Enam orang lelaki bersenjata mengendap – endap keluar dari hutan. Di tengah – tengah mereka berjalan seorang perempuan berambut pirang yang baru saja bersua dengan pemimpin mereka di sarang Macan Tamil – kawasan terlarang bagi jurnalis – di hutan Vanni, Sri Lanka. Malam mulai pekat. Di sebuah lahan terbuka yang tampak serupa kebun sayuran, langkah mereka dihadang oleh tentara pemerintah Sri Lanka yang meringsek dari depan. Tak ada jalan untuk menghindar karena hanya itu satu – satunya jalan yang harus dilalui untuk sampai ke tujuan. Perempuan itu berlari keluar dari barisan. Ia berdiri di tengah kebun sayur, mengangkat tangan, dan berteriak memperkenalkan dirinya,”Journalist!”
Teriakannya disambut salakan senapan dan .. booom!
Tubuh perempuan itu limbung, terjerembab mencium tanah. Granat yang dilontarkan tentara Sri Lanka tepat sasaran. Darah mengalir memenuhi mukanya. Di rumah sakit, meski mengalami luka serius ia berkeras mengejar tenggat waktu menuliskan apa yang telah dilihat, didengar, dan mengirimkan tulisannya pada editornya yang was – was menanti kabar terbaru darinya. Perempuan itu, Marie Colvin. Jurnalis Amerika yang bekerja sebagai Foreign Affairs Correspondent untuk koran London; Sunday Times. Minggu kedua April 2001 kala itu, ia berkeras ke Sri Lanka walau Sean Ryan (Tom Hollander), editornya, menugaskannya ke Palestina. Demi menyampaikan kebenaran untuk membuka mata dunia akan banyaknya korban dan kelaparan yang melanda warga sipil akibat perang saudara di Tamil; Marie Colvin (Rosemund Pike) harus merelakan kehilangan penglihatan pada mata kirinya.
Dua tahun kemudian, sepulih dari perawatan Marie Colvin kembali ke medan perang. Sebelah matanya ditutup bak bajak laut yang kemudian menjadi ciri khasnya. Senjatanya buku catatan, pulpen, keberanian (disertai kenekatan), dan tekad untuk menjadi saksi kebenaran yang terjadi di antara desing peluru yang sewaktu – waktu bisa mencabut nyawanya. Ia memilih Paul Conroy (Jamie Dornan), fotografer lepas untuk menemaninya meliput penggalian kuburan massal yang ditemukan di Fallujah, Irak. Emosinya diaduk – aduk bersama keluarga korban yang harap – harap cemas jasad siapa gerangan yang akan terangkat dari dalam tanah. Adakah mereka akan menjumpai ayah, ibu, atau saudara mereka yang telah menghilang lebih dari 10 tahun dari dalam sana?
Respect! Please respect! – [Marie Colvin]
Colvin mengalami post traumatic stress disorder (PSTD), trauma pasca kejadian di Sri Lanka yang selalu ia tampik. Peristiwa tragis yang dilihatnya di lapangan mengikutinya terus menerus. Ketika pulang ke apartemennya di London, ia sering melihat pemandangan yang dilihatnya di medan pertempuran. Di kamarnya, beberapa kali ia melihat jasad anak perempuan yang dilihatnya di Irak, terbaring di atas ranjangnya. Ketika mimpi buruk itu datang, Colvin menenangkan dirinya dengan menenggak banyak vodka dan lebih sering mengisap rokok. Kebiasaan yang membuat hati Rita Williams (Nikki Amuka-Bird), sahabat dekatnya; retak dan membujuk Colvin segera mencari psikolog yang dapat membantunya mengatasi PSTD-nya.
You’ve seen more war than most soldiers, you have to take it seriously. – [Paul Conroy]
Sebagai mantan tentara, Conroy memahami apa yang dialami oleh rekan kerjanya. Ia mendatangi Colvin ke pusat rehabilitasi. Pada Colvin ia memberi pemahaman tak hanya tentara yang melihat dan mengalami peristiwa traumatik di medan perang seperti anggapan Colvin yang bisa mengalami PSTD. Sebagai jurnalis yang lebih banyak berada di daerah konflik, setiap detail peristiwa yang dilihat dan dirasakan Colvin, terekam dengan baik di memorinya.
It doesn’t matter what type of plane just bombed a village. What important is the human cost of the act. People connect with people! – [Marie Colvin]
Keluar dari pusat rehabilitasi, Colvin tetap berkeras untuk meliput di wilayah konflik. Tak digubrisnya permintaan Sean Ray untuk tidak lagi pergi ke tempat yang membahayakan dirinya. Baginya kabar dari medan perang bukan tentang pemerintah yang bertikai, jenis senjata dan kecanggihan peralatan perang yang dipakai, atau pasukan yang ada di sana. Colvin tak peduli dengan semua itu! Tapi warga sipil, laki – laki, perempuan, anak – anak hingga orang dewasa tak berdosa yang hidupnya diporak – porandakan oleh perang yang mesti diketahui dunia yang menggerakkan Colvin berada di garis depan meski untuk mendapatkan kisah itu ia harus mempertaruhkan nyawanya. Kepada Kate Richardson (Faye Marsay) rekan jurnalis yang sama – sama meliput di medan perang, Colvin yang terinspirasi Martha Gellhorn – istri ketiga Hemingway – dengan bukunya The Face of War; mengingatkan tentang hubungan antar manusia. Karenanya selalu ada cerita yang menarik baginya untuk diangkat dari kehidupan orang – orang yang ada di wilayah konflik.
Sebelas tahun kehidupan Marie Colvin (2001 – 2012) dalam penugasan sebagai jurnalis dan koresponden perang di beberapa wilayah konflik diangkat ke layar lebar oleh sutradara Matthew Heineman lewat biopic, A Private War. Skenarionya ditulis oleh Arash Amel berdasarkan tulisan Marie Brenner di Vanity Fair pada 2012, Marie Colvin’s Private War.
No one in their right mind would do what you do. You have a god given talent for making people stop and care. – [Sean Ryan]
Colvin menikmati pekerjaannya yang penuh resiko di Timor Timur, Afganistan, Irak, Libya, dan Sri Lanka dimana ia terkena granat yang menyebabkan kerusakan pada mata kirinya. Di usia 35 tahun, Colvin menjadi jurnalis asing pertama yang berhasil mewawancarai Moammar Khadafy. Beberapa kali ia bersua dengan Khadafy hingga di salah satu scene, pemimpin Libya itu berseloroh Colvin adalah perempuan yang membuatnya nyaman berbincang. Lebih dari Condi Rice (Condolleeza Rice, mantan sekertaris negara AS), kata Khadafy.
A Private War tak hanya menampilkan ketangguhan dan keberanian Colvin. Juga mengulas kepedihan dan ketakutan – ketakutan hingga depresi yang dialaminya karena masalah asmara pun kekalutan dalam dirinya. Keinginannya untuk memiliki anak setelah mengalami dua kali keguguran tak akan pernah kesampaian meski dirinya pernah berusaha dengan Patrick Bishop mantan suaminya yang juga seorang jurnalis untuk ikut program in – vitro fertilization (IVF). Colvin yang takut menjadi tua juga takut mati muda. Karena sering melihat orang – orang yang kelaparan, ia menghentikan program dietnya dan memilih menikmati serta menghabiskan makanannya.

A Private War ditutup dengan alunan suara Annie Lennox membawakan Requiem for A Private War dengan Conroy yang terluka menangisi tubuh Colvin dan fotografer Perancis, Remi Ochlik (Jérémie Laheurte) yang terbujur kaku setelah bangunan tempat para jurnalis asing dibombarbir pasukan Bashar al-Assad di Homs, Suriah. Marie Colvin mengakhiri tugasnya di tempat tugas yang selalu membuatnya “nyaman” pada 22 Februari 2012 beberapa jam setelah memaksa Sean mengatur agar ia dapat melakukan wawancara langsung dengan Anderson Cooper dari CNN yang juga disiarkan langsung melalui satelit di BBC, Channel 4, dan ITN News.
Faktanya:
- Cepat atau lambat, kebenaran akan selalu dinyatakan. Pada Januari 2019 pengadilan Amerika Serikat menyatakan resim Bashar al-Assad bersalah dan harus membayarkan ganti kerugian sebesar 300 juta dolar Amerika kepada keluarga Marie Colvin. Meski pada saat kematian Colvin, Bashar al-Assad berkoar pada dunia bahwa Colvin dan rekan jurnalisnya mati karena mereka bekerja untuk teroris bukan tertembak pasukannya; pengadilan membuktikan tentara Suriah sengaja menjadikan jurnalis yang meliput di Homs sebagai target.
- Marie Colvin penerima penghargaan British Foreign Correspondent Reporter of the Year, Foreign Press Association’s Journalist of the Year, dan International Women’s Media Foundation.
Sebuah film yang telah dinanti – nantikan dari penghujung tahun lalu. Bagi penggemar film aksi, jangan berharap akan menemukan scene kesukaanmu di film ini. Meski A Private War digarap berlatar perang, film ini dibangun dari rangkaian kisah humanitarian dari garis depan wilayah yang berkonflik dan lebih fokus ke sosok jurnalis; Marie Colvin. A Private War, film tentang jurnalisme yang jujur, perempuan yang tak kenal takut, passion/panggilan jiwa, persahabatan dan relasi kerja, hubungan antar umat manusia, bekerja untuk kemanusiaan, dan bagaimana mengungkapkan kebenaran pada dunia dari sumbernya langsung secara natural, saleum [oli3ve].
Wah, biasanya pak suami suka banget nonton film kaya begini. Film yg intinya bukan jedar-jeder sound effect & visual ledakan doang, tp yg plot & karakternya berbobot
Makasih review-nya mbak, aku jadi tertarik nih. Ntar kucoba nonton bareng pak suami… 😀
maaf baru lihat komennya,
jadi gimana reaksi pak suami? 😉