Senja Turun di Peristirahatan Sang Wali


Kami menggeret langkah dengan sedikit membungkukkan badan saat memasuki pelataran komplek peristirahatan Chik di Tiro. Sambutan dingin dari sekelompok lelaki yang sedang berbenah di sana membuat Ari sungkan dan mengajak untuk undur diri saja. Dalam hati,  saya ‘nyeletuk, “Aaah loe enak Ri, bisa ke sini kapan saja. Lha gw udah jauh-jauh dari Jakarta masa harus undur saat tinggal selonjoran?”

Sempat terpikir mungkin bapak-bapak ini tak paham dengan tutur bahasa saya, padahal sudah menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jadi saya mengulang mengucapkan salam, perlahan, dengan sedikit penekanan pada kata “ziarah”.

Selamat sore pak, bolehkah kami berziarah ke makam?“

Tak ada jawaban juga. Hanya pandangan dingin lalu si bapak kembali menunduk, sibuk mengutak-atik sesuatu di meja. Tak ada respon bukan berarti gak boleh kan? #nekat

Gimana mbak? Kita pulang saja?”
Hmm, kamu pakai bahasa Aceh aja, Ri”
Aku gak ngerti bahasa sini mbak, bahasanya beda.”
Kita ke sana aja yuk!”

hasan tiro
Hijau jalan menuju tempat peristirahatan Sang Wali

Nekat dan kepedean itu beda tipis! Kami melanjutkan langkah melintasi tenda yang dibangun di tengah-tengah pelataran, melewati bapak-bapak berparas dingin yang sedang duduk di sana, mendekat ke tempat peristirahatan yang menggoda di depan mata. Jepret-jepret, ngobrol berdua sendiri hingga maghrib menjelang.

Kehadiran seorang perempuan asing di antara sekumpulan laki-laki di tempat peristirahatan Sang Wali Nanggroe sore itu pastinya terasa janggal. Salam hormat yang berusaha kami sampaikan dengan sesopan-sopannya tak berbalas sepatah kata bahkan setarik senyum pun gak! Oooo, maaaaak!

Usai ritual kecil di sudut peristirahatan Sang Wali Nanggroe, saya menghampiri Ari yang terlibat pembicaraan serius dengan Pak Hasballah, Humas Partai Aceh, salah satu lelaki berparas dingin yang kami jumpai di makam. Waduuuh, Ari diinterogasi??

cik di tiro
Rumah peristirahatan keluarga Teungku Chik di Tiro

“Olive, kamu perempuan, berani datang seorang diri ke Aceh. Apa yang membawa kamu kemari?”
“CINTA. Saya jatuh cinta pada Aceh pak. Cinta itu yang membawa langkah ke sini.”

Jawaban spontan yang sering terlontar ketika ditanya kenapa Aceh? membuat tatapan Pak Hasballah meruncing, matanya yang dibingkai dengan kacamata tebal memicing, bersiap melumat isi hati lawan bicaranya. Tatapan yang membuat hati kebat kebit sesaat, “Cinta apanya?”

Penjabaran rasa pun terangkai dengan lancar menggunakan bahasa sederhana dengan harapan langsung kena sasaran *#eaaaa .. bahasa apa pula ini?*

“Semua berawal dari minat terhadap sejarah pak. Saya gak tahu bagaimana kejadian dan prosesnya, tahu-tahu cinta banget sama Aceh. Hmm … bisa jadi kekaguman pada Laksamana Malahayati yang menancapkan rindu semakin dalam pada Nanggroe.”
“Orang Jakarta?”
“Saya aslinya dari Sulawesi Selatan pak, saat ini tinggal dan bekerja di Jakarta”
“Oooo, jangan pernah takut datang ke Aceh! Orang Sulawesi sama orang Aceh bersaudara, kamu belajar sejarah kan? Baca perang Aceh!”

cik di tiro
Makam Teungku Chik di Tiro bersebelahan dengan istrinya.
hasan tiro
Makam Hasan Tiro yang bersisian dengan makam kakek neneknya

Pfiuuuuuuh, obrolan merayap perlahan dari jejak perjuangan Chik di Tiro hingga pembahasan perjanjian Helsinki (nota kesepahaman perdamaian Aceh antara pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005). Suasana yang tadinya dingin perlahan menjadi hangat, perbincangan pun enggan untuk dihentikan.

Pipi langit merona jingga, sesekali saya menggoyangkan kaki telanjang yang terasa dingin menyentuh ubin putih. Bertiga kami masih berdiri melingkar berbagi kisah di depan peristirahatan terakhir Sang Wali, deklarator GAM, Teungku Chik Mohammad Hasan di Tiro yang berdampingan dengan makam kakek neneknya Teungku Chik di Tiro di Mureu, Indrapuri, Aceh Besar. saleum [oli3ve].

*****
untuk Ari the buzzerbeezz, thank you bro untuk perjalanan susur makam yang paling indah, lon cinta Aceh 😉

24 thoughts on “Senja Turun di Peristirahatan Sang Wali

  1. Ini kejadiannya awkward banget deh. Udah pake senyum manis, salam, dan minta ijin tapi sambutannya bener2 dingin dan mereka malah ngobrol sendiri pake bahasa Aceh. Mana awak ngerti lah.. Dicuekin ya kita balas cuek juga ya mbak.. The Show must go on 😀

    1. iya, sambutannya sangat kontras dengan abang yang ngajak saya ngobro di tangga masjid Indrapuri, dia yang nunjukin ancer2 ke makam

      eh tapi pas kita mulai belok mendekat ke makam emang orang2 sana lebih dingin ya Ri 😉

  2. asik ya…
    tempatnya terawat. enak melihatnya. jadi ingat yang di Cirebon. memang kayak pura dari luar jadi berasa spooky. 😀

  3. yah, kalo untuk urusan bahasa disitu mah gampang, kan ada saya…haha. Orang yang dingin2 itu cuek aja mbak, kalo udah di jelasin, ntar mereka juga hangat sendiri, lagian orang “pedalaman” disitu masih susah percaya sama orang luar

    1. emang Indrapuri pedalaman? mudik kemarin malah sempat jalan jauh sampai Tanoh Abee lho bang *ini si abang apa ibu dokter ya?*

      berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan orang sana, kalau yang udah pernah “keluar” dari Aceh cara mereka berinteraksi dengan orang lain lebih welcome. meski ada juga sih warga lokal yang cukup hangat saat bertemu orang asing. dan hal ini sih hampir berlaku di tiap daerah, meski ada juga sih yg kesannya angkuh 😉

      1. o,iya dari Seulimeum ya?
        pengennya sih ke pustaka kuno Tanoh Abee, tapi kemarin ke rumah anaknya Abu (?). next visit mesti lihat itu perpustakaan

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s