Pagi ini dibangunin teriakan kencang kerai di teras yang badannya kesakitan dihempas angin. Suaranya mengaduh sejak subuh namun, dingin yang menusuk membuat saya lebih senang merapatkan selimut, membungkus badan yang dibalut jaket wol sejak beranjak ke kasur semalam. Ah, akhir-akhir ini udara memang sedang tak asyik. Dan suara di perut saya juga mulai gak asyik. Karena kedinginan, lambung pun protes, “Nyaabuuuu! ‘nyaaabuuu!!” Hmm … semangkuk bubur hangat-hangat di pagi yang dingin tampaknya menyenangkan.
Ketagihan nyabu! Sepertinya itu istilah yang tepat disematkan untuk kebiasaan yang dilakoni sejak kecil dan tak bisa dihentikan. Sabu, ritual pagi sebelum memulai kegiatan yang tak boleh dilewatkan. Siapa yang sakit? Koq ‘nyabu? Pertanyaan yang sering dilontarkan siapa saja yang bertandang ke rumah dan melihat sepanci penuh bubur berwarna putih selalu tersedia di dapur untuk santapan keluarga. Sabu (= sarapan bubur) bagi sebagian orang masih sering dipandang sebagai menu rumah orang sakit. Lebih lagi jika melihat yang disajikan HANYA bubur polos!
Sabu yang terhidang di rumah tentu saja berbeda dengan yang ditawarkan abang penjual bubur ayam di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Di rumah, kreativitas penikmatnya dalam meracik sabu menentukan wujud dan rasa yang akan disantap. Saya lebih senang mengguyurnya dengan susu kerbau segar yang panas. Rasanya nikmat sekali. Apalagi dengan menambahkan topping kepala susu – lemak yang mengental di permukaan air susu, hmmm .. surga banget itu! Kali lain, ketika jatah satu dua botol susu kerbau tak sampai ke rumah, Opa memberi ide dengan mengiris tipis-tipis gula aren ke atas bubur saya.

Kebiasaan nyabu sempat terhenti ketika kuliah lalu lanjut kerja dan tinggal jauuuuh dari rumah. Di masa-masa itu, harus kuat menahan sakau karena sabu spesial itu hanya bisa dinikmati saat mudik di akhir tahun. Untuk menyiasati rasa sakau, saya suka meracik bubur sendiri, dari bubur polos, bubur ikan, bubur sayuran, dan lain-lain. Tapi ketika enggan masuk dapur, pasti mencari tempat untuk mencicipi bubur yang ditawarkan oleh penjual bubur ayam gerobak di pinggir-pinggir jalan. Awalnya, tak terbiasa untuk makan bubur dengan aneka campuran itu. Setiap membeli bubur pasti diikuti pesan .. “Bang, bubur satu. Polos! pake suwiran ayam aja!” Pesan yang tentu saja membuat abangnya melongo dan sering diketawain teman.
Pada akhirnya, setiap perjalanan pasti akan sampai pada tujuannya kan? Demikian juga perjalanan mencari bubur yang sesuai selera lidah. Setelah mencoba nyabu di sana-sini, saya hanya akan mengulang pesanan sabu dan merekomendasikan 5 Tempat Nyabu di Jakarta yang Bikin Nagih dan tak akan digerebek polisi 🙂
Bubur Ayam Paniis
Kenal bubur ini dari aplikasi pesanan makanan sejak gigi dikerangkeng dan butuh variasi makanan lembut. Ketika pandemi Covid-19 datang yang mengharuskan lebih banyak diam di rumah, akhirnya berlangganan dan pesan setiap minggu. Sebagai penyuka sayuran dan bubur polos, sajian Bubur Ayam Paniis yang dimasak ala Hong Kong dengan varian ayam, jamur, sapi cincang, sayuran, dan udang; tentu saja langsung cocok dengan lidah.

Saya tipikal penyantap sajian yang setia. Ketika lidah sudah cocok, akan terus memesan menu itu-itu saja. Di Bubur Paniis, saya jadi terbiasa memesan Bubur Ayam Sayuran (kadang-kadang pakai jamur juga telur ayam kampung setengah matang) yang akan diantarkan bersama dengan penggugah selera seperti kecap, merica, sambal, kuah opor, dan seplastik penuh kerupuk oranye. Buburnya agak kental – jika ingin lebih encer, tuangin aja kuah opornya – dan buburnya sudah gurih. Tanpa ditambahkan bumbu, bisa langung dihajar. Juaranya lagi nih .. gurihnya bukan karena micin! Cocoklah buat yang suka makan sehat. Jika ingin menu pendamping, tersedia sate, telur ayam kampung, dan emping.
Bubur Ayam Paniis
Jl. Bangka IX C No. 87
Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
Bubur Ayam Spesial Tebet
Namanya berbau Tebet tapi jualannya di pertigaan Jl. Bangka Raya – Jl. Kemang Raya. Tempat ini terdeteksi sepulang booster vaksin Covid-19 di Puskesmas Mampang. Kebetulan banget, sudah lama mengincar bubur ayam yang awalnya memang buka di Tebet ini. Ternyata ada yang lebih dekat dari rumah tanpa perlu pergi jauh-jauh.

Selain suwiran daging ayam, buburnya dilengkapi dengan soun goreng dan sistik (= cheese stick). Jika mau lebih bervariasi, ada pilihan bubur dengan telur ayam rebus, telur asin, atau telur pitan. Tinggal disesuaikan dengan selera saja.
Bubur Ayam Spesial Tebet di Bangka
Jl. Kemang Raya No. 2, Jakarta Selatan
Bubur Ayam Spesial Cikini
Ketika menyebut bubur Cikini, banyak yang langsung berpikir ke Burcik HR Sulaeman. Bubur Ayam Spesial Cikini dan Burcik Sulaeman, dua tempat makan bubur ayam yang berbeda. Memang, keduanya berdiri berhadap-hadapan di Cikini Raya, tapiiii .. selera dan gaya penyajiannya sungguhlah tak sama. Agar tak keliru, cara paling cepat untuk mengingatnya; gerobak Bubur Ayam Spesial Cikini mangkal tiap hari pk 07.00 – 10.00 di samping KFC Cikini. Jadiii, benaran buat nyabu, ya 🙂
Bubur Ayam Spesial Cikini
Jl. Cikini Raya (Parkiran KFC Cikini)
Jakarta Pusat

Bubur Ayam Senopati
Salah satu bubur ayam langganan yang selalu disantap di akhir pekan semasih rajin gowes. Terakhir makan, pesan lewat pesan antar makanan karena ban sepeda kempes 🙂 Kenalan dengan Pak Eko, penjual buburnya sejak 2010. Entah kenapa di pertemuan pertama itu langsung pesan bubur komplit ditambah dengan sate ati ampela, dan .. sukaaaaa! Buburnya dimasak dengan kuah kaldu ayam sehingga sudah gurih. Dimakan tanpa diaduk, tanpa tambahan kecap dan sambel, mantap jiwa!
Tiap hari, pak Eko mangkal di depan The Senopati Building dari pk 06.00 – 11.00 atau hingga buburnya habis. Cari aja RAI Fitness pasti ketemu gerobaknya 🙂
Bubur Ayam Senopati
Jl Senopati Raya
(The Senopati Building, sebelum belokan ke SCBD)
Jakarta Selatan

Bubur Ayam Monas Ny. Cirebon
Naah .. ini bubur ayam legendaris di Jakarta. Bubur ayam pertama yang memenuhi selera lidah setelah pindah ke Jakarta. Duluuuu, waktu masih kost di Bendungan Hilir, tiap akhir pekan, pasti deh mampir sarapan di Bubur Ayam Monas. Jualannya di mobil box tua yang diparkir di Jl. Raya Bendungan Hilir. Kalau datangnya pas lagi sepi – walau jarang banget sepi – bisa duduk di bangku tinggi yang ditata mengelilingi mobil sehingga bisa melihat aktivitas mas-mas yang jualan.
Buburnya lebih encer dan rasanya endesss benar. Disajikan dengan topping potongan ayam yang direbus bukan goreng, cakue, soun goreng, dan seledri. Paling enak dinikmati dengan menambahkan sate ampela dan telur rebus. Satenya beda dengan sate pada umumnya yang biasa disediakan di tukang bubur ayam. Satenya lembut, berkuah, dan empuk bangeeeeeet. Jadi ampelanya ditusuk di tusukan sate terus dimasak dalam ramuan kuah kecap. Sate-sate ini baru akan diangkat dari panci saat akan disajikan. Kebayang donk kuahnya meresap sekali. Telur rebusnya juga sama, dimasak dengan kuah kecap. Selain makan bubur, saya biasanya akan nyamil kacang goreng dan membawa pulang beberapa potong pastelnya yang tak kalah sedap untuk teman minum teh.

Bubur Ayam Monas Ny. Cirebon
Jl Danau Toba No. 148
Bendungan Hilir, Jakarta Pusat
Telp 0815-1702-6196
Info terakhir, lokasi berdagangnya sudah pindah dan tetanggaan dengan kost-an dulu. Tapiii .. dari mengubek-ubek linimasa, ada dua tempat dengan lokasi yang berbeda yang menggunakan jenama ini di sekitar Bendungan Hilir. Yang satu tetap dengan gerobak di sekitar Penjernihan II, satunya lagi di dekat RSAL Mintoharjo. Karena sudah terlalu lama tidak main ke sini, sepertinya harus disambangi nih.
Btw, semua bubur ayam di atas, tersedia di GrabFood dan GoFood. Penggemar bubur tak diaduk mana suaranyaaaa? Kuy, yang mau nyabu bareng, merapat. Saleum [oli3ve].