Bersimbiosis Mutualisma dengan Idola


Idola adalah sosok yang akan membuatmu selalu merindukan pertemuan dengannya, sosok yang kadang bikin matamu tiada henti berkedip-kedip saat pertemuan yang didamba terwujud. Diam seribu bahasa, dada berdebar-debar bahkan salah tingkah kala berhadapan dengannya serasa bertemu kekasih hati.

Sama seperti penggemar yang lain, saya pun pernah lompat pagar, lari sekencang-kencangnya tak peduli tas dan dompet tertinggal di tribun serta pura-pura tidak mendengar teriakan petugas keamanan hanya untuk berdiri bengong di depan sang idola. Niat awal untuk mengabadikan sang idola, yang ada hasilnya garis-garis yang berjoged karena tangan gemetaran.

Idola bagi saya adalah sosok yang dengannya simbiosis mutualisma dapat berjalan dengan baik, bukan sekadar sosok yang dipuja-puja tapi mereka adalah inspirator yang menjadi motivator dalam berbagi mimpi dan kecintaan pada negeri ini.

Ingin tahu siapa idola saya, bagaimana serunya jumpa pertama dan pengaruh mereka? Ini dia diurutkan berdasarkan abjad:

AriReda hingga SDD, Pekerja Seni
AriReda adalah Ari Malibu dan Reda Gaudiamo, duo musisi yang dipertemukan oleh mas Ags Arya Dipayana (alm) ketika mereka masih menimba ilmu di kampus dan menjadikan Taman Sastra UI sebagai panggung untuk pentas. Namanya mungkin asing buat sebagian makhluk di bumi ini, tapi suara mereka telah menggetarkan hati semenjak pertama mampir di kuping pertengahan 1997. Adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono (SDD) yang membuat hati kebat-kebit mengejar pertemuan pertama dengan mereka di belakang panggung usai Malam Puisi Cinta SDD di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (14/02/2008) lalu diantar kawan yang ternyata telah mengenal mereka dari kampus.

Ari Reda
Para pendukung acara Malam Puisi Cinta SDD di GBB TIM, Jakarta (dok. koleksi pribadi)
Sapardi Djokodamono, SDD
SDD tampil membacakan puisi di Malam Puisi Cinta SDD (dok. koleksi pribadi)

Satu masa yang takkan terlupakan karena juga menjadi awal perjumpaan dengan SDD dan Jubing Kristianto yang hari itu berkolaborasi dengan Ari-Reda. Meski satu senja tanpa sengaja suara mereka mengalun cukup kencang dari HP yang teronggok di meja dan membuat jidat seorang rekan kantor berkerut,”lagu apaan tuh? aneh!”, hati ini dah kadung tertambat. Karena sejak pertemuan di konser malam itu; dimana ada Ari-Reda, Jubing Kristianto dan SDD ke sana jiwa melangkah mengisi hari.

Reda Gaudiamo
Bersama Reda & credit title Sihir Hujan di Newseum Cafe, Jakarta th 2009 (dok. koleksi pribadi)
Sapardi Djokodamono
Bersama SDD saat peluncuran Membaca Sita Juni 2012 di Salihara, Jakarta (dok. koleksi pribadi)

Bila satu hari nanti berkesempatan mendengar suara mereka, jangan kaget bila lagu-lagu Paul McCartney dan Art Garfunkel yang dibawakan oleh duo musisi ini akan membuatmu terhanyut.

Bambang Aroengbinang, The Aroengbinang Project
Kecintaan pada sejarah dan makam tua adalah benang merah pertemuan dengan lelaki brewok yang mendedikasikan dirinya untuk berbagi destinasti wisata Indonesia yang jarang dilirik orang lewat travelog-nya The Aroengbinang Project. Perkenalan dengannya berawal dari rasa penasaran menjejakkan kaki di Gedung Grahadi saat hendak menyusuri jejak Pertempuran Surabaya November 1945.

the aroengbinang
Pertemuan kedua dengan mas BA di TMII, maaf orangnya pemalu jadi gak suka tampak depan 😉 (dok. koleksi pribadi)

Darinya saya mendapatkan informasi seputar tata cara berkunjung ke Grahadi yang oleh seorang kawan di Surabaya dianggap sangat sulit ditembus. Pada kenyataanya saya dengan enteng melangkah ke pelataran Grahadi karena berlagak sebagai bagian dari peserta yang sedang berlatih untuk persiapan parade senja 😉

Berawal dari komunikasi lewat email, berbagi tautan tulisan di Kompasiana berlanjut ke facebook (FB) lalu diajak gabung di travelog-nya yang keren. Bisa dimaklumi bila di pertemuan pertama senyum-senyum ‘gak jelas saking senangnya bisa copy darat di Makam Perang, Jakarta.

Jika mencari destinasi wisata seputar Indonesia yang unik, mampirlah ke The Aroengbinang Project; jangan kaget bila menemukan tulisan saya di sana ya.

Dinny Jusuf, Toraja Melo
Seorang ibu, seorang istri dan seorang pemimpi; itulah profil singkat dirinya yang tertulis dalam buku Untannun Kameloan, Textiles of Toraja, Mamasa, Mamuju, Rongkong, Sulawesi, Indonesia. Perempuan yang dalam tubuhnya mengalir perpaduan darah Tionghoa, Sunda dan Jawa namun lebih sering mengaku sebagai orang Toraja ini, pertama kali saya kenal lewat goresan di blog pribadinya sewaktu blogwalking akhir 2010. Lewat Untannun Kameloan (= menenun kebaikan, bahasa Toraja) yang menjadi tajuk pameran tenun Toraja yang digelarnya, saya dipertemukan dengan pemilik nama lengkap Diana Iriana Jusuf, mantan Sekjen Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di sela kesibukannya menemani tamu yang hadir di Museum Tekstil, Jakarta (19/09/2012).

untannun kameloan
Peluncuran buku Untannun Kameloan di Museum Tekstil, Jakarta (dok. koleksi pribadi)

Kecintaannya pada Toraja melebur mimpi dan semangatnya untuk mengangkat, mengembangkan dan melestarikan tenun Toraja. Dirinya tak henti mencari, membina dan mendampingi komunitas penenun Toraja hingga ke pelosok serta mengembangkan desain kreatif tenun Toraja berkolaborasi dengan adiknya, Nina Jusuf. Tak hanya di Indonesia, karya Toraja Melo telah ditenteng Michelle Obama ke Gedung Putih dan dikenakan oleh Maya Soetoro-NG, adik Barack Obama pada hari pelantikan Obama sebagai Presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya (21/01/2013) lalu.

toraja melo
Usai berbagi mimpi dengan Dinny Jusuf di Trade Expo Indonesia 2012, Kemayoran (dok. koleksi pribadi)

Dari perjumpaan singkat berlanjut pada beberapa kali pertemuan mencoba menyelami dan berbagi mimpi bersama perempuan inspiratif yang hatinya menyimpan banyak harapan untuk Toraja.

Jubing Kristianto, Musisi
“Gileeee, keren banget! koq gw gak pernah tahu ya?”,celetuk suara-suara yang terpesona permainan gitar Jubing Kristianto di Hotel Tugu, Malang pertengahan Mei 2012 lalu. Malam itu Jubing tampil bersama Supriyadi Plenthe menghibur tamu serta mengiringi Sarwana dalam membawakan beberapa buah lagu.

jubing
Duet Jubing dan Suryadi Plenthe (cucu Gesang) pada peluncuran Delman Fantasi di City Walk, Jakarta (dok. koleksi pribadi)
jubing
Mendadak bertemu Jubing di acara kantor awal 2011 (dok. koleksi pribadi)

Gimana rasanya “berkomplot” dengan idola untuk memberikan surprise di hari pernikahan sahabat dekat? Saya harus tutup mulut selama tiga bulan agar proyek rahasia tersebut menjadi paket istimewa untuk pengantin pria yang juga penggemar Jubing hingga hari H.

jubing
Tutup mulut 3 bulan untuk menghadirkan Jubing & Suryadi Plenthe di Hotel Tugu, Malang (dok. koleksi pribadi)

Petikan gitar Jubing memikat hati sejak pertama kali melihat penampilannya bersama AriReda di Konser Malam Puisi Cinta SDD (14/02/08). Sayang gak bisa hadir di Konser Dongeng Enam Senar 14 Desember 2012 lalu karena bentrok dengan persiapan natal di gereja.

Lita Jonathans, La Lita Art & Craft
Wacana yang mengatakan media sosial (medsos) mendekatkan yang jauh ada benarnya juga. Kisah Chastelein dan sejarah Depok Lama menjadikan perkenalan di FB dengan ibu dua anak yang menekuni keterampilan tangan/craft ini bermuara pada tatap muka hanya dalam hitungan hari.

lita_jonathan
Lita Jonathans menjelaskan teknik sulam kepada ibu Herawati Boediono di International Embroidery Festival, Jakarta (dok. koleksi pribadi)

Baginya menyulam adalah meditasi dan rekreasi. Sulam adalah nafasnya, mengalir dalam darahnya, membawanya hingga ke pelosok Indonesia membagikan ilmunya tanpa ragu kreatifitasnya akan habis tersedot. Pada kenyataannya dengan berbagi ilmu, dirinya semakin kreatif.

lita_jonathans
Blusukan bersama Lita Jonathans di Toraja (dok. Lita Jonathans)

Menghias telur adalah keterampilan yang pertama ditekuni dan membuat namanya cukup di kenal di kalangan pecinta dan pemerhati craft. Dari satu pameran ke pameran berikutnya, di dalam negeri hingga ke mancanegara mewarnai kesibukannya. Selain menjalankan usaha sendiri, saat ini dirinya bekerja sama dengan Yayasan Sulam Indonesia mencari, mengembangkan dan menjadi mentor bagi penyulam di beberapa daerah.

Peter Carey, Sejarawan
Pertemuan dengan penulis The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and The End of An Old Order in Java 1785-1855 (2008) ini sedikit berbeda. Pertama melihat sosoknya secara langsung saat hadir membawakan pengantar pada pentas Opera Diponegoro [Java War 1825-0000] di Teater Tanah Air, Taman Ismail Marzuki (10/11/2011) lalu.

peter carey
Peter Carey di Opera Diponegoro, TIM Jakarta (dok. koleksi pribadi)

Beliau adalah sosok yang ditunggu-tunggu muncul di malam pembukaan Pameran Lukisan Raden Saleh yang digelar di Galeri Nasional Indonesia (02/06/2012). Ketika bayangannya terlihat melangkah ke ruang pameran bersama mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro, saya segera menguntitnya. Tak mau menyia-nyiakan satu kesempatan langka begitu melihat celah, saya menyapa dan menggiring beliau berpose di depan lukisan Penangkapan Diponegoro karya Raden Saleh. Legaaaa 😉

peter carey
Peter Carey di depan lukisan Penangkapan Diponegoro karya Raden Saleh (dok. koleksi pribadi)

Gak muluk-muluk ‘kan mengidolakan mereka yang dengannya bisa melangkah bersama menebar virus cinta Indonesia?

Setiap orang bebas untuk memilh dan menentukan figur idolanya serta menjadikannya sebagai panutan. Namun penting diingat ketika mengidolakan satu sosok janganlah mendewakannya; itu akan membuatmu kecewa manakala dirinya tersandung. Jadilah penggemar yang bisa bersimbiosis mutualisma dengan idola. Selamat bertemu idolamu [oli3ve].

*****

Tulisan ini sebelumnya Headline di Kompasiana, 3 Pebruari 2013

Leave a comment