Hujan dan senja selalu hadirkan gelisah setiap kali mereka bertandang di saat yang bersamaan. Mendadak bayangan secangkir kopi panas menyembul dari balik lembaran majalah perjalanan yang terbentang pasrah di pangkuan. Kepulan asapnya menebar aroma mewangi, membuncah pucuk rasa untuk menyesapnya. Hmmm … aroma arabica menggoda memori pada ritual senja di Lubuk Sukon sembari menikmati tarian hujan.

Wangi tanah yang basah oleh derai hujan menyambut langkah kembali menjejak di gampong tercinta, Lubuk Sukon. Kusapa wajah Bang Jem yang sumringah setelah gelisah menunggu di depan masjid di mulut gampong (= kampung). Siang itu, kutepati janji pada Bang Jem kala secangkir khupi itam menemani obrolan senja di tepi sawah; kembali ke Lubuk Sukon bersama Ibu ditemani Kak Linda, Ari dan Citra yang menyusul dengan Yudi.
Dari depan masjid, kami melewati beberapa kelokan untuk menggapai rumah Bang Jem. Sebuah rumah panggung Aceh yang didominasi warna putih dengan daun pintu dan jendela besar berwarna hijau pupus, di atasnya ventilasi menganga lebar. Jendela dan pintu dibiarkan terbuka untuk sirkulasi udara. Meski tak lagi otentik, namun rumah Bang Jem adalah gambaran rumah papan yang banyak dijumpai di Lubuk Sukon.
“Makan siang di rumah Abang ya, di rumah Cut Tresia tidak ada yang masak,” tutur Bang Darzam yang akrab disapa Bang Jem sesaat setelah kaki menapak di tangga rumahnya.
“Dimana aja ok Bang, yang penting ada ikan keumamah dan sambal ganja,” sambutku penuh semangat, pula didorong rasa lapar yang mulai menggelitik dari lipatan usus di dalam rongga perut.
“Sesuai pesanan Liv, kakak sudah masak semoga rasanya memenuhi selera. Habis makan Abang antar ke rumah Cut Tresia.”
“Dan … ngupi di tepi sawah, Bang.”

Lubuk Sukon bagai magnet yang selalu menarik langkah mendekat setiap kali pulang ke Nanggroe. Sebuah perkampungan asri dimana rumah-rumah tradisional Aceh yang telah berusia ratusan tahun masih megah berdiri. Tak sekedar memandangnya dari bibir jalan, pengunjung pun dapat melihat dari dekat dan merasakan suasana di dalam rumah tradisional yang dalam bahasa setempat disebut Rumoh Aceh. Pekarangan antar rumah warga dibatasi oleh tanaman perdu nan hijau, penanda kekerabatan yang masih terjalin akrab.
Meski hanya berjarak sepelemparan batu dari Banda Aceh, gampong yang ditetapkan sebagai Desa Wisata di akhir 2012 ini tak banyak diakrabi. Kegelisahan yang lain terpancar dari wajah Bang Jem ketika bertutur sepinya promosi wisata daerah membuat nama Lubuk Sukon tenggelam di antara ikon wisata Aceh. Wajar bila namanya tak akrab di kuping para pejalan yang hanya menjadikan Banda Aceh sebagai kota transit ketika berkunjung ke Pulau Weh.
Kusesap es limun untuk membasahi kerongkongan yang kering dan ikut gelisah. Bukan hanya Aceh, endemi yang sama juga berjangkit di daerah lain di Nusantara tercinta. Jangan pernah bertumpu 100% pada campur tangan pemerintah terhadap gejolak wisata daerah. Kalau mau buka-bukaan, sebagian besar orang yang berada di lingkup pariwisata adalah mereka yang asing dengan destinasi wisata daerahnya sendiri.


Beragam anekdot Aceh pun mengemuka di sela santap siang yang dinikmati sembari lesehan di serambi depan rumah Bang Jem. Sie Manok Asam Keueng, Udang Asem Keueng, Ikan Keumamah dan Sambai Udeng aka Sambal Ganja nikmat turun ke dalam perut bersama nasi panas yang menebar wangi daun pisang. Masakan kakak tak kalah sedap dengan masakan Mak yang pernah mengakrabi saluran cerna di rumah Cut Tresia. Maka, menambah lauk hingga berkali-kali pun tak menyalahi aturan selama rongga lambung masih dapat menampungnya.
Sesuai janjinya, usai santap siang Bang Jem mengajak kami ke rumah Cut Tresia dan berkeliling gampong sebelum merajut senja di kedai kopi di ujung jembatan. Kedai itu berada di bibir Krueng Aceh, sungai yang mengalir hingga ke tengah kota Banda Aceh. Meski bukan penyesap kopi yang baik, sehari secangkir khupi itam adalah ritual yang tak dapat dilewatkan selama berada di Nanggroe.


Menikmati kopi Aceh ibarat menyelami lelaki Aceh. Lidah pun terlanjur mengakrabi penyusuran rasa kopi yang tersaji di Warkop Jasa Ayah (Kopi Solong), Soelthan Koffie, Warung Kopi 3 in 1, Kedai Mie Aceh Ayah,kedai kopi di puncak Geurutee maupun kedai si Mak di samping penginapan kecil tak jauh dari Soelthan. Namun, sensasi ngopi di tepi sawah maupun di bawah pohon asam Jawa di Lubuk Sukon-lah yang sangat melekat di hati.
Aroma segar merebak dari kepulan secangkir khupi itam yang telah tersaji di atas meja, menggairahkan senja yang masih betah digelayuti mendung. Tangan menjulur hendak meraih cangkir kopi saat sentuhan lembut disertai suara nyaring menggema …


“Mbaaaaak, kamu yang punya blog obendon? Akhirnya ketemu juga,” sapaan mengejutkan membuat majalah terpeleset mencium lantai.
“Oh eh .. maaf, hai,” gelagapan, kusodorkan tangan mencoba menjalin keakraban.
“Mbak, orang Aceh?” tanya yang selalu mengemuka saat berjumpa dengan seseorang yang suka bertandang ke rumah maya. Tak mengangguk tanda setuju, tak pula menggeleng untuk menampik. Seulas senyum dengan potongan kata sakti meluncur dari bibir,”Saya jatuh cinta pada Aceh.”
Kekakuan pun pecah. Bayangan secangkir khupi itam perlahan lebur seiring ditutupnya lembaran majalah yang telah membawa pikiran mengelana sesaat ke Nanggroe.
Aceh dan kedai kopi adalah satu paket yang tak dapat dipisahkan. Rugi besar bila menjejak di Nanggroe Darussalam tanpa menyesap secangkir khupi itamnya. Dan, bagi penikmat sejarah, Lubuk Sukon yang menjadi proyek percontohan destinasi wisata sejarah dan budaya Aceh ini, wajib untuk disambangi. Bila memiliki waktu yang banyak; sempatkanlah untuk menyesap secangkir kopi di tepi Krueng Aceh di ujung gampong. Aaaah, mendadak ingin pulang! Lon Cinta Atjeh! Saleum [oli3ve].
Tulisan ini terpilih sebagai Winner#1 lomba blog TravelNBlog#1 dan dipertemukan dengan Meywah.
semakin sering travelling, semakin merasa kangen dengan tempat2 itu… ah rasanya kampung halaman saya makin banyak… Aceh tempat yg ingin disambangi kembali, dulu sih ke Aceh jaman jalan2 ceria hahah hihihi… Skrg pengen yg lebih santai mengenal budaya terutama kulinernya ~elus2 perut~
Bener banget kk, ke Takengon yuuuk 😉
Aku pengen bgt sbtlnya cuma skrg susah kenana mana nggak kaya kmrn 😦
Nanti aku ke Batam deh kalo gitu, trus anterin ya ke pulau itu 😉
Ke tanjung pinang terus pulau Siak… Nah Aku pengen nih, minggu dpn kalo nggak ada kerjaan survei dulu kesana
Sip sip, nanti info2 aja kalo udah kelar surveinya 😉
Yak! Orang yang bekerja di lingkup pariwisata malah masih asing dengan potensi wisatanya sendiri. Kenyataan yg menyedihkan. Makanya, sebagai travelblogger, tugas kitalah untuk mempromosikan tempat-tempat wisata itu 🙂
Ayo teruslah berbagi lewat tulisan, btw Selasa temanya apa? Kita jadi host #IDTC ya hahahaa
Wah iya apa ya. Oh, pengalaman puasa di bulan puasa aja gimana? #RamadhanTravel 😀
Pengalaman puasa apa traveling di bulan ramadhan?
Pengalaman traveling di bulan Ramadhan sih. Gimendes? Atau ada ide lain?
Bolelebo, ato bahas #kuliner ramadhan 😉
Ah, boleh juga ituuu 😀
Ah aceh … meskipun blm perna kesana tapi aku perna jatuh hati dengan seseorang dari aceh 🙂 masakan nya selalu merindu, meskipun aku tak suka kopi nya 😦
Sama siapa tuh om Cumi? pinter bikin mie Aceh ya? 😉
Menikmati kopi Aceh ibarat menyelami lelaki Aceh? Sudah berapa lelaki Aceh kamu selami, Mbak? ;D Saya juga mau jatuh cinta ah sama Aceh.
Kk Firstaaaaaa, masih bisa dihitung dgn jari tangan kanan koq 😉
Jari tangan kanan ada lima. Lumayan ya, mba. *salah-fokus*
dududududuuuu
Berabe berangkat ke aceh buat buka puasa…
Ya udah, ke Palangkaraya aja apa kk?
waktu itu nonton dokumenter Biji Kopi Indonesia, salah satu yang diangkat kopi dari Gayo. menarik ceritanya. kalo tau (walaupun secuil) sejarah sebuah tempat, memang kesan tempat itu jadi beda banget ya Mbak, bukan sekadar tempat wisata.
ouww kunjungan kk juri *gelar karpet merah*
mengetahui sejarah satu tempat membuat hati melekat. Btw hari ini setahun peringatan gempa Gayo, makin pengen ke Takengon 😉
bhahahaa.. gelar hidangan aja gimana kak? *teringat kue cucur putih dan pink*
Wah, peringatannya dibikin apa di sana?
dan kue cucur putih n pink itu esoknya masih dibahas di TL.
makasih backpack merahnya 😉
kacangnya aku suka tapi kopinya gak mbak 🙂
kacang itu enak dicemil ditemani kopi mbak 😉
Sayangnya, saya ngga bisa ikutan ke lubuk sukon waktu itu ya kak, jadi ngga bisa menikmati secangkir kopi dan kuliner nan lezat itu
iya sayang, kemarin bang Tunis pulang sempat ke sana? ntar kalo aku mudik, ke sana yuk 😉
belum pernah suka sama kopi hitam sampai saat ini
tapi krn cerita ini jadi pengen tau nikmatnya kopi aceh
mari ngopi-ngopi bang Oka, terima kasih sudah mampir
Terdampar di sini krn pengen ikut workshop TravelNBlog di Makassar. Jdi pengen ngupi di pinggir sawah juga. Nice story telling.
terima kasih sudah mendamparkan diri, yuk ngopi 😄
Kak Olip kalo nulis tentang Aceh kadang lebih Aceh dari orang Aceh itu sendiri ya, pantas menang. 😀
masa sih? teurimong gaseuh 😊
Kan terkadang, tidak selalu. Hehe. Sama2 😀
siang-siang baca blog kak olive ada foto Asam Udeung pula, jadi lapar :((