dengan pangkat mayor, kapiten, atau letnan dari kelompok yang sama – biasanya orang kaya – yang memiliki pengaruh di lingkungannya. Pada masa itu yang dipandang punya pengaruh adalah keluarga The, maka The Goan Tjing pun dipilih sebagai opsir Tionghoa. Ia dipercaya untuk mengatur segala urusan yang berhubungan dengan pemerintahan di perkampungan baru itu sebagai penyambung tangan pemerintah yang berkuasa. Pangkat terakhirnya mayor. Meski jabatan opsir ini diturunkan, penunjukan pengganti harus disetujui oleh pemerintah. Setelah The Goan Tjing meninggal, ia digantikan oleh anaknya, The Boen Khe; ayah dari engkong The Toan Ing.

Tiga pintu terbuka lebar – lebar di beranda. Masing – masing memiliki dua pasang daun pintu dari kayu jati. Sepasang daun pintu terbuka keluar sedang sepasang ditarik ke dalam dihiasi kaca patri. Pada bagian atas pintu tengah terdapat ornamen sepasang malaikat yang mengapit tulisan Ora et Labora di tengahnya. Beranda yang terbuka ditopang oleh 4 (empat) pasang pilar yang jenjang pada bagian depannya. Dua set sofa kayu untuk duduk – duduk terduduk di sana. Dua jendela tinggi dan lebar di kiri kanan serambi dibiarkan terbuka. Serupa dengan pintu, tiap – tiap jendela memiliki dua pasang daun jendela. Sepasang daun jendela terbuka ke dalam dihiasi kaca patri dan sepasang lagi terbuka keluar memiliki kisi – kisi untuk sirkulasi udara.
Saya turun dari kendaraan. Melihat penanda Rumah Penginapan Ganefo menempel di kiri atas pintu sebelah kiri, saya memutuskan melangkah ke sana. Semakin dekat ke pintu, mata saya pun bisa menangkap tulisan kecil di bawahnya yang menerangkan ijin usaha penginapan tertanggal 20 Agustus 1957 atas nama pemilik Tan Siong Chiu. Entah sejak kapan rumah keluarga The ini berpindah tangan ke keluarga Tan. Yang saya tahu pasti, hari itu 4 (empat) kamar utama yang saya incar di rumah engkong yang telah berganti nama menjadi Hotel Ganefo – nama yang tercantum pada penanda di pinggir jalan – telah terisi. Sebagai gantinya, saya menerima kunci kamar nomor 34 di samping kiri rumah induk untuk beristirahat. Tak apa, toh masih bisa masuk ke rumah utama.
Kamar saya ber-AC meski sudah disetel ke angka paling kecil tak terlalu mempan untuk mengusir panas yang terbawa dari luar. Di dalamnya terdapat 2 (dua) buah ranjang kayu jati yang dipasang rapat – rapat, menempel ke dinding. Seprainya putih. Setiap ranjang mendapatkan satu selimut bergaris hitam putih. Seprai dan selimutnya bersih dan wanginya lembut. Sebuah lemari pakaian dari kayu jati diletakkan di hadapannya, di atasnya didudukkan TV tabung ukuran 20 inch yang hanya menangkap siaran TV lokal saja. Setiap kali membuka lemari hendak mengambil/menyimpan pakaian, daun pintunya berderik – derik. Di samping kanan pintu masuk, menempel di sudut sebuah meja kerja berlaci ukuran ½ biro. Di atasnya diletakkan 1 (satu) unit pesawat telepon model lama yang sudah tak berfungsi dan baki berisi teko yang diisi air sejuk berikut gelasnya. Tata cara menggunakan telepon dan peraturan menginap di hotel terpasang di dinding di atas meja.
Kamar saya berada di lantai bawah bangunan berlantai dua. Setiap kamar di bangunan itu memiliki 2 (dua) pintu. Satu pintu depan dan satu pintu ke teras belakang. Gagangnya bulat. Lubang kuncinya mulai kendor sehingga mesti menggunakan perasaan ketika memutar anak kunci untuk mengunci atau membuka pintu. Pintu kamar depan menghadap ke rumah utama. Kamar mandi di dalam kamar menggunakan bak dan kloset duduk yang alasnya sudah copot. Meski kesan usang terlihat dari ubin dan perkakas di dalamnya yang kurang mendapat sentuhan pemutih, kebersihannya masih terjaga.
Di Ganefo, harga kamar tidak termasuk sarapan. Namun setiap pagi pengelola akan menyajikan teh/kopi panas di meja di teras depan kamar. Saya pagi itu baru akan diseduhkan kopi pk 08.00 saat sudah siap berjalan. Tapi di tetangga kamar saya perhatikan sudah mendapatkan hantaran teh/kopi panas pk 06.00. Jadi ada baiknya menanyakan hal ini jika kamu berencana menginap di rumah engkong dan memerlukan minuman panas di pagi hari.
Pelanggan setia Ganefo kebanyakan pedagang dari daerah. Mereka lebih banyak terlihat pagi – pagi sibuk di beranda dengan barang dagangannya dan malam hari sekembali dari Pasar Kapasan atau Pasar Atom yang tak jauh dari penginapan bercengkerama di depan kamar sebelum datangnya waktu tenang yang diberlakukan di penginapan.

Hotel Ganefo
Jl. Kapasan No. 169-171, Surabaya Indonesia
Tak banyak kisah yang bisa saya kumpulkan dari mereka yang kesehariannya berkegiatan di penginapan. Bahkan saat memotret kaki di ubin saja sudah kena omel. ‘Gak boleh motret, mbak! Ketika saya tanya alasannya, jawaban yang saya terima hanya tak dibolehkan. Kalau akhirnya bisa memotret beberapa bagian rumah utama, karena seijin seorang pengurus senior setelah pergantian jam kerja dan saya telah duduk terkantuk – kantuk selama satu jam di ruang tamu yang sepi. Untungnya meski Surabaya siang itu terik, ruang tamu di Ganefo tetaplah sejuk karena tingginya langit – langit dan adanya lubang angin pada plafon dan pintu serta serta jendela.
Rumah adalah tempat yang selalu menyenangkan untuk kembali dan berteduh ketika di luar cuaca tak bersahabat. Sebuah pengingat bahwa ujian kesabaran memanglah harus melewati rentang waktu tertentu. Tergantung proses yang harus kamu jalani. Saya tetap akan kembali ke Surabaya untuk menyusuri jalan – jalan kecil di Kapasan Dalam. Ingin melihat rumah – rumah bandar yang ada di sana, mengunjungi Klenteng Boen Bio yang beberapa kali dilintasi dan bisa digapai dengan selonjoran dari Ganefo, mengunjungi rumah abu keluarga The, dan masih banyak lagi yang belum didatangi karena keterbatasan waktu, saleum [oli3ve].
Kalau disini rumah mayor belanda sekarang dijadikan rumah dinas walikota. Kemarin juga habis direnovasi..
ini karena milik pribadi jadi pasti banyak perhitungannya, ongkos pemeliharaannya gak murah itu. tapi bagus rumah ini masih terpelihara dengan baik
Bener juga mbak..keren masih milik pribadi..klo dsolo karena udah diakusisi pemerintah..
Berkat tulisan ini aku jadi tau Hotel Ganefo seperti apa. Cuman bisa lihat dari depan saja..
sesekali mampirlah lihat rumahnya 😉
Loh ke Surabaya tho? Tahu gitu ikutttt
iya kak, ini perjalanan februari lalu koq hehe
Hah, sampai ada ancaman dipolisikan? 😦 yang sabar ya kaaaak.
Btw I also have the thing with vintage floors
itu pengalaman seru kak, membuat kita jadi tahu mana orang yang baik dan mana yang cuma terlihat baik saja di depan mata
cerita kak Olive selalu menarik. Kenapa ya ga boleh motret di situ?
auww auwww 🙂
gak tahu juga alasan pastinya. tapi menurutku kembali ke kenyamanan yang punya karena itu milik pribadi meski difungsikan sebagai penginapan