Merangkai Serpihan Kenangan di Peunayong


Jejak hujan masih tersisa kala kaki kita menapak di Peunayong malam itu. Aku sudah tak tahan dengan rengekan usus dalam perut yang sedari siang merindu sayuran. Entah kenapa tak mudah menemukan sayuran di Aceh. Sayuran yang aku maksud adalah sayuran hijau yang dibening. Aaah dasar perut kampung! Doyannya makanan rumahan. Kata Kak Yasmin yang seharian mengantarkan kita berkeliling; orang Aceh nggak doyan sayur.

Rex, pusat kuliner Banda Aceh tampak sepi. Tenda-tenda makanan yang biasanya ramai berjejer malam itu tak terlihat. Malam belum pekat, masih pk 19.00. Apa karena hujan?

Kepala kulongokkan ke setiap tempat makan yang kita lewati namun tak terlihat sayuran tersaji di meja. Untuk menenangkan rengekan perut aku membangun harap paling tidak sepiring cap cay bisa kita dapatkan untuk santap malam. Tapi ternyata meski Peunayong dikenal sebagai kawasan pecinan Banda Aceh,tak terlihat penjual makanan yang menawarkan cap cay sebagai salah satu pilihan menunya. Atau … karena mata kita sudah berat menahan kantuk, lelah dan lapar sehingga tak melihat benda itu?

Bergandengan kita melangkah menyusuri jalan basah. Sesekali meloncat kecil menghindari genangan air di jalan serta cipratan air yang disembur ban kendaraan yang melintas. Hanya beberapa penjual seafood yang terlihat santai membenahi dagangannya. Sambil melangkah engkau bertutur kenangan semasa berkumpul dengan teman-temanmu di kawasan Rex usai jam kerja.

Kau iming-imingi aku kalau di salah satu sudut Peunayong ada penjual daging babi yang tak sengaja kau temukan ketika berkunjung ke rumah salah seorang kawanmu. Sayangnya, kita tak menemukan tempat itu. Entah telah digusur atau mungkin sudah tak berjualan lagi. Lagi pula dirimu tak mengingat dimana tepatnya ibu itu berjualan.

Lapar teramat sangat menghentikan langkah kita di deretan gerobak penjual makanan di seberang Rex tak jauh dari hotel Medan. Dua piring sate Padang, satu porsi kecil kerang rebus dan dua gelas jus alpukat aku pesan kepada si abang.

Jauh-jauh ke Aceh makannya koq Sate Padang?” selorohmu.
Gak pa-palah, makan Sate Padang sembari membayangkan sayur cap cay hahaha,” tukasku sekenanya untuk menghalau kecewa.

Meski lapar selera makan sudah lenyap karena lidah tak menemukan rasa yang diharapnya. Kita makan dalam diam, duduk di emperan sebuah rumah toko (ruko). Wajahmu tampak lelah, pikiranmu melayang entah kemana.

Ehmmm … teringat seseorang ya?” kuseruput jus alpukat yang rasanya biasa saja sambil mengamati gerak mulutmu melahap satu per satu sate yang sausnya kurang menantang tersaji di meja.
Nggak, capek pengen cepat rebahan di kasur.”
Ohhh …

Meski tak berterus terang, aku dapat membaca dari raut wajahmu; hatimu sedang gundah tapi aku tak ingin mengganggu dirimu. Aku berusaha memecah sepi dengan berbagi cerita perjalananku dan tentunya bagaimana kubangun harap untuk bisa menjejak di Nanggroe. Engkau hanya menanggapinya dengan tersenyum simpul tanpa banyak berkomentar. Entahlah, di depanmu aku selalu tampak cerewet. Ya, hanya di depanmu. Karenanya kau sebut aku ini cerewet!

Lagi enak-enak makan, yang punya ruko tiba-tiba muncul dalam remang malam meminta kita untuk bergeser karena hendak mengeluarkan barang. Duuuuh, kenapa pindah-pindahan saat semua orang sedang menikmati santap malamnya sih Ngkoh?! Meski sedikit menggerutu, pantat terpaksa digeser memberi mereka ruang untuk mengangkut karung besar dari dalam toko.

Jelang pk 22.00 kita meninggalkan Peunayong dilepas gerimis yang turun menyapa malam. Kembali bergandengan tangan, berlari kecil menyeberang jalan menggapai kendaraan si kakak yang diparkir di seberang. Tak banyak kata yang terurai sepanjang perjalanan pulang. Usai bersih-bersih diri, kasur adalah benda yang paling dirindukan. Tak peduli di luar angin kencang disertai petir dan hujan deras mengguyur Kutaradja; malam itu aku lelap seperti bayi dalam peluk ibunya.

pulang, wisata aceh
Pulang @Siron Mass Grave, Aceh Besar (captured by Hadi siAnakDesa)

Duluuuuu, dalam catatan sejarah kawasan Peunayong terkenal sebagai tempat bertenggernya kupu-kupu malam alias pelacur. Jadi barangsiapa yang ketahuan jalan-jalan sore atau menghabiskan malam di Peunayong, akan dicurigai usai plesiran dengan seorang pelacur.

Setahun berlalu … ke Peunayong aku kembali. Senja ini aku pun ingin melacur di Peunayong. Melacurkan pikiranku pada sebentuk memori yang pernah kita rangkai di sini. Menyusuri kepingan-kepingan kenangan kala rindu membangkitkan gairah tuk mereguk kembali kebahagiaan yang pernah diselami meski hanya mengenangmu lewat sepiring penganan dan seruput kopi pahit yang kan menemani hingga malam menjelang.

Menikmati senja tanpa hadirmu. Di tempat aku pernah berjanji pada diriku untuk selalu menjagamu. Hmmm … bukannya sok mau jadi pahlawan, tapi sebagai sahabat aku selalu ingin membuatmu tertawa dan membangkitkan kembali semangat yang pernah hilang. Seperti makna kata peunayong itu sendiri, melindungi atau memayungi.

Kulangkahkan kaki ke Piyoh, membunuh waktu sembari iseng membolak-balik pajangan kaosnya. Tak menemukan yang dicari, berpindah ke gerai cinderamata di sebelahnya. Melirik beberapa kemasan kopi yang dipajang di rak, mengorek memori kala menyesap kopi hitam di Lubok Sukon atau Geurute. Hmmm …. wanginya masih tersisa di ujung hidung. Kenapa semua benda-benda yang terlihat oleh mata bangkitkan kenangan akan hadirmu?

Cari apa kak?” seorang penjaga di gerai menghampiri, mencoba untuk menawarkan jasa.
Masih bingung mau beli apa, lihat-lihat dulu boleh ya bang” sahutku berbasa-basi.

Tak ada yang nyangkut di hati, kuayun langkah berkeliling mencari tempat untuk mendaratkan pantat dan meluruskan kaki. Kutinggalkan Rex, melangkah tanpa tujuan yang pasti hingga akhirnya sampai di depan pintu Mie Razali.

Masuk .. tidak .. masuk .. tidak .. mulai menghitung kancing. Kemarin baru melahap mie Aceh di Mie Aceh Ayah, masa sekarang ngemie lagi? Maka pilihan pun dijatuhkan pada Nasi Goreng Daus yang ada di samping Razali. Seporsi Nasi Goreng plus Jus Alpukat tersaji di atas meja. Lagi-lagi alpukat membongkar keping-keping kenangan yang tertinggal di Peunayong.

Aaaaah, rasa itu pun menyeruak bersama gerimis yang perlahan turun membasahi bumi. Merindu canda dan tawa lepasmu, merindu kenangan yang pernah terangkai di sini. Ujung mataku perlahan memanas. Tak tahan sebening air menderas di pipi berlomba dengan derai gerimis yang menderas menghujani Peunayong tanpa ampun. Semesta seakan turut merasakan gelisah yang membekap jiwa. Maafkan untuk segores luka yang pernah ditorehkan

Langit Kutaradja semakin pekat, bergegas kutinggalkan Peunayong kembali ke penginapan kecil di sudut Nyak Makam. Kulirik jarum jam yang bergulir di pergelangan tangan kanan, masih 30 menit sebelum Cinderela menjadi labu. Kulangkahkan kaki ke kedai kopi di samping penginapan yang dipenuhi asap rokok dan sorak para lelaki bermain karambol di meja pojok.

Khupi itam kak?” si abang yang sudah hapal kelakuanku selama dua malam berturut-turut menjemput pagi di kedainya menghampiri. Kuanggukkan kepala dan melampar senyum pada si abang yang dengan cepat melesat kembali ke dapur.

Kedai ini buka 24 jam, dijalankan secara bergantian oleh sepasang suami istri. Mereka berbagi shift melayani pengunjung, pagi – sore yang jaga si kakak; istri si abang ditemani keponakannya sedang malam hingga pagi giliran si abang yang kadang sendirian melayani tamunya.

Tak lama dia kembali dengan secangkir kopi mengebul di tangannya,”khupinya kak.”
Tarimong gaseuh bang, hmm … bolehlah minta dibawakan kacang satu ya.” Abangnya tersenyum sekilas dan kembali dengan sebungkus kacang goreng yang kusambut dengan senyum lebar. Mungkin dalam pikirannya melayang sebuah tanya, kenapa pula perempuan ini memilih menyambut pagi di kedai kopi yang isinya hanya lelaki dan asap rokok?

Gelak tawa terdengar dari pojokan, aku lebih heran melihat para lelaki itu. Tiga malam berturut-turut dan selalu kujumpai mereka duduk mengitari meja di pojok itu. Di kala istri mereka meringkuk kedinginan di dalam selimut, mereka malah keukeupan dalam jaket menikmati gelindingan dadu di meja karambol sembari dari bibirnya sesekali melayang asap putih ke udara.

Yaaa, setiap orang punya cara untuk membuang gelisah yang menggelayuti hatinya. Mereka toh nggak menggangguku, mereka tenggelam dalam permaiannya sendiri. Perlahan kuseruput kopiku, nikmat mengalir ke tenggorokan, menghangatkan perut sebelum beranjak mengunci diri di ruang sempit berpendingin di lantai tiga penginapan yang hanya selangkah dari bangku tempatku duduk saat ini. Tepat pk 24.00 aku pamit pada si abang, tak lupa kutitip pesan esok pagi hendak menjumpai si kakak sebelum melangkah ke Sultan Iskandar Muda. Aku masih ingin meyelami pagi di kedai ini sembari menikmati nasi lemaknya.

Kulirik ampas kopi yang mengendap di pantat cangkir mengirimkan salam perpisahan. Kenangan yang manis akan selalu menyisakan sesuatu yang lekat dan mengendap di dasar hati yang kan membuatmu menghargai segala yang pernah dijalani ketika yang kau rindu lenyap dari pandangan. Kubungkus rapi kepingan kenangan yang masih dapat kureguk dengan penuh kasih, mengikatnya dengan pita kerinduan, menyimpannya di bagian terindah di dasar hati. Berharap satu saat kan kita buka bersama, untuk mengenang perjalanan kala merindumu, di negeri Keumala, saleum [oli3ve].

*****

Note: sebuah oretan yang dire-post dari catatan Perempuan Keumala untuk meramaikan postingan bersama geng Travel Bloggers Indonesia dengan tema #Mudik #Pulang #Kangen.

Tulisan lain sila dibaca dari:

24 thoughts on “Merangkai Serpihan Kenangan di Peunayong

  1. Pingback: Ibu, Aku Pulang
  2. Kamu kok bisa banget ya kak merangkai kata dengan kalimat2 langsung dan tidak langsung dengan porsi yang pas. Cakeplah. Pantesan dikira orang aceh, postingan acehnya mendalam! 🙂

  3. Pingback: pulang

Leave a comment