Bandung Selatan di waktu malam, berselubung sutera merah putih … lagu itu tiba-tiba melintas di kepala saat bus yang kami tumpangi melaju memasuki Batu Nunggal, sebuah komplek perumahan mewah di kawasan selatan Bandung, Buah Batu. Hari menjelang senja ketika kaki melangkah menyusuri jalan setapak menuju perkampungan yang berada tepat di belakang perumahan.
Punten, kumaha damang, Ki Marhaen? Sapaku di depan pusara berkeramik merah marun di dalam bangunan permanen berukuran 3×4 meter yang dilapisi keramik putih. Pada penanda kepalanya tertulis Bapak Marhaen Wafat Tahun 1943.

Di belakang kepalanya, sebuah prasasti dari batu, teronggok dengan tulisan … Di sini tempat peristirahatan terakhir Bapak Marhaen wafat Th 1943. Marhaen sumber karya mulia yang utama PYM Ir Soekarno merupakan jembatan emas menuju pintu gerbang kemerdekaan bangsanya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

Nama Marhaen yang didengung-dengungkan 72 tahun lalu itu, kini tenggelam. Dia tak lagi dikenali, tak ada yang peduli dengan keluarga apalagi makamnya! Sebuah makam sederhana di bibir kampung di belakang perumahan mewah di pinggir kota Paris van Java.
“Siapa pemilik tanah yang kau garap ini?”
“Saya, juragan.”
“Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”
“Tidak. Itu turun temurun diwariskan dari orang tua kepada anaknya.”
….
“Apakah hasilnya cukup untuk kebutuhanmu?”
Dia mengangkat bahu sebagai bentuk kekecewaan … kemudian aku menanyakan nama petani itu. Dia menyebutnya, Marhaen.
Obrolan di atas adalah nukilan percakapan Soekarno muda dengan petani sederhana Marhaen, yang ditemuinya di satu pagi saat mengayuh sepeda dari rumah Inggit Garnasih di Ciateul hingga ke Bandung Selatan.

Seorang marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang-orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri. Pertemuan Soekarno dengan Ki Marhaen membawanya pada satu pemahaman baru, Marhaenisme! Marhaen telah menginspirasi Soekarno dan bangkitkan semangatnya untuk berbicara di depan massa yang bersorak gegap gempita.
“Engkau tahu artinya Indonesia? Indonesia adalah pohon yang kuat dan indah itu. Indonesia adalah langit yang biru dan terang itu. Indonesia adalah mega putih yang bergerak pelan itu. Ia adalah udara yang hangat …. Bila kudengar anak-anak tertawa, aku mendengar Indonesia. Bila aku menghirup untaian bunga, aku menghirup Indonesia. Inilah arti tanah air kita bagiku.” – [Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams, hal. 78]

Masihkah Indonesia ada di hati kita?
Buku bacaan:
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams
Tulisan ini berkaitan dengan Jejak Cinta Inggit Garnasih Mengantarkan Singa Podium ke Gerbang Kemerdekaan yang sebelumnya di-published di Kompasiana. Saleum [oli3ve].
wajib kesini nih kalo le bandung..
yup, pengen balik ke sana lagi 😉
malah baru tahu ini tentang pak Marhaen….
**gimana kabarnya mbak?
hi mbak Rie, lama gak ngikutin ceritamu, kamu baik² aja kan?
aku sehat meski kena gusur dari kampung sebelah 🙂
Yap setuju,Ki Marhaen memang menjadi salah satu orang paling berpengaruh dalam kepemimpinan Bung Karno 🙂
hi chandra, sayang informasi tentangnya kurang banyak ya 😉
Situs-situs budaya dan sejarah di negara ini terkadang ditinggalkan begitu saja, karena, ya, tak banyak dikenalnya situs-situs itu oleh orang-orang kita sekarang.
Bersyukur sekali kalau situs-situs sejarah ini mulai diperkenalkan lagi melalui tangan-tangan para traveler. 😀
iya mas Teguh, suka miris kala datang dan mendapati situs2 tak terurus bahkan tak dikenali orang sekitarnya. mari berbagi 😉
Iya, Marhaen menjadi inspirasi Pak Karno dalam membebaskan Indonesia dr kemiskinan krn penjajahan. 🙂