Layang-layang akan terbang selama mungkin di langit namun pada akhirnya ia akan jatuh ke bumi dan menjadi tak berdaya. Kita akan berpesta selama kita bisa tapi pada akhirnya pesta akan usai dan kita hanya akan ingat tentang kesenangan – [pepatah Cina]
Sebenarnya tak ada rencana untuk menyusuri jejak Oei Tiong Ham saat transit di Semarang Sabtu (09/03/13) lalu. Usai menjumpai Oei Hui Lan di Hotel Tugu, Malang hampir setahun lalu, saya belum membuat rencana penyusuran jejak keluarga Oei lagi. Agenda selama di Semarang hanyalah menuntaskan kunjungan ke ereveld serta menikmati kuliner Semarang sebelum beranjak ke bandara menjemput kloter yang menyusul dari Jakarta jelang senja.
Ide itu mendadak muncul saat bersiap beranjak dari Ereveld Candi menuju Kalibanteng. Setelah menimbang waktu yang tersisa dan kerelaan mengundur jam makan siang, kami berempat sepakat mencari jejak kerajaan bisnis Oei Tiong Ham. Mengikuti petunjuk singkat dari Mas Agung dan dituntun Azizah blogger Semarang sebagai pembuka jalan, misi pencarian jejak Raja Gula Dunia pun dimulai.
Tak banyak yang tahu di atas dataran tinggi kawasan Bongsari tepatnya di Jl Pamularsih Dalam I; ada sebuah bangunan yang masih menyisakan kemegahannya. Dari obrolan singkat dengan seorang ibu yang saya jumpai di teras, beliau mengatakan bahwa bangunan itu adalah milik nenek moyang mereka dan sudah ditempati secara turun temurun. Si ibu gak tahu siapa nama pemilik awal bangunan dua lantai bercat putih itu. Informasi yang bisa diberikan adalah saat ini lantai bawah bangunan ditempati oleh 50 KK yang membuat petak-petak tambal sulam di dalam dan di luar bangunan. Sedang lantai atas karena sudah lapuk, sudah lama tidak digunakan.

“Wooooowwwwww, selamat datang di pusat kerajaan bisnis Oei Tiong Ham!” Saya takjub di depan bangunan yang disanggah pilar-pilar yang sudah keropos dengan jendela besar yang sebagian tertutup; melayangkan imajinasi ke masa seratus tahun ke belakang! Dari lantai atas bangunan inilah Oei Tiong Ham dulu memantau kapal-kapal dagangnya menyusuri Laut Jawa. Sayang, semua bayang itu hanya bisa bermain dalam imaji karena yang tampak di hadapan saya kini hanyalah seonggok bangunan tua yang menunggu waktu tergerus jaman bila tak ada tangan yang tergerak untuk memeliharanya.

Dari Pamularsih mengarah ke tengah kota untuk mencari pengganjal perut; kami iseng mampir ke Istana Gergaji yang teletak di Jl Kyai Saleh, Bale Kembang. Di depan gerbang mobil disambut oleh petugas keamanan yang menunjukkan wajah tak bersahabat. Setelah memarkir kendaraan, saya didaulat untuk memasang badan menghadapi bapak-bapak itu.
Saya yakin bukan secara kebetulan jika siang itu Mbak Donna, asisten pemilik Bernic Castle tiba-tiba muncul menyambut langkah saya saat menghampiri bapak-bapak petugas kemanan. Setelah menyampaikan maksud kedatangan yang dibumbui penyedap berupa kisah Oei Tiong Ham dan Oei Hui Lan yang sudah pernah saya lahap; Mbak Donna yang sebelumnya terlihat keberatan dengan kedatangan kami yang mendadak terlebih melihat kamera menggantung di leher berubah pikiran.
“Ok mbak, mari saya antar melihat ke dalam tapi gak boleh foto-foto ya.”
“Baik, tapi kalau foto bagian luar gedung boleh donk, mbak” Pasang senyum lebar sebagai usaha gigih untuk mendapatkan ijin memotret hahaha.

Uhuiiiiiiiy! Penuh semangat kami melangkah ke dalam Bernic Castle ditemani mbak Donna disertai pandangan penuh selidik dari bapak satpam yang saya lupa namanya. Bangunan yang kini difungsikan sebagai convention hall ini, dulunya adalah bangunan utama istana Oei Tiong Ham. Ketika aset Oei Tiong Ham dinasionalisasi pasca kedaulatan RI, Istana Gergaji diserahkan ke TNI dan difungsikan sebagai Balai Prajurit.
Bangunan ini tetap dipertahankan seperti bangunan awal meski beberapa bagian dalamnya sudah dipugar seperti langit-langit dan dinding. Yang masih tampak asli adalah pilar, kusen pintu dan jendela serta kaca patri yang sayang gak bisa difoto hehehe. Keasikan berbagi kisah, kami pun diajak berkeliling hingga ke sayap belakang bangunan dan melongok ruangan-ruangan dengan ornamennya yang masih asli.

Di halaman belakang yang dulunya bagian taman istana, mbak Donna menunjukkan sebuah pohon mangga (?) yang sudah tua dengan lobang menganga di bagian batangnya. Pohon ini mengingatkan pada kisah saat Hui Lan mencoba mengendarai mobil baru kakaknya Tjong Lan dan menabrak pohon di belakang istana. Kata mbak Donna,”kayaknya ini bekas perbuatan anaknya deh seperti yang ditulis di buku yang saya baca.”
Istana Oei Tiong Ham dulunya membentang sepanjang Jl Pahlawan – Pandanaran hingga Randusari dengan luas 81 ha. Selain bangunan induk yang masih tersisa, dulu di bagian belakang istana terdapat kebun, taman yang luas, kebun binatang, paviliun-paviliun untuk tamu serta perumahan untuk pekerja di lingkungan istana. Kini bagian belakang bangunan tersebut sudah berganti menjadi permukiman warga dan sisa bangunan yang ada menjadi kantor Bernic Castle serta tempat kursus.

Kebaikan keluarga Oei Tiong Ham masih dikenang masyarakat hingga sekarang berkat Tay Kak Sie yang didirikan ayahnya Oei Tjie Sien; untuk tempat sembahyang pekerja di istana mereka, serta Sam Po Kong yang dibebaskan Tjie Sien dari pengutan pajak. Setelah diambil alih oleh pemerintah perusahaan Oei Tiong Ham berubah nama menjadi PT. Rajawali Indonesia dan beberapa peninggalannya menjadi kantor pemerintahan. Jika ditelusuri dengan runut, jangan kaget bila anda akan sampai pada kasus yang menyeret Antasari.
Satu lagi kisah yang memilukan, Raja Gula asal Indonesia yang dikenang di negeri tetangga namun yang tersisa di negeri ini hanyalah sedikit jejaknya yang nyaris hilang dan hanya sedikit orang di negeri asalnya yang mengenal dirinya. Ironis!
Oei Tiong Ham meninggal di Singapura pada 6 Juni 1924 karena serangan jantung. Jasadnya dibawa ke Semarang untuk dimakamkan bersama ayahnya namun pasca kemerdekaan RI, makamnya dibuka sisa jasadnya diperabukan dan abunya disimpan di Singapura. Di negeri seberang Oei Tiong Ham dikenang dan namanya diabadikan sebagai nama jalan, taman, serta memorial hall, lalu istana Hui Lan menjadi National University of Singapore, di Indonesia?
Benarlah apa yang tertulis di buku-buku sejarah ada kalanya kita harus belajar dari sejarah, meski kehidupan adalah sekarang dan masa depan adalah rancangan. Kita tidak bisa mengubah sejarah yang telah terjadi, namun kita dapat bercermin dari keputusan masa lampau dalam mengambil langkah yang lebih bijaksana di hari ini untuk menyongsong masa depan. Salam pejalan [oli3ve].
*special thanks to Azizah yang sudah menemani langkah di Semarang, buat Ari ini oleh-olehnya ya ;).
Ornamen kamar mandinya cantikkkkkkk bgt
mbak Noni, kalo liat bak mandinya pasti pengen deh berendam 😉
saat saya kost dijalan kumudasmoro, saya sungguh penasaran….karena belum tahu siapa itu oi tiong ham…..memang ada gedung tua disitu.
Wow… ternyata masih ada sisa kejayaannya Oei Tiong Ham ya..
Saya penasaran cari bukunya papanya Oei Hui Lan belum ketemu nii..
kalo sempat coba aja cek ke lapaknya om Jose Rizal Manua di TIM bu, kali aja masih ada *eh perasaan pernah jawab di MP deh hahahaa*
Wakakakak.. pernah jawab di MP ya hihi, akuh lupaaa.
trus kemaren cara buku Perempuan Keumala juga ga ada di gramed,. akhirnya beli buku Bu Nani, yang Aku, Ayah dan tragedi 65..
Ini sejaraaahhhh banget mbak Olive…. Sedih lihat kisah bersejarah yg skrg malah hilang ditelan jaman pdhl dulunya mereka salah satu orang terkaya di Indonesia.
Tp pnasaran banget ttg nyeret Antasari…ada link terkait?
kaitan langsungnya sih gak,
tapi Nazaruddin yang jadi korban penembakan itu adalah direktur salah satu anak perusahaan Rajawali Indonesia bagian perush OTHC yg dulu diambil alih pemerintah.
Wow banget nih mbak…besok2 harus “membajak” azizah nih buat ke sana 🙂
Aku meluuu mbak Mei…
melu terus tho ri…hahahaha…wis ndang nyewo iwak terbange indosiar 🙂
kalo ke Aceh paling enak yo melu Ari 😉
Wow.. Oleh-olehnya luar biasa mbak. Aku jadi penasaran sama kalimat “Jika ditelusuri dengan runut, jangan kaget bila anda akan sampai pada kasus yang menyeret Antasari.” deh.. *langsung cari tahu*
hahaha, kamu kayak Halim ..jawabannya ada di atas
Kekayaan yang luar biasa. saya ingat ada kalimat di cerita yang saya baca, pada saat itu belum ada anak2 yang punya boneka sebagus boneka anak kesayangan Oei Tiong Ham, dan ketika dia buat pesta tidak ada yang datang Ayahnya ngamuk dan marah, anaknya benar benar Princess,.
pada zaman dahulu aja rumahnya udah semewah itu, kalo saja ada generasinya yang masih merawat aset peninggalan Raja Gula ini, semuanya akan tetap berdiri mewah.
Salama’
generasinya mengelola aset mereka di luar negeri, aset yang ada di dalam kan diambil alih dan dikuasai pemerintah sejak 10 Juli 1961. jadi sebenarnya yg gak peduli siapa donk?
wah, baru tau ada tempat bersejarah ini
halo mas Daniel, saya pernah share di K lho kisah anaknya. btw apa kabar K? sudah lama gak mampir di sana
selalu menyenangkan baca catatan perjalananmu sista
hai Kei, terima kasih sudah mampir ke sini. kapan mau diculik lagi? 🙂
Makasih juga sudah menuliskan reportase yang keren sista….
mau banget, siapa ya yang mau bayarin tiket jerman-jakarta pp… hiks.
harusnya olip tambahkan kantornya yg di kotalama semarang sbgai pelengkap ceritanya.
di Semarang ga banyak orang kenal dengan bangunan indah ini, bahkan tak tau siapa raja gula dari semarang ini, ironis banget deh
OTHC? punya gambarnya hasil ptd 2005 mau ditautkan ke MP eh ternyata dah bye-bye 🙂 *masih ada tuh gedung? dulu mau dirobohkan kalo ndak salah*
mba elvi & mba olive ..
kantornya oei tiong ham yang di kota lama tepatnya dimana ya ?
ngenes nih, 2 tahun tinggal di semarang, baru beberapa bulan terakhir ngeh kalo ada sejarah super dahsyat disini, sejarah keluarga oei .. 😦
dipojokan Za, sebelum belok ke arah blendug 😉
wah, gak boleh foto2 interior 😦
boleh koq pada saat ada acara di dalam,gitu kata mbak Donna kita disuruh balik lagi sabtu depannya. interior bangunan belakang yg masih asli boleh dipotret, yg bangunan depan sudah renov
WAH … kirain nggak 🙂
terharu banget, nama saya beberapa kali disebut di tulisan mba olive ini .. xixixixi ..
dengan senang hati, mba, kalo ngga sama mba olive dkk, mungkin saya juga belom jadi menelusuri jejak sang raja gula ..
dan ..
baru tau kalo tay kak sie & sam po kong ada hubungannya dengan keluarga besar oei .. ada referensinya, mba ? pengin ikutan baca .. 😀
Mesti baca bukunya tuh 😉
Hm, kisah masa lalu yang membuat aku merasa ingin ke sana mbak Olive. 🙂
yuuuuk, kemarin baru iseng² aja mampir belum explore yang dalam 😉
salam kenal..
silahkan berkunjung ke blog saya >> http://www.adrian10fajri.wordpress.com (Pesona Palembang)
terima kasih sudah mampir, siapin penganan ya di sana 😉
baiklah… ^_^
keren postingannya
dan aku suka sama ornamen kamar mandinya
terima kasih
ornamennya keren ya
Ah, Mbak Olyv, selalu keren ketika harus menelusuri catatan-catatan sejarah di beberapa tempat di Indonesia. Mendadak kangen Mbak Olyv, pengen ngobrol banyak2 😦
Dulu, di kompasiana awalnya aku terlalu segan denganmu, Mbak 😐
segan + kangen = keren LOL
kayakna perlu order bubur sumsum lagi nih buat di Monas demi mengobati rasa kangennya Naz 🙂
Tapi beta sudah ada di KL sekarang, Mbak Olive hiks
kan masih ada hari esok, siapa tahu pas 28 bisa balik kita ketemu di #SB2013 😉
Aamiin, aamiin, Allahumma aamiin…
Semoga demikian, Mbak 🙂
Blogku yang aktif di anazkia.com 🙂
kalo di palembang, namanya kampung kapitan, mak… 😀
gitu ya mak, pengen suatu saat makan kapal selam di sana
pernah lihat bukunya tapi gak penasaran pengen baca tapi setelah baca tulisan ini jadi pengen baca…
senang bisa menginspirasi 😉
Nama Oei Tiong Ham pernah dijadikan nama jalan di Semarang. Lihat: http://www.lib.utexas.edu/maps/ams/indonesia/txu-oclc-21752461-sb49-10-back.jpg
betul mas, tapi kemudian diganti sekarang dikenal dengan Jl Pemuda 😉
Cerita bagus sekali, Oei Tiang (tiong) Ham juga menyumbang besar ke Singapura. Justru di Singapura dia jadi tokoh. Salah satunya bantuan pembangunan Gedung Pendidikan Malaka (sekarang kampus Oei Tiang Ham (OTH) Building di LKYSPP NUS Singapore.
terima kasih sudah mampir mas Andi
Tulisan2 mba’ olieve bagus2. jd banyak tau lebih dalam ttg banyak hal yg selama ini hanya tau kulitnya. jadi kepancing utk menggali lbh dalem dan dateng langsung ke TKP. tq bgt ya mba’, terus menulis dan berbagi…
hi mas Dede,
terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak, terima kasih juga sudah menyukai tulisannya
hayuuuk terus menggali 😉
sip
Saya asli Semarang, sejak kecil sudah diberi tahu bahwa istana tsb adalah milik Raja Gula..yg katanya berhantu. Hehe. Sungguh hebat perjuangan bisnis bangsa Tionghoa di tanah Jawa. Gigih dan ulet. Akhir2 sy tertarik menelisik jejak Tionghoa di zaman kolonial..semua ini krn rasa penasaran setelah melihat film Ca Bau Kan, yg diceritakan Tan Peng Liang pengusaha kaya raya yg licik n berkharisma asal Gang Pinggir, Semarang. Semarang mmg menyimpan sejuta kisah 🙂 salam.
Wah, penasaran pengen ke sisa2 kejayaan Kong Oei.. (sok akrab).
Opa Oei hehe, yuk dijajaki 😉
Keren bangeeeeet 😀
Ulasan yg bagus sekali, sy baru aja selesai baca buku kisah tragis oey huilan karya agnes d utk kali kedua. Sungguh miris bhw Indonesia sendiri tdk memelihara kekayaan sejarah masa silam. Kita tdk blh melupakan warisan sejarah. Satu hari nanti sy akan berkunjung ke semarang sekaligus napak tilas jejak sejarah oey tiong ham. Salam
Mbak Agnes terima kasih sudah meninggalkan jejak di sini. Sayang sungguh sayang ya, saya pun ingin kembali menyusuri jejak itu satu hari nanti, saleum
Ulasan yg bagus sekali. Sungguh miris pemerintah jaman sekarang tdk memelihara kekayaan sejarah masa lampau. Sy br aja selesai baca buku kisah tragis oey hui lan karyaagnes d. Utk kali kedua. Kita tdk blh melupakan sejarah masa lampau kita. Satu hari nanti sy mau berkunjung ke semarang, sekalian napak tilas jejak lampau oey tiong ham. Salam
Menarik dan kebetulan banget, karena kemarin aku baru baca artikel tentang Oei Tiong Ham ini di National Geographic Indonesia. Bedanya, di sana justru dibahas sisi kelamnya. Oei Tiong Ham bukan sebagai Raja Gula, melainkan Raja Candu terakhir dari Semarang.
Konon ia meraih keuntungan bersih sebesar Rp 1,2 Trilyun selama 13 tahun bisnis candunya, atau kurang lebih Rp 92 Milyar per tahunnya. Dan itulah yang menjadikannya kaya raya, meskipun pada akhirnya dia lebih dikenal sebagai Raja Gula dari Semarang.
Nama Oei Tiong Ham sendiri pernah diabadikan menjadi nama jalan di daerah Nieuw-Tjandi (atau daerah Candi Baru, sekarang), tapi sejak tahun 1950-an sampai sekarang nama jalan itu diganti menjadi Jalan Pahlawan.
Eh beneran dia jalan-jalan, jgn bosan ya kk Bart 😄
Tentang Raja Candu sekilas diulas saat Kecanduan di Corong Opium
Siap. Insya Allah gak bosen-bosen. Siip, tak mampir juga ke situ 😊
maaf koreksi sedikit, setahu saya rumah yg pertama itu bukan milik Oei Tiong Ham, tp milik ayahnya Oei Tjie Sien, dan perusahaan nasionalisasi bekas aset Oei Tiong Ham adalah PT. Rajawali Nusindo. Sementara yang kisah tentang situs sampokong yang jadi tempat ziarah warga tionghoa sebelumnya dikuasai oleh seorang saudagar yahudi, yang hanya membolehkan org2 tionghoa berziarah 1 kali setahun, itupun dipungut bayaran, yaitu saat peringatan pendaratan cheng ho, berupa kirab kongco sam poo tay djien dari klenteng tay kak sie di pecinan menuju klenteng sam poo kong di gedongbatu. setelah kawasan itu berhasil diambil alih oleh Oei Tjie Sien, maka ia membebaskan warga tionghoa utk bs berziarah kapan saja dengan gratis, hal itu diingat sebagai sumbangish terbesar keluarga Oei untuk warga tionghoa semarang.
btw, kirab budaya sam poo tay djien 2015 baru saja lewat tanggal 13 agustus yg lalu.
terimakasih, mohon koreksi mana tau ada yang kurang tepat.
terima kasih tambahan infonya mas Gatot, sudah lama nggak mengulik lagi kisah keluarga ini
Awalnya saya hanya mencari tahu asal usul nama keluarga, tetapi saya menemukan cerita2 perjalanan mbak dengan sarat sejarah yg menarik.
Ditunggu cerita2 lainnya yang menginspirasi…
terima kasih sudah menyempatkan mampir mbak Dy
Iya iya…yg org jadul tau ya Opa Oei ini raja candu. Padahal kalo logika yah perusahaan Kian Gwan yang dinasionalisasi dan sekarang jadi Pt Rajawali itu tuh kan BUMN yg ngurusin hasil bumi. Jadi sebenernya,dari jaman masih berjudul Kian Gwan emang Opa Oei punya usaha berhubungan dengan hasil bumi sih yang sangat dibutuhkan sama orang diseluruh dunia ( ada kantor cabang di Bangkok, KL, sampe USA ). Tapi krn dinasionalisasi jadi pemerintahan kita ga (mau) mengakui jasanya beliau.
Beliau ga bisa bebas berjasa di Nusantara krn saat itu kompeni narik pajak atau boleh dibilang merampok melulu. Waktu beliau tinggal di S’pore,usaha lebih mudah krn semua disana terbuka utk bisnis dan berjalan lancar. Makanya S’pore sangat mwnghormati beliau sampe ada nama jalan dari namanya. Padahal, beliau bertitah untuk dimakamkan di Semarang. Tjong Lan, anaknya, juga dimakamkan di Semarang.
Kapan yah Opa Oei bakal diakui di negaranya sendiri?
2 tahun lebih tinggal di semarang, belum jadi mau kesini. haduuh…
aaah kamu kk, tinggal jalan juga 😉
Papa sy dulu punya loh bukunya oei tiong ham raja gula dari semarang hard cover lagi, tp skrng ga tau dimana buku itu.. Hiks.. Sy masih kecil sih wkt itu. Skrng baca2 tulisan mbak olive jd inget.. Keren bener opa oei.. Sy punya 2 teman bermarga oei juga, jangan2 msh keturunan opa oei.. Hihihi..
Hiks, kemarin 2x ke Semarang saya terlewaaat mau napakntilas di sini. Pun ke Sam Poo Kong, hape error dan foto2nya hilang hiks…komplit kan >.<
Saya bookmarked ini, tfs yaaaa.
Halo kawan kawan, saya berkeinginan membaca buku Oei Hui Lan yang berjudul Tiada Pesta Yang Tak Akan Berakhir. Mohon Jika ada yang punya lebih dan mau menjual, saya ingin membeli. Di Gramedia sudah habis. Itu buku cetakan thn.2011.
Kak.. kenapa g boleh foto bagian dalam??
properti punya orang, nggak boleh dipotret sembarangan. dalamnya bagus tapi sudah banyak berubah.
oooh.. tapi tetep aja aturannya bingung yudi bingung kak
hihi .. jangan dibikin ribet mikirnya Yud
bbrp hari yg lalu bersama seorang teman membahas ttg gula, akhirnya kesasar disini.
saya tercekat, ternyata semarang menyimpan sejarah luar biasa itu,
sosok yg disebut raja gula dari semarang itu sudah pernah dengar bbrp taun yg lalu.
tp baru tau kalo ada hub.nya dg PT RNI yh dulu pernah heboh itu.
Artikelnya bagus sekali,Mbak. Saya yang penasaran dengan Istana Oei Tiong Ham, akhirnya terjawab di sini 🙂
terima kasih ☺