Edgar, lelaki muda yang kutemui pagi itu di sebuah bukit, duduk bersendiri di dekat gerbang saat aku kembali ke tempat kami bertemu beberapa tahun yang lalu. Di tempat yang berpuluh tahun dirinya berdiam. Aku tak akan pernah lupa gaya bicaranya ketika sepotong nama terlontar dari mulutnya saat kami berkenalan. Nama yang mengingatkan pada seorang kawan berjalan bernama serupa dari negara tetangga. Postur tubuh mereka hampir sama. Hanya saja Edgar yang kutemui pada satu pagi yang sedikit muram di awal tahun itu; badannya lebih tipis.
Edgar lahir dan besar di Rantepao, sebuah kota kecil di kaki gunung Sesean, Toraja pada 1923; tujuh tahun setelah ayah ibunya menjejakkan kaki di Toraja. Ayahnya, Hendrik van der Veen adalah utusan zending yang menaruh minat sangat besar pada dunia bahasa. Salah satu pertimbangan kuat kenapa Hendrik dipilih oleh Gereformeerde Zendingsbond (GZB) ketika dirinya melamar untuk ikut pelayanan misi di Hindia Belanda.
Aku meminta ijin untuk duduk di samping Edgar, agar memudahkan pendengaranku menangkap ceritanya.
Hendrik dan istrinya tiba di Rantepao pada 11 Maret 1916. Pekerjaannya menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Toraja agar mudah dipahami oleh masyarakat Toraja. Ia dan istrinya membuka lebar – lebar pintu rumah mereka di Tangmentoe sebagai tempat warga berkumpul dan beribadah. Ia juga mengajarkan bahasa Toraja kepada guru – guru dari luar Toraja termasuk para utusan zending agar memudahkan mereka berkomunikasi dengan penduduk setempat.

Pada 1942, ketika Jepang mulai masuk ke Toraja; Hendrik memutuskan untuk membawa keluarganya keluar dari Toraja ke pulau Jawa. Selain untuk mengungsi, Hendrik juga memikirkan keselamatan catatan – catatan khotbah dan Injil yang telah banyak diterjemahkannya ke dalam bahasa Toraja. Edgar van der Veen mungkin tak pernah menyangka jika kepergian diri dan keluarganya untuk mencari tempat yang lebih aman di tengah ketidaknyamanan akibat perang adalah saat – saat dirinya menuju keabadian.
Pada masa perang dahulu, banyak orang muda dari balita, anak – anak, remaja, dan pemuda menjadi korban bukan disebabkan terkena peluru nyasar tapi meninggal karena wabah penyakit. Bila tak terjangkit tipus, kolera, atau disentri; mereka terserang busung lapar. Jouke Goslinga, putera bungsu dokter Goslinga, sedang lucu – lucunya ketika mereka sekeluarga masuk ke kamp Kampili. Rendahnya sanitasi, kelaparan, dan kurangnya nutrisi membuat banyak orang meninggal di kamp termasuk Jouke.
Tak hanya itu, seratus tahun yang lalu sekitar 100 juta manusia di muka bumi ini meninggal karena flu. Edgar menarik napas perlahan, matanya menatap mataku yang memandangi wajahnya penuh tanya. Ia terlihat berpikir sebelum melanjutkan ceritanya.

Iya flu, penyakit pernapasan yang sering diabaikan orang dewasa karena sering datang ketika pergantian musim sehingga dipandang tak berbahaya. Pandemi flu yang awalnya menyerang kamp militer dan menewaskan tentara Eropa dan Amerika pada 1918 itu dikenal sebagai flu Spanyol. Ia terus bergerak dari Eropa, Amerika, Afrika hingga Asia, menelan banyak sekali korban. Ada banyak anak – anak dan orang muda yang tadinya terlihat sehat, mendadak lemas, demam tinggi, menderita sakit kepala, dan batuk – batuk yang kadang disertai pendarahan; meninggal dalam dua tiga hari sejak mengeluh sakit membuat tim medis kebingungan.
“Kamu lihat kakak beradik Lieuwe dan Cornelia Belksma yang bermain di sana?” Edgar menunjuk dua anak yang asik bermain di depan kami. Mereka termasuk korban pandemi flu Spanyol di Toraja. Peristiwa yang memerihkan, orang Toraja menyebutnya ra’ba biang – kejadian mengerikan melihat banyak orang mati dalam waktu yang pendek seperti rumput ditebas.
Awal Agustus 1942, Hendrik dan keluarganya ditawan di kamp interniran Bandung. Edgar dipisahkan dari keluarganya. Ia menjadi tawanan perang yang dikirim sebagai tenaga kerja paksa ke Jepang. Di minggu pertama Februari 1945, Edgar meninggal di galangan kapal di Nagasaki. Ibunya sudah lebih dahulu meninggal karena disentri dan busung lapar tak lama setelah mereka masuk kamp.
Ia mengingat untuk selama – lamanya akan perjanjianNya – [Mz 105:8]

Untuk mengingat anak – anak muda yang menjadi tawanan Jepang di kamp – kamp interniran pada 1942-1945 di Hindia Belanda; sebuah patung tembaga karya Anton Beysens yang menggambarkan seorang pemuda kurus kering yang hanya mengenakan cawat, berdiri sambil memanggul pacul di pundaknya kanannya sedang tangan kirinya menggenggam ujung kapak ditegakkan di Ereveld Kembang Kuning, Semarang. Di Ereveld Menteng Pulo, Jakarta, sebuah monumen juga dibangun untuk mengingat, penderitaan mereka yang terkena busung lapar semasa perang dunia kedua, saleum [oli3ve].
kalau di makam ini apa masih ada kerangka tulangnya atau sisa nisannya saja ya mbak olive?
mungkin sisa belulang masih ada Ko, tp sudah puluhan hingga seratus tahun ditanaman dan nggak pernah dibuka jadi nggak pernah lihat 😊
hehe.. jujur pengetahuanku masih minim soal wisata makam seperti yang kamu lakukan. Ini terakhir karena aku kemarin ke museum prasasti dan melihat ada nisan Gie. lalu aku dikasih tahu kalau itu hanya nisannya saja. makanya aku tertarik pengen baca-baca lagi tentang makam tempo dulu.
Yg di prasasti memang cuma nisan Gie, jasadnya sudah diperabukan sewaktu dipindahkan dari Karet. Sebagian besar makam di taman prasasti juga tinggal prasastinya, yg ada isinya ketahuan koq Ko 😊