Hari kedua di Maluku. Selepas menikmati nasi kuning di halaman rumah raja Sila, kami beranjak dari Nusa Laut menuju Saparua. Hanya perlu waktu 15 menit menyeberang hingga perahu motor cepat yang membawa kami dari Sila merapat di belakang pasar Saparua.
“Eh nona dari gunung San[d]iri-kah?”
“Tidak bapa, beta ramai-ramai dari Jakarta dengan rombongan di rumah sebelah.”
“Tapi nona baru turun San[d]iri?”
Obrolan dengan dua orang lelaki yang saya temui di samping rumah Pattimura siang itu ‘nyambung gak nyambung. Percakapan kami tak putus karena keduanya berlomba berbicara dan alunan suaranya enak banget di kuping. Setelah beberapa kali mengerutkan dahi mencoba mencerna arah pembicaraan; saya tak kuasa melepas tawa menyadari kata “saniri” yang berkali-kali melintas di kuping terdengar seperti “sendiri” adalah Gunung Saniri! Hahahahaha, Malu[a]ku di Ambon!

Rumah Pattimura kami sambangi setelah mengunjungi Benteng Duurstede menumpang angkutan kota (= angkot) atau masyarakat setempat menyebutnya oto. Kami disambut bung Franky Matulessy yang lebih senang dipanggil bung Angky ahli waris Pattimura yang sekarang menempati dan merawat rumah peninggalan Pattimura. Sejumlah barang seperti celana tenun, selempang dan ikat kepala yang pernah dikenakan oleh Pattimura masih terawat rapi disimpan dalam ruang kaca yang ditempatkan di salah satu kamar. Satu kehormatan saat bung Angky meminta ijin untuk berganti pakaian kebesaran dan mengijinkan saya untuk berfoto bersama di ruangan yang tidak dibuka setiap saat itu.

Ada hubungan apa Pattimura dengan Benteng Duurstede?
Benteng yang dibangun Portugis pada 1676 ini, adalah basis pertahanan dan pusat pemerintahan VOC semasa Hindia Belanda berkuasa. Pada 15 Mei 1817 Pattimura memimpin rakyat Saparua melakukan penyerbuan ke Duurstede yang menewaskan seluruh penghuni benteng kecuali Juan Van Den Berg, putera residen yang dibiarkan hidup. Sayang saat ke Duurstede tak sempat masuk ke ruang Museum Pattimura karena yang memegang kunci entah kemana.

Sebelum penyerangan ke Benteng Duurstede, Pattimura terlebih dahulu mengumpulkan pasukan dan mengatur siasat penyerbuan di Gunung Saniri. Sebagai peringatan akan hari besar tersebut, setiap tanggal 15 Mei rakyat Ambon merayakannya sebagai hari Pattimura. Pada hari itu warga Maluku berkumpul dan mengarak obor Pattimura dari Gunung Saniri, Saparua menyusuri jejak perjuangan Pattimura hingga ke Benteng Victoria, Ambon.

Pattimura dihukum gantung pada 16 Desember 1817 di halaman Benteng Victoria, Ambon. Menjelang eksekusi Pattimura menyampaikan pesan terakhirnya,” Satu Pattimura akan mati tapi akan tumbuh Pattimura-Pattimura lainnya.” Sayang seribu sayang, saat hendak berkunjung ke Benteng Victoria, kami terbentur birokrasi perijinan meski telah mendapat persetujuan kunjungan dua minggu sebelumnya. Saat ini Benteng Victoria yang terletak di seberang Pattimura Park, Ambon ini menjadi Markas Kodam XVI Pattimura.


Setelah dua hari berturut-turut menjejak di gugusan Pulau Lease, baru di Saparua emak-emak tukang jalan heboh menawar dagangan yang ditawarkan oleh para mama di Pasar Saparua. Kami beruntung mengunjungi Saparua di hari Sabtu, karena hari itu adalah hari pasar atau pasar panas.
Dua tusuk ikan asar/ikan asap khas Saparua pun dibungkus sebagai cemilan di perahu motor. Meski tak membawa sambal colo-colo, ikan asar sungguh nikmat digado sepanjang perjalanan yang diterpa angin laut dari Saparua menuju Tulehu [olive].
MAluku…. kapan saya bisa menemuimu? #pengen
teruslah pupuk mimpimu, tar juga tercapai
aku bisa sampai Maluk kayak mimpi koq 😉
amin amin amin…. 🙂
muantappp…. ditunggu cerita lainnya yah…
pa kabar Yogya Da? anak² sehat kan?
Sayang ga ada ceritanya mampir ke Pulau Molana.. 🙂
Saya belum pernah baca catatan Pattimura itu.. tapi menurut cerita orang-orang Haria, Pattimura dijadikan pemimpin melalui pertemuan para raja dari 99 negeri di Pulau Molana..
Saya coba baca catatan Pattimura deh.. Thanks postingnya.
wah, saya belum menjejak di pulau Moana bang, next time jika berkesempatan kembali ke sana akan disamperin
thx sudah mampir