Kami memutuskan ke Lubang Buaya siang itu juga. Ke tempat – dalam pikiran saya selama ini – di antah berantah sehingga tak pernah terpikir untuk melencer ke sana. Lalu kenapa mendadak ingin ke Lubang Buaya saat matahari menekan – nekan pucuk kepala? Begini. Kadang, ketika pikiran saya sedang penuh dengan ingatan lalu, ia selalu ingin cepat – cepat meluluskan angan yang tiba – tiba bertandang. Jadilah ide itu terlontar,”Lubang Buaya, yuk!”
Berjalan dari Lembang 58, kami berangkat menumpang bus TransJakarta dari perhentian Latuharhary ke Pinang Ranti sebelum berpindah ke mikrolet yang ngetem di seberang perhentian bus. Mikroletnya berwarna merah. Jurusan dan kode trayeknya, lupa. Tapi saya tak lupa memastikan ia berjalan melewati Lubang Buaya dan berpesan kepada pengemudinya, “Bang, tolong turunkan di depan Monumen Pancasila Sakti, ya,” sebelum naik. Sebenarnya dengan menyebut monumen saja, supir – supir mikrolet yang terbiasa wara – wiri di sana sudah paham. Namun dengan memberitahu tempat tujuan yang jelas membuat hati lebih tenang.
Mikrolet berjalan lamban. Bahkan terlalu sering berhenti meski tak ada yang melambai dan memintanya berhenti. Mata saya mulai diserang kantuk ketika supir berteriak, “Monumen, mbaaak!” Aksen suaranya kental sekali dengan pengucapan huruf e yang tajam. Kami turun, saya sodorkan ongkos. Abang supir mengangsurkan uang kembalian sembari berpesan agar berhati – hati saat menyeberang jalan.

Dari gerbang di pinggir jalan besar ke monumen, tak dilalui angkutan umum apalagi bus antar jemput! Mau tak mau harus berjalan kaki. Pk 14.00 lebih sedikit ketika kami sampai di loket untuk membeli tiket masuk. Bapak yang bertugas mengingatkan batas waktu berkunjung hingga pk 16.00.
Meski matahari mulai meredup, berjalan kaki hari itu membuat banyak keringat mengalir untuk sampai ke Dapur Umum yang sepi. Tak tampak perempuan – perempuan yang ramai berkumpul seperti yang digambarkan di film Pemberontakan G30/S PKI. Imaji saya berkeliaran ke masa itu. Ketika pohon karet masih berdiri rapat – rapat di sini dan jalannya tak selebar sekarang. Seperti apa sepinya?


Tak banyak yang berkunjung siang itu. Mungkin orang lain datangnya di pagi hari. Selagi membasahi kerongkongan di serambi Dapur Umum, saya hanya melihat sepasang anak muda berjalan ke arah Pos Komando. Di beranda Sumur Penyiksaan, kami menjumpai dua perempuan duduk – duduk melepas penat. Lalu dua remaja – sepertinya mereka tinggal di belakang komplek Lubang Buaya – memanfaatkan pelataran Tugu Pahlawan Revolusi untuk bermain bola.
Di Serambi Penyiksaan, satu rombongan keluarga saling melempar tanya melihat diorama yang ada di situ. Hati saya nelangsa ketika tak sengaja menangkap perbincangan mereka yang bingung melihat pemandangan di depannya. Kenapa patung itu dibuat berdarah – darah, siapa orang – orang berseragam yang memegang senjata dan mukanya beringas?


Saya yang asik dengan kamera di seberangnya bengong. Apakah mereka berkunjung ke sini tanpa tahu tempat apa yang akan didatangi? Informasi yang ada di setiap spot memang HANYA sepotong. Petugas museum pun tak terlihat selama kami berkunjung selain yang bertugas di loket tiket tadi. Tak ada tempat untuk bertanya.
Saya jadi membandingkan perjalanan ke ladang pembantaian Choeung Ek yang lekat di ingatan. Di situ juga tak ada petugas. Tapi pengunjung berkeliling dipandu pemandu suara yang bertutur dengan runut peristiwa genosida Kamboja sepuluh tahun setelah Gerakan 30 September lewat headset yang menempel di kuping. Lokasinya pun tidak dibagus – bagusin. Dibiarkan apa adanya. Dan itu justru lebih memudahkan pengunjung memaknai peristiwa lalu.


History has been written by the victors – Winston Churcil.
Jumat, 1 Oktober 1965 pk 01.00, sejumlah prajurit Tjakrabirawa pimpinan LetKol Untung bergerak dari Lubang Buaya. Mereka menaiki truk militer dan bus – bus yang sudah disiagakan. Tugas mereka, menculik tujuh orang perwira tinggi TNI Angkatan Darat: A.H. Nasution, Ahmad Yani, R. Suprapto, M.T. Haryono, S. Parman, D.I. Panjaitan, dan Sutoyo Siswomiharjo. Dengan berbekal foto, mereka menyatroni rumah – rumah jenderal yang menjadi target. Karena tak hapal muka, tak ada yang curiga ketika Pierre Tendean mengaku sebagai Nasution sehingga ikut diciduk. Jasad mereka ditemukan di sebuah sumur tiga hari kemudian. Nasution, lolos dari penculikan. Namun anaknya, Irma Suryani, menjadi korban.

Sebelum pulang, kami mampir ke bangunan besar yang catnya masih tampak baru. Tadinya saya pikir semacam gedung pertemuan sebelum melihat tulisan besar – besar di atasnya, Museum Pengkhianatan PKI (Komunis). Melihat pintunya terbuka, kami masuk saja. Berharap akan menjumpai koleksi museum yang menarik untuk dikunjungi.
Entah karena sebentar lagi waktu kunjungan museum berakhir, entah juga karena hemat listrik; ruangannya lebih banyak yang gelap. Lusuh dan pengab, tak seperti yang terbayang dari kemasan luarnya. Sesuai nama gedungnya, ia berisi diorama kegiatan dan peristiwa yang berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi serumpunnya di tanah air. Jika bertandang ke sini dengan membawa anak kecil, baiknya dampingilah. Mereka pasti akan banyak pertanyaan saat melihat pajangan penuh nuansa kekerasan yang ada di ruangan ini.


Monumen Pancasila Sakti
Jalan Raya Pondok Gede No. 24
Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung
Jakarta Timur
HTM Rp 5.000
Buka: Selasa – Minggu pk 08.00 – 16.00 (Senin dan Hari Libur Nasional TUTUP)
Untuk keluar dari ruang museum, pengunjung akan melewati selasar yang tersambung dengan Paseban (Ruang Teater) dan Ruang Relik – sayangnya hari itu TUTUP. Ternyata sejam saja sudah cukup untuk berkeliling karena tempat sepi, juga minimnya sumber informasi.


Bagi anak – anak Indonesia yang lahir dan bertumbuh di 1970 – akhir 1990an, ingatan pada peristiwa 1965, tentu akan mudah bangkit saat melihat diorama di Serambi Penyiksaan di Lubang Buaya. Apa yang disajikan di Lubang Buaya plek plek dengan film Pemberontakan G30/S PKI. Dan sepertinya, hal ini juga yang ingin disampaikan kepada generasi yang lahir kemudian.
Menelisik sejarah, baiknya jangan dilihat dari satu pintu saja. Cobalah juga untuk melihatnya dari sisi mereka yang ditepikan dari perjalanan sejarah bangsa ini lewat banyak buku dan sesekali menonton film seperti The Act of Killing misalnya yang oleh pemerintah Orde Baru selalu dilarang biar seimbang. Saleum [oli3ve].
Foto-fotonya cantik mba ….. Taun ini aku absen nonton film G 30 S
saya sudah lama sekali gak nonton, bosan kayaknya dulu hampir tiap tahun nonton hehe
aku baru taun lalu nonton dr awal smp selesai, kalo pas kecil pas jenderal2 mulai diculik udah zzzz duluan mba
Aku gedeg melihat sumur penyiksaan dimerah-merahin seperti itu. Lah ini museum bukan Disneyland …
untung gak ada tulisan tambahan .. darah itu merah seperti kelip lampu … ya mbak 😉
Pernah ke sini bertahun lalu. Pengin ngulang lagi, senang sudah membaca artikel mbak Olive. Sayang ya minim informasi, dengan sistem audio pengunjung serasa dikawal tak dilepas begitu saja.
Salam hangat