Kabar tentang prevalensi bunuh diri dan gangguan jiwa yang meninggi di Toraja yang saya terima dari seorang kawan di awal 2020 benar-benar wauuwww! Menurut WHO, angka tren bunuh diri di Indonesia sedang menurun. Kenapa di Toraja justru melonjak?
Ingatan saya pun melanglang ke pertemuan dengan seorang perawat di minggu kedua September 2017 ketika sedang menunggui Ibu yang sudah kepayahan di Private Care Center (PCC) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Saya lupa pemantik dari obrolan seru siang itu. Kenapa membahas kesehatan mental, yang meninggalkan tanda tanya besar ketika perawat itu melontarkan tanya sebelum beranjak dari kamar, ”Kak, ada yang pernah bikin studi gak, kenapa di Dadi – Rumah Sakit Jiwa Dadi, Makassar – penghuninya mayoritas orang Toraja?” #asembener
Minggu (10/04/2022) malam, saya menerima kiriman Peluhku Menjadi Daya, Sebuah Perjalanan Menempuh Hidup dengan Gangguan Jiwa dan Kepribadian dari Lidia Lebang. Lidia adalah penyintas Bipolar Disorder dan kepribadian ambang (Borderline Personality Disorder/BPD) yang masih terus berjuang untuk berdamai dengan dirinya dan menjalani kesehariannya dengan hati yang gembira. Bukan kebetulan Lidia adalah orang muda Toraja, yang dengan vulgar menuliskan dan membagikan kisahnya agar semakin banyak orang yang tahu dan terbuka pikirannya, betapa peliknya hidup dengan gangguan jiwa.
Kerentanan Jiwa dan Penyebabnya
Masalah gangguan jiwa tak pernah datang mendadak. Ia pasti didahului persoalan kecil yang mengganggu pikiran, yang tanpa sengaja diberi ruang, dipelihara, dan diberi makan dengan harapan-harapan semu hingga menguasai alam pikiran. Demikian halnya dengan pemikiran bunuh diri. Tak pernah sekonyong-konyong timbul. Selalu ada peristiwa kelu yang mengiringinya.
Evanston, 3 Mei 2020
Tolong berikan organ-organku bagi orang yang membutuhkannya, tolong berikan prioritas kepada para perempuan yang memiliki anak kecil. Juga, tolong kuburkan aku di tanah tanpa nisan. Untuk semua hal yang kalian tuduhkan kepadaku, dan semua kecurigaan kalian, kalian perlu bertanya pada Tuhan apakah mereka benar atau tidak. Selamat tinggal!
Lidia mengawali kisahnya dengan menceritakan peristiwa di Danau Michigan yang letaknya tak jauh dari kampusnya di Evanston, Illinois, pada 12 Agustus 2020 saat dia berupaya mengakhiri hidupnya. Menenggelamkan diri di danau adalah upaya bunuh dirinya yang kedua. Tiga bulan sebelumnya ia sudah menulis surat wasiat di buku hariannya sebelum berangkat tidur usai meminum DUA PAPAN parasetamol di kamar asramanya. Dua bulan kemudian, di pun berpikir untuk bunuh diri tapi digagalkan oleh suara hatinya yang mengingatkan, berjuanglah untuk hidupmu. BPD membuatnya tak takut untuk melakukan eutanasia!
Setiap orang rentan terhadap gangguan jiwa. Yang membedakan adalah kadar, tingkat resiliensi, dan pengelolaannya ketika masalah hadir. Lidia menyadari ada yang salah ketika dirinya mulai menaruh curiga terhadap setiap orang yang ditemuinya; merancangkan hal-hal jahat terhadapnya, termasuk curiga pada dirinya sendiri! Perlu dipahami, gangguan jiwa muncul karena pengaruh banyak faktor seperti genetik (biologi), pengelolaan stres (psikologi), serta diskriminasi, ekonomi, dan perundungan (sosial) yang terakumulasi dalam waktu yang tak sebentar. Kehilangan pengharapan (putus asa), membuat orang berpikir pendek!
Tak ada orang yang ingin hidup dengan gangguan jiwa, lebih lagi sampai melumpuhkan keseharian. Namun faktor genetik menjadi salah satu sebab Lidia memiliki kerentanan yang lebih terhadap gangguan jiwa dibanding anak yang lahir dari orang tua tanpa gangguan jiwa. Ia lahir di keluarga yang memiliki riwayat gangguan jiwa. Gen itu diturunkan dari garis ayah, juga ibunya. Kemiskinan, rasa kehilangan dan kurangnya kasih sayang dari orang tua yang meninggal selagi ia masih kecil, juga kekerasan seksual yang dilakukan kerabatnya; menambah bebannya dan menjadi pelengkap pembentukan karakternya.
Karakter dan Tindakan Impulsif ODGJ
Pada 15 Juli 2020, di buku hariannya Lidia menulis begini … Salah satu alasan mengapa aku gila adalah karena aku memaksa diriku untuk mempercayai bahwa Tuhan itu baik, Tuhan adalah cinta, dan bahkan percaya bahwa Tuhan itu ada sementara realita selalu memberitahuku yang sebaliknya.
Meskipun Lidia menekuni bidang teologi, – kisah dalam buku ini dipetik dari buku harian Lidia selama dirinya menjalani program S2 di Garret-Evangelical Theological Seminary, Evanston, Amerika Serikat – tak berarti ia terbebas dari mempertanyakan keberadaan Tuhan. Pada satu titik, ketika depresi memberati pikirannya, ia bahkan merasa sanggup melakukan semuanya sendiri. TANPA Tuhan!!
Di atas saya menuliskan bahwa gangguan jiwa muncul karena pengaruhi banyak faktor. Ternyata, faktor spiritual termasuk di dalamnya. Koq bisa, Lip? Ingat gak, Tuhan Yesus saja stres koq sewaktu Dia harus menjalani hukuman yang ditimpakan kepadanya untuk memikul kesalahan semua manusia. Sampai-sampai Yesus bergumul di Getsemani dan digambarkan Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (Lukas 22:44). Selamat memaknai Kasih-Nya, Selamat Paskah, ya.
Dalam Peluhku Menjadi Daya, Lidia menceritakan bahwa ia sering merasa kosong, mengalami paranoia, delusi, halusinasi, mania/hypomania, emosi dan mood yang bisa berubah mendadak – dari yang tenang tetiba gundah – terlalu bersemangat dengan sesuatu, memiliki ide yang berloncatan yang ingin dikerjakan sekaligus, dll.
Selain menuliskan perasaannya di buku harian, untuk mengatasi masalahnya, Lidia senang berbelanja bahkan menjadi boros. Dirinya bisa mengikuti kuliah namun pikirannya sering penuh dengan hal-hal yang lain, tidak fokus, dan mudah lupa. Saat sedang frustrasi berat, ia merokok bahkan melakukan tindakan impulsif seperti melukai jarinya dan membubuhkan darahnya pada tulisan kutuk yang dia kirimkan untuk lelaki yang dicintainya di buku hariannya serta mendaftarkan dirinya pada sebuah aplikasi yang menjual keperawanan. Dari cerita Lidia, saya baru tahu kalau orang dengan bipolar memiliki hasrat seksual yang besar membuatnya membangun fantasi yang berlebihan pada asisten dosennya, bahkan terikat tontonan pornografi selama ENAM tahun!!
Gangguan jiwa ada tingkatannya. Berawal dari stres yang jika tak bisa dikelola dengan baik akan berakhir pada depresi, muncul skizofrenia, lalu ada bipolar yang dipengaruhi faktor genetika, kepribadian ambang, dan lain-lain. Lidia sendiri mengalami beberapa gangguan yang kompleks.
Penyembuh yang Terluka
ODGJ bisa sembuh! Walau pada fase dan periode tertentu, mereka harus dibantu dengan obat-obat anti depresan ditambah dengan konseling dan makanan rohani. Kunci dari semua itu adalah penyerahan diri serta support system dari orang-orang di dekatnya.
Pada akhirnya Lidia kembali mengikuti tuntunan Tuhan mau bawa dirinya kemana. Dia mencari pertolongan, mengikuti konseling dengan psikiater walau awalnya dia pun mencurigai orang-orang mempersulit dirinya untuk mendapatkan obat untuk sakitnya dan mau bekerja sama dengan orang-orang yang merawatnya di rumah sakit. Sepasang kekasih yang membantu Lidia keluar dari air di Danau Michigan adalah orang-orang yang digerakkan Tuhan, tepat pada waktuNya. Tuhan remukkan Lidia, karena Tuhan mau membentuk dirinya dan pakai hidupnya untuk menjadi berkat bagi banyak orang. Lidia adalah seorang penyembuh yang terluka. Ada yang ingat cerita Ayub? Hal yang sama Tuhan kerjakan di hidup kita dengan kasus yang berbeda. Percayalah, Tuhan tak pernah memberikan beban melebihi dari yang dapat kita pikul!
Saya mau kasih tahu hal menarik dari buku ini, terutama buat kamu yang tidak senang membaca. Pilihan narasi dan bahasa yang digunakan oleh Lidia, ringan dan asyik. Lidia juga membagi Peluhku Menjadi Daya ke dalam 4 (empat) bagian. Masing-masing diberi judul berikut:
- Diri Tanpa Tatanan, berisi catatan-catatan dari buku harian Lidia sebelum didiagnosa gangguan jiwa dan kepribadian.
- Dipatahkan dan Dicintai, berisi catatan-catatan ketika Lidia dirawat di bangsal jiwa Rumah Sakit Ingalls Memorial Chicago selama seminggu.
- Minuman dan Makanan Rohani, memuat catatan-catatan setelah keluar dari rumah sakit, pulang ke Indonesia, dan tinggal di rumah pemulihan Horeb di Bandung selama 4 (empat) bulan.
- Diri yang Ditata dengan Daya yang Menggentarkan, berisi refleksi dan beberapa langkah yang dikembangkan untuk pemulihan jiwa penulisnya.
Pengelompokan cerita ini memudahkan pembaca untuk memahami fase dan proses yang dialami serta dijalani oleh Lidia; sebelum, selama, dan setelah melewati tahap-tahap sakit hingga pemulihan jiwanya. Catatan kaki yang ditambahkan pada tulisan pun memperkuat informasi tentang topik yang dibahas juga istilah-istilah yang digunakan.
Kita tidak bisa memilih di dalam keluarga seperti apa kita ingin dilahirkan dan dibesarkan. Pun tidak bisa mereka-reka gen terbaik mana saja yang ingin kita miliki selagi kita bakal anak. Tak bisa meminta sperma bakal ayah membawa hal-hal baik saja ketika ia berenang dengan riang dan bersemangat mendekati sel telur terbaik bakal ibu sebelum melebur dirinya menjadi zigot. Namun ada satu hal yang dapat kita lakukan. Belajarlah menerima diri sendiri, bangun pikiran positif, dan belajar bersyukur atas setiap proses di kehidupan yang kita jalani.
Buat saya yang haus dengan isu kesehatan mental, buku ini membuat terjaga semalaman hingga selesai dilahap sekali duduk! Semoga setiap orang yang tergerak untuk membaca buku ini, dapat mengoyak stigma gangguan jiwa adalah aib dan kutuk serta mengetuk kepedulian kita pada ODGJ. Saleum [oli3ve].