Pandu dan Jejak Sepinya


Saya tak terlalu yakin bisa menggapai Pandu saat hari masih terang walau, dari titik jemput di Pasir Kaliki jaraknya pendek saja. Lima menit motoran, sampai. Tapi, senja itu jalanan padat dan laju kendaraan mulai tersendat-sendat. Setelah duduk di sadel motor dan mengenakan helm yang disodorkan Kang Ojai, saya berpesan untuk melajukan motornya dengan riang. Maksudnya, saya ijinkan dirinya meliuk-liuk mencari jalan di sela kendaraan yang merayap itu 🙂 Sebentar saja dan kami sudah mendekati tujuan. Ketika melihat tangannya menggerakkan setang hendak berbelok ke jalan menuju komplek permakaman Pandu, saya merayunya untuk berjalan perlahan-lahan melawan arus dan berhenti di pos satpam demi mampir sebentar ke kios kembang tanpa perlu mengitarinya lebih dulu. Beruntunglah dirinya manut pun ibu pemilik kios nomor dua dari pos berbaik hati sehingga sekali tawar, kembangnya berpindah tangan. Waktu yang sempit membuat saya melonggarkan kepatuhan pada aturan 🙂

sejarah tpu pandu bandung, destinasi wisata sejarah bandung, kuburan laci, ereveld pandu
Pilar gerbang Pandu

De Nieuwe Europeesche Begraafplaats a.k.a Makam Eropa Baru yang sekarang lebih akrab disebut Makam Pandu, menjadi tujuan yang wajib dimampiri bila bertandang ke Bandung. Bahkan, tiga tahun ini, perjalanan Jakarta – Bandung kadang mendadak dilakoni hanya untuk melepas rindu sebentar di Pandu lalu pulang. Awalnya, pada setiap perjalanan itu, setiba di gerbang, saya akan berjalan lurus mengikuti jalan utama, satu-satunya jalan lebar yang bisa dilalui kendaraan beroda empat. Jalan yang berakhir tepat di depan gerbang Ereveld Pandu dengan pilar di kiri kanannya yang menjulang gagah, penanda batas dengan permakaman umum. Bila ingin cepat sampai maka saya akan memilih berjalan kaki dengan masuk dari jalan Pasteur menyusuri tapak bersemen yang membelah permakaman. Jalan perlintasan untuk memangkas jalan dari jalan Pajajaran ke Pasteur atau sebaliknya. Meski dikhususkan bagi pejalan kaki, sesekali masih ada saja warga yang menunggangi motornya melintas di jalan itu walau di setiap ujungnya telah diportal. Perjalanan yang membuat kaki terbiasa menyusuri tempat peristirahatan yang sudah sangat padat itu. Dia tahu kapan berjalan lurus-lurus saja, hapal di mana harus berbelok kanan dan kiri. Pun jadi terbiasa untuk melompat mencari jalan di antara makam yang berhimpitan untuk sampai di tempat yang dituju.

Baca juga: Keluarga Juragan Susu yang Tinggal di Rumah Nomor 841
ereveld pandu, sejarah tpu pandu, kuburan pandu bandung, destinasi sejarah bandung
Pilar Ereveld Pandu

Di awal 1930-an, Pandu dirancang sebagai permakaman baru bagi orang-orang Eropa untuk menggantikan Oude Europeesche Begraafplaats atau Kerkhof Kebon Jahe yang segera ditutup karena lokasinya sudah dikelilingi permukiman sebab pertumbuhan kota yang pesat. Di samping itu, lahan  di Kerkhof Kebon Jahe juga sudah padat dan tak memungkinkan lagi untuk diperluas. Di lembar desain Dienst Stadsontwikkeling Bandoeng – Dinas Tata Ruang Bandung kala itu, rancang bangun dan penataan Pandu dipersiapkan sebagai hunian masa depan yang menyenangkan untuk mereka yang berpulang. Pun akan menjadi ruang terbuka hijau, tujuan plesiran yang teduh dan menenangkan ketika yang masih ada mengunjungi mereka yang telah mendahului.

Diperhitungkan pula jika lahan yang ada nantinya memungkinkan untuk menerima penghuni baru hingga 40 tahun sejak permakaman dibuka. Karenanya, dibuatkan aturan untuk setiap komponen yang akan mengisi, menempati, dan menggunakan lahan permakaman baru itu termasuk bagaimana pemeliharaannya. Untuk menjadikannya permakaman yang ideal, sebuah kapel direncanakan akan dibangun di tengah-tengah permakaman di sisi kiri jalan utama yang titiknya berpusat ke Tangkuban Perahu. Ujung jalan itu akan berhenti di bangunan krematorium dan kolambarium yang akan didirikan di seberang jalan Pasteur.

poin coffee pasteur, pandu bandung, sejarah pandu bandung, kuburan laci
Kopi andalan jika ke Pandu lewat Pasteur
ereveld pandu, sejarah tpu pandu, kuburan pandu bandung, destinasi sejarah bandung
Tingalih heunteu Tangkuban Parahu?

Akhir abad 19, ketika tingkat kematian anak tinggi sebab merebaknya wabah kolera; Bandung pernah mendapat julukan Kinderkerkhof Stad – kota kuburan anak-anak. Tak hanya anak-anak yang menjadi korban karena banyak juga orang muda dan dewasa yang tubuhnya rentan; terdampak wabah dan meninggal. Ketiadaan lahan permakaman yang pasti, membuat warga mengubur orang mati di sembarang tempat. Karenanya, pemerintah Bandung kala itu mulai memikirkan tentang tata kota untuk membangun permakaman dan membuat aturan pemakaman agar warganya tak sembarangan menggunakan pekarangan rumah, kebun, dan lahan-lahan kosong sebagai tempat menanam jenazah. Ketika Pandu dirancang, anak-anak pun mendapat perhatian sehingga disediakan area khusus untuk peristirahatannya yang disebut kinder kherkhof. Lokasinya berdekatan dengan makam galeri, makam berbentuk kotak-kotak bertingkat dan memanjang untuk memaksimalkan penggunaan lahan yang dibangun di sisi permakaman yang kontur tanahnya lebih rendah.

Baca juga: Selamat Ulang Tahun Opa Schoemaker
peta makam pandu, sejarah tpu pandu, ereveld pandu
Peta Bandung dengan Pandunya (dok. Bandoeng Beeld van een stad R.P.G.A. VOSKUIL E.A)

Kepala saya kerap membayangkan, andai tempat ini tertata seperti rencana awal ketika dibangun, akan menyenangkan untuk berhenti sejenak di selasar makam galeri yang diteduhi tanaman peneduh yang merambat di atas pergola. Sayang, selasarnya telah menyempit tergusur makam yang berhimpitan di depannya. Tinggalan kotak-kotak peristirahatan yang berjajar itulah yang kini dikenal sebagai kuburan laci karena tampak serupa laci lemari. Buka tutupnya pun seperti menarik laci. Bila sedang iseng atau ketika hendak pulang langsung ke Jakarta, saya akan meninggalkan Pandu dengan menyusuri selasar makam galeri hingga muncul kembali di ujung jalan lebar itu, lalu berbelok ke kanan menuju jalan Pasteur.

Masa 40 tahun telah berlalu. Pandu yang uzur, sampai kini masih terus menerima penghuni baru meski terpaksa menempati bekas liang orang lain bahkan menyempil di sesaknya makam. Berbahagialah yang keluarganya sudah punya kavling di sini, mereka bisa ditumpangi.

sejarah tpu pandu bandung, destinasi wisata sejarah bandung, kuburan laci, ereveld pandu
Makam galeri alias kuburan laci
sejarah pandu, ereveld pandu, makam pandu bandung
Komplek rumah masa depan yang sudah sesak
Baca juga: Berkenalan dengan Tan Sin Hok, Sang Ahli Mikropaleontologi

Kang Ojai menepikan motornya di ujung pelataran parkir Pandu yang kosong ketika matahari mulai berjalan pulang ke barat. Syukurlah. Kumpulan laki-laki yang biasanya ‘ngariung di dekat gerbang, yang serentak berdiri, riuh bertanya ini itu lalu mengekor di belakang acap kali melihat ada yang datang; tak satupun yang tampak. Mungkin, mereka sudah bersantai di rumahnya. Saya meminta Kang Ojai untuk menunggu di dekat portal, di kaki pilar gerbang yang di atasnya tertulis Anno 1932. Penanda tahun dibukanya Nieuwe Europeesche Begraafplaats. Tempat yang memudahkan saya untuk mengenalinya saat kembali ke tempat parkir, “Sepuluh menit ya, Kang. Kalau terlewat, telepon saja.” Sebelum beranjak, saya minta tolong dipotretin di depan gerbang. Tangannya gemetar. Entah grogi ataukah sieun 🙂

ereveld pandu, sejarah tpu pandu, kuburan pandu bandung, destinasi sejarah bandung
Dipotoin Kang Ojai yang tangannya gemetar 🙂

Dari gerbang, saya berbelok ke kiri. Melangkah pendek-pendek mengikuti jejak matahari yang jatuh dari celah-celah daun di atas jalan tanah. Rute jalan kaki di Pandu yang tiga tahun ini diakrabi sembari bersenandung kecil agar tak sunyi. Sesekali terdengar gemerisik daun kering meringis, terinjak tapak sepatu yang melompat menghindari tanah yang becek. Di dekat pohon besar, saya berbelok ke kanan lalu memotong jalan ke kiri lewat sela-sela makam hingga sampai di tujuan mendapati pemandangan yang waauuuwwww!! Ternyata, menyenangkan sekali bermain sore-sore ke sini. Rona senja yang jatuh di puncak-puncak pohon, memantulkan jejak dedaunan pada dinding peristirahatan. Di kesendirian yang menenangkan itu, saya keluarkan gawai dan menyetel musik yang sedang ingin dinikmati. Suaranya.

Saya masih yakin benar-benar sendirian ketika lamat-lamat terdengar riuh sekelompok anak-anak membincangkan sesuatu. Seketika kepala berputar mencari sumber suara, hingga tampak kepala mereka timbul tenggelam nun di bubungan makam di sisi timur di antara pucuk-pucuk tanaman. Celotehan yang menjadi terang ketika satu, dua .. lima bocah lelaki itu, berkejaran di jalan setapak yang saya lewati waktu datang tadi. Tepat saat suara mereka hilang, di depan saya muncul dua lelaki yang badannya menyembul dari balik dinding peristirahatan. “Punten, neng. Tiasa atuh disapu biar bersih.” Sapanya sembari yang seorang memainkan sapu lidinya pada lantai makam di belakangnya. Eleuh-eleuuuh .. kirain teh sorangan wae, ternyata si akang-akang ini masih ada! Wajahnya tak asing. Mereka yang sering mengintil dari jalan utama. Karena tak ada yang perlu disapu, saya menggeleng, dan meneruskan menata kembang tabur yang sebelumnya dihamburin, dibentuk menjadi dua hati dengan krisan putih di atasnya.

semaian marthin saba, pandu bandung
Yang dikunjungi di Pandu

Langit meredup. Dua lelaki itu pun undur. Badannya menghilang ke arah permukiman yang dituju kumpulan bocah lelaki tadi. Lalu sunyi.

Siap, tidak siap; suka pun tidak, satu hari nanti akan tiba giliran kita untuk pulang. Ketika hari itu datang, roh kembali ke pemberi hidup dan jasad tinggal membusuk di bumi. Lahan untuk permakaman saat ini makin menyempit, dihimpit bahkan digusur dan dialihkan menjadi permukiman baru. Meski di alkitab tertulis biarlah orang mati menguburkan orang mati sendiri, tak berarti si mati lantas dibiarkan tergeletak begitu saja. Karenanya, setiap orang perlu memikirkan di mana tempat peristirahatan terakhirnya jika kelak gilirannya tiba agar yang ditinggal tak kelabakan mencari-cari tempat untuknya dengan waktu yang terbatas.

Sepuluh menit sudah terlampaui. Saya yang tak ingin berlama-lama bersendiri saat gelap mulai memeluk bumi erat-erat; segera memanggul tas, mematikan gawai, dan menyembunyikannya ke dalam kantung jaket. Duh, Kang Ojai .. maapkeuun. Dirinya pasti gelisah memandangi taman peristirahatan yang senyap.

Terpujilah Tuhan, Kang Ojai bersetia menunggu di parkiran walau mukanya sedikit terkejut ketika punggungnya saya tepuk dari belakang 🙂 “Nuhun pisan, kang, tos diantosan.” Lain waktu, saya pasti kembali lebih cepat dari hari ini membawa bekal kopi, pisang/ubi rebus, dan buku cerita tentang kita. Piknik jelang senja? Kenapa tidak! 🙂 Saleum [oli3ve].

7 thoughts on “Pandu dan Jejak Sepinya

  1. Penasaran dengan “kuburan laci” – emang beneran bisa dibuka ya Olive?

    Terus siapakah yang dikau sambangi senja ini,, why are you making it special by forming a heart out of flowers?

    1. hai Mak Tanti,
      iya, makamnya bisa dibuka karena sistemnya bisa untuk ditumpuk. ada tempat bautnya untuk ditarik.

      yg dikasih kembang itu peristirahatan kakak dan coachku 🙂

  2. Mba kuliah di Bandung 5 tahun, tau sih pemakaman Pandu. Tapi ga pernah ada keperluan kesana. Kalau di Eropa, yang banyak dijadikan tempat ‘atraksi’ wisata adalah pemakaman Yahudi, di banyak negara dan kota ada aja distrik Yahudi. Memang unik sih, tapi banyak yang tidak terpelihara juga.

      1. Iya bener, pernah jadi anak Bandung.

        Makam2 Yahudi di Eropa spesifik, selalu ada lentera kecil cantik2 di nisannya, makanya turis suka datang lihat. Di Amerika Selatan lebih heboh lagi, karena mereka punya tradisi peringatan ‘Hari orang Meninggal’ pada ttiap 31 Oktober, makamnya biasa aja tapi dihias dengan unsur-unsur tengkorak, kertas hiasan simbol-simbol warna-warni dan bunga-bunga marigold, jadi atraksi juga.

        Di Pacific Ocean Countries beda lagi, mereka Melanesian kan demen untaian bunga , jadi makamnya dihias permanen dengan flower threads , lampu-renteng warna-warni, sudah kayak hiasan mobil karnaval, ga serem sama sekali.

        Hitung=hitung ternyata mba juga sering datang lihat makam dimana-mana karena unik dan jadi tambah pengetahuan tentang nilai historis/tradisi lokal, tapi banyakan Olive pastinya..

Leave a comment