Baru beberapa saat yang lalu dengan semangat saya merilis Sejumput Asa untuk Toraja, mendadak ada notifikasi keramaian di milis Toraja seputar terbakarnya tongkonan (=rumah adat Toraja) di Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur.
“Ketika hati kita masih diliputi iri hati, dengki, dendam, kecewa dan segala hal yang mengotorinya; kita tidak akan pernah bisa dekat dengan Tuhan dan pertikaian (dengan sesama) itu akan senantiasa terjadi.…,”kata-kata Bante Priyadhiro di pelataran Vihara Ratanava Arama, Lasem, Jawa Tengah awal Maret lalu sore ini kembali terngiang.
Menurut berita yang diturunkan Toraja Cyber News; disinyalir penyebab kebakaran adalah sabotase dikarenakan keberadaan tongkonan yang sedari awal tidak dikehendaki oleh warga setempat. Tongkonan yang dibangun oleh Ikatan Keluarga Toraja (IKAT) Kutai ini pun memicu perpecahan diantara warga Toraja sendiri karena pro dan kontra pada bangunan yang arahnya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Semua tongkonan dibangun mengarah ke utara sedangkan yang di Kutai mengarah ke selatan. Jadi dianggap menyalahi aturan adat!

Yang lebih memprihatinkan, ada berita miring mengenai orang-orang yang mengatasnamakan diri warga Kutai yang menentang keberadaan tongkonan; adalah warga yang diprovokasi oleh orang Toraja sendiri. Dahsyat man! Satu perahu gontok-gontokan! *aaah, semoga semua itu tak benar*
Saat membaca berita ini, kata-kata Bante yang menyejukkan kembali mengalun dengan lembut,” … Lalu kita mulai menyalahkan agama tanpa mau melihat ke dalam diri sendiri, kita tidak pernah mau belajar. Kita menunjuk pemimpin agama yang telah salah memberikan ajaran, kenapa kita tak menyaringnya? Menaklukkan dan menguasai diri sendiri, mengembangkan cinta kasih …”
Kenapa tak satukan langkah mantapkan hati? Di tengah-tengah euforia peringatan 100 Tahun Injil Masuk Toraja, kembali setitik noda menetes di jubah putih itu. Aaaah, saya jadi teringat petuah seorang pengemis dalam Empress Orchid:
menyerah artinya engkau menerima nasib,
menyerah artinya engkau menciptakan kedamaian,
menyerah artinya engkau menjadi pemenang, dan
menyerah artinya engkau memiliki segalanya
Mari kembali mengingat kada mali’na nenek to dolota: misa kada dipotuo, pantan kada dipomate. Semoga semua makhluk berbahagia, ewako Toraya![oli3ve].
turut prihatin mbak 😦
semoga semua terselesaikan dengan baik
emang jamam sekarang adalah masa2 bersaing keberadaan individu khususnya siulu’ta Toraya,kalau jaman dulu sistim puang,ma’dika,kaunan atau Anak(itu berlaku di Toraja) dan yang bikin bingung sekarang adalah,status kita sebagai pendatang/perantau jadi seharusnya siulu’ takaka’kaleta dolo ta mane mentengka lasipatunna siamoraka tu ladi pogau’,da’ ta pasamai ke doki’ tondokta.yanna to masannang do kampung tae’apa nakasussai na lanaapari tu male merantau.
intinya adalah seperti kata pepatah dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, masuk kandang kerbau melenguh masuk kandang kambing mengembik.
susi moraka to pak Andarias?
wah semoga lekas selesai ya pertikaiannya, kata-katanya sejuk sekali
sesejuk dan selembut suara Bante 😉
kada mali’na nenek to dolota: misa kada dipotuo, pantan kada dipomate , artinya apa Mbak Olive ?
secara harafiah kalu terjemahan bebasnya adalah: petuah nenek moyang, satu kata untuk hidup, memegang pendirian masing2 dibawa mati
semboyan nasionalnya : bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, bhinneka tunggal ika bu Seno 😉
Wow… filosopi kuno yang masih tetap aktual..
begitulah bu, yg tua gak selamanya usang
kadang kita perlu melirik sejenak ke perjalanan sejarah 😉
Moga lancar yaa.
amiiiin
Denpa laku ranganni sidi…misa kada dipotuo,pantan kada di pomate,buda kada di pema’tu…hehehehe…
ko ma’barattung mo ki’ ia to
Prihatin banget dengan masalah2 yang begini,apalagi saya Toraja dan keluraga di Sangatta semua, semoga tidak ada yang mencoba mem-provokasi dan tidak terulang lagi, ameeeeeenn, Salam siulu.:)
semoga semua bisa mengendalikan diri dan menyelesaikan semuanya dengan baik ya
Ameeen, ameeenm iyah, padahal orang-orang masih kena euforia perayaan IMT kemren di Sangatta. Semoga semua baik2 ajah.
Ameeen.
tepatnya, mendalami perayaan IMT kali yah mba, bukan euforia,,, 🙂
maaf jika ada yg berpendapat lain
saya melihat bahwa pada kenyataannya sebagian besar hanya terbawa arus euforia tanpa tahu (dan gak mau tahu) kenapa dan mengapa ada IMT100
makanya saya lebih suka menggunakan kata euforia, karena sebagian besar itu tak mendalami maknanya
sebagai perbandingan silakan baca pendapat saya mengenai Meresapi Makna Injil di 100 Tahun Injil Masuk Toraja
salama’ ko anta pada salama’