Salah satu pertanyaan yang mengemuka di Working Group Discussion yang diselenggarakan oleh Yayasan Makam Kehormatan Belanda di Indonesia, Oorlogsgravenstichting (OGS) Indonesia di Erasmus Huis akhir Maret 2018 lalu adalah:
What would be interesting for people to know about the Dutch cemeteries?
Karena setiap yang ada di ruangan itu diberi kebebasan untuk memberikan jawaban sebanyak yang muncul di kepala mereka, tentu saja ada beragam jawaban yang diberikan. Secara garis besar, semua sependapat akan keterkaitan tempat dengan sejarah, di samping jawaban seperti diversity, reflection, the story behind, reflection, education, dan lain – lain yang ditulis di kertas warna – warni.
Jawabannya akan menjadi berbeda ketika pertanyaannya diubah sedikit dan disodorkan kepada mereka yang kesehariannya di taman senyap yang menyimpan cerita sejarah itu.
(Mungkin) Ini adalah jawaban doa saya beberapa tahun lalu ketika capek dan menyampaikan kekesalan sama Tuhan … sepertinya lebih enak ya mengatur orang mati daripada orang hidup!
Kata demi kata itu terlontar dari bibir Audrey saat kami melangkah pelan – pelan, meninggalkan pelataran Monumen Karel Doorman.
Call Audrey, I will pass you her mobile number.
If you have any problem to enter the ereveld’s gate, call me for the password 😉

Senin malam, dua hari sebelum kembali ke Kembang Kuning, Robbert van de Rijdt, Direktur OGS Indonesia, menelepon, memberi jawab atas posel yang saya layangkan untuk meminta ijin bertandang ke ereveld di sempitnya waktu kunjungan ke Surabaya. Robbert menyampaikan pesan untuk berhati – hati karena Surabaya masih siaga satu pasca meledaknya bom di tiga gereja pada Minggu pagi, sehari sebelumnya. Screening tamu yang akan berkunjung ke ereveld (taman makam kehormatan) pun sedikit lebih ketat dari biasanya, bahkan dalam beberapa hari ke depan, tidak menerima kunjungan sampai suasana Surabaya dinyatakan normal. Namun, Robbert memberikan akses khusus melalui Audrey untuk berkunjung.
Saya masih berpikir Audrey yang dimaksud adalah salah satu staf Robbert di kantor Jakarta hingga saya menjumpainya di pendopo kantornya dalam seragam biru yang biasa dikenakan oleh kepala Taman Makam Kehormatan Belanda. Yup, Audrey Latuputty adalah Opzichter Ereveld Kembang Kuning, perempuan pertama yang mendapat kepercayaan untuk mengepalai dan mengurus sebuah taman pemakaman yang dikelola oleh OGS Indonesia.
Audrey sebelumnya bekerja di lingkungan riuh yang menyenangkan, mengakrabi kegiatan yang memberi ruang berinteraksi dengan banyak orang, serta banyak melakukan perjalanan sebagai tur leader di sebuah perusahaan perjalanan; pada seperempat abad hidupnya memilih untuk mengakrabi pertumbuhan rumput, uji coba tanaman hias yang bisa bertahan di tanah yang kering, mempelajari teknik pembuatan patok – patok beton untuk nisan serta perawatannya, berkutat dengan buku sejarah di sebuah taman pemakaman!

Tidaklah mudah baginya memasuki lingkungan yang diakrabi lelaki terlebih menerapkan cara kerja yang berbeda dari kebiasaan yang sudah dilakukan selama belasan tahun. Tekad, keyakinan, dan kesabaran membuatnya terus berjalan hingga tercipta suasana kerja yang mendekatkan satu dengan yang lain dan menyenangkan.
Setelah berkeliling, Audrey mengajak saya melihat kegiatan para pekerja di workshop di sisi belakang taman pemakaman. Ia menjelaskan dengan detail tahapan pembuatan dan perawatan patok – patok putih yang ada di taman pemakaman. Sebelum pamit, saya pun diberi kesempatan “menggantikan” sementara Edi Rusmanta, menuliskan nama seseorang yang telah tiada dengan menyapukan kuas di atas salib putih yang tergeletak di atas meja. Pekerjaan yang butuh kesabaran tinggi dan ketelatenan agar cat yang disapukan di papan itu pas dan tak belepotan.

Ereveld Kembang Kuning diresmikan pada 8 Maret 1942. Sekitar 5.000 korban perang yang meninggal semasa perang baik di medan pertempuran, kamp interniran di Jawa Timur pada 1942 – 1945, termasuk juga sebagian makam yang dipindahkan dari pemakaman sebelumnya di Tarakan, Kupang, Ambon, Balikpapan, Makassar, dan Nieuw Guinea yang dimakamkan kembali di Ereveld Kembang Kuning. Makam mereka adalah bagian dari 25.000 makam korban perang yang tersebar di 7 (tujuh) ereveld di Indonesia. 22%-nya berasal dari militer, selebihnya adalah warga sipil termasuk di antaranya perempuan dan anak – anak.

Taman pemakaman bagi sebagian besar orang adalah tempat yang sangat jarang diakrabi. Bila tak perlu sangat, tidak perlulah melangkah ke tempat itu. Bahkan saat ada kepentingan yang mengharuskan untuk mendatangi tempat itu; tetap saja ada yang diliputi keraguan untuk hadir di sana, saleum [oli3ve].
aku salut ama kak Olive, karena jarang memang orang yang tertarik ke makam apalagi tahu sejarahnya.
salut itu semacam makan donat dikasih coklat ya Win 😉
hahha boleh kak 🙂
itu makamnya lebih banyak di Indonesia ya kak? sampai 25.000 makam.. kerenn
iya Dlienz, 50% ada di Belanda dan tempat lain. sisanya tak diketahui rimbanya alias hilang di masa perang
ha? di Surabaya dan aku nggak tahu. OMG di daerah mana mbak?
Kembang Kuning