Upacara peringatan mengenang mereka yang pergi di Laut Jawa 77 tahun lalu, usai sedari tadi. Namun aku memilih meneduh sebentar di samping Monumen Karel Doorman, tempat peringatan berlangsung hikmat. Udara Surabaya yang panas di jelang siang itu benar – benar menusuk kulit. Kulihat, masih ada dua perempuan lain yang juga berdiam di belakang monumen. Anggota keluarga dari mereka yang telah pergi, yang datang jauh – jauh dari Belanda untuk menjenguk peristirahatan ayah/ibu/om/tante/kerabat juga dalam rangka mengikuti upacara peringatan tadi.

Dari tempatku berdiri, aku menebak – nebak usia mereka. Yang seorang kira – kira 70 tahun. Sedang perempuan yang satu lagi sepantaran ibuku, bila saja ia masih ada. Perempuan yang lebih muda menaburkan segenggam melati di bawah kaki prasasti HR. Ms Java. Mungkin ia membawa kembang dan doa untuk ayah atau pamannya atau saudaranya, aku tak sempat bertanya. Ia berlalu dengan tergesa – gesa. Pipinya memerah, kepanasan.
Hr. Ms Java, satu dari tiga kapal Belanda – Hr. Ms Java, Hr. Ms Kortenaer, dan Hr. Ms De Ruyter – yang tergabung dalam armada ABDA (= The American British Dutch Australian) yang bertempur melawan Angkatan Laut Jepang di Laut Jawa pada 26 – 27 Februari 1942, dikomandani oleh Laksamana Muda Karel WFM Doorman.
Pertempuran Laut Jawa adalah pertempuran laut terbesar selama perang dunia kedua, di awal Perang Pasifik yang dalam catatan sejarah dunia dikenal sebagai Battle of Java Sea. Surabaya di masa itu menjadi pangkalah Angkatan Laut terbesar terakhir di kawasan Asia Tenggara setelah Manila dan Singapura dikuasai Jepang. Dari pelabuhan Surabaya, pada 26 Februari 1942, tiga kapal perang Belanda beranjak bersama kapal perang Inggris, Amerika, dan Australia untuk menggagalkan pendaratan tentara Jepang di Jawa Timur.

Untuk mengenang mereka yang mendahului pada hari itu, sebuah monumen didirikan pada 1954 di tengah – tengah Ereveld Kembang Kuning, Surabaya dan diberi nama untuk menghormati komandan armada ABDA, Karel Doorman. Kini, setiap tahun peringatan sederhana nan hikmat digelar di tempat ini ditandai dengan lengking pilu lonceng HR. Ms Java memecah senyapnya taman peristirahatan sebanyak tiga kali.
Dokumentasi perjalanan pada akhir Februari 2019 itu terpampang di layar monitor yang terbuka lebar di hadapanku. Lengking lonceng HR. Ms Java yang ditarik Pak Iskandar, salah satu staf Ereveld Kembang Kuning pagi itu pun, masih terekam dengan baik dalam ingatanku. Aaah .. harusnya pertengahan Mei tahun ini aku kembali ke Surabaya, sesuai rencana perjalanan yang telah disusun dengan rapi. Di itinerary perjalanan kali ini aku ingin berlama – lama di Kota Pahlawan. Demi menghemat biaya akomodasi, seperti perjalanan tahun lalu, aku memilih menginap di hotel murah di Surabaya yang ada di pusat kota. Sayang, rencana itu tak bisa diwujudkan bulan ini. Pandemi COVID-19 yang terlanjur merebak duluan, berdampak pada semua sektor industri termasuk pariwisata dengan penerapan hidup berjarak, tak melakukan perjalanan, dan berkegiatan dari rumah saja.
Aku menggeser gambar di layar, gambar ini … mengingatkanku pada pertemuan dengan Oma Louise, keponakan dari salah satu anak kapal Hr. Ms Java yang hadir di Kembang Kuning pagi itu.

Louise Meijer. Mataku menangkap papan nama yang menggantung di dada kiri perempuan yang kini berdiri dua langkah di depanku. Telunjuknya bergetar, matanya dipicingkan, mencoba menyusuri satu – satu nama yang terpatri dengan huruf timbul yang kecil – kecil di depannya.
– Excuse me, may I help you, madam .. Louise?
+ Oh, hello. I’m looking for my uncle’s name. Hakkenberg.
Kini mataku ikut memicing menyusuri deretan nama di prasasti yang menempel pada tembok di depan kami. Jujur, kalau diminta mencari nama Karel Doorman, mungkin akan lebih mudah kutemukan di prasasti De Ruyter di kanannya karena sudah berulang kali kulihat nama itu di sana. Tapi Hakkenberg, nama asing yang baru pagi itu kudengar.
– Ah, here it is, ma’am. Hakkenberg, A.N, isn’t it?
+ Jaaa, dankeschön ee..mmm …
– Olive, ma’am
+ Thank you, Olive
Louise mengarahkan kamera mini di tangannya pada sisi prasasti tempat nama Hakkenberg tercantum. Matanya kembali dipicingkan. Tangannya bergetar, jarinya tak jadi memencet tombol bidik. Ada haru yang tertahan, tertangkap di ujung matanya. Kembali kutawarkan bantuan untuk mengambil gambar sesuai inginnya. Senyumnya lebar. Ia dengan senang hati menyetujui tawaran perempuan asing yang dijumpainya di taman peristirahatan. Diserahkannya kamera di tangannya ke genggamanku. Sekali jepret, kutunjukkan hasilnya sebelum kembali mengambil beberapa gambar dirinya di depan prasasti itu dan mengembalikan kamera ke genggamannya. Thank you, Olive. Am glad to meet you.
Tanpa diminta, satu kisah bergulir pelan – pelan dari bibirnya. He is my uncle. My father’s youngest brother. Ia tenggelam bersama kapalnya ketika torpedo Jepang menghantam lambung HR. Ms Java di perairan Bawaen pada 27 Februari 1942. Louise masih terlalu muda saat itu, namun memorinya menyimpan banyak kenangan masa kecilnya di Surabaya yang tak bisa ia lupakan. Ia bersyukur dapat mengenang pamannya meski hanya dengan membaca namanya di antara 915 deretan nama Tentara Angkatan Laut Belanda yang terpampang pada prasasti di Monumen Karel Doorman. Monumen dan prasasti yang dibuat oleh Oorlogsgravenstichting (OGS) didanai oleh Stichting Het Gebaar dan Karel Doorman Fonds untuk menghormati mereka yang jasadnya tertanam bersama tiga bangkai kapal Belanda di malam yang bergelora itu.

Melihatnya menyimpan kamera ke dalam tas kecil yang menggantung dari bahunya, aku mengajak Louise kembali ke pendopo. Ia meraih tangan kananku, menggenggamnya erat – erat. Aku harus menyeimbangkan langkahku yang biasanya panjang – panjang bahkan ingin cepat – cepat beranjak dari terpaan matahari yang mulai mengganas dengan langkah tertatih Louise yang terus bercerita tentang perjalanan hidup dan keluarganya. Kami melangkah pelan – pelan di tapak berkerikil yang ikut bersuara ketika tapak sepatu kami berbenturan dengannya.
Louise lahir di Surabaya 81 tahun lalu. Saat usianya menjelang 5 tahun, ayahnya yang bekerja sebagai pegawai kantor pemerintah dipindahtugaskan ke Pamekasan, Madura; membuat mereka sekeluarga boyongan dari Surabaya. Belum lama di Pamekasan, Surabaya memanas. Mereka dievakuasi tentara Belanda kembali ke Surabaya menunggu jadwal naik kapal pengungsi menuju Jakarta. Ayahnya, Opa Meijers, meninggal sehari setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan dimakamkan di Ereveld Menteng Pulo, Jakarta. Tak berselang lama setelah kepergian ayahnya, Louise kecil bersama Ibu dan tiga orang saudara perempuannya, ikut kapal pengungsi yang membawa pulang keluarga – keluarga Belanda kembali ke negerinya.

Ini kali kelima Louise mengikuti kegiatan tahunan yang diadakan oleh OGS dan Koninklikle Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda) untuk mengenang pelaut ulung mereka yang pergi di pertempuran Laut Jawa. Ia memulai perjalanan menyusuri jejak keluarganya setahun setelah dirinya pensiun. Bersama 20an orang anggota rombongan – sebagian besar Opa Oma yang sepantaran usianya dengan Louise – keluarga tentara Belanda yang dulu bertugas di Indonesia. Mereka berangkat dari Belanda ditemani seorang dokter, seorang pendamping spiritual (pendeta), serta dua orang muda yang gesit; yang membantu mengurusi keperluan mereka sepanjang perjalanan Belanda – Jakarta – Semarang – Bandung – Surabaya hingga kembali ke Belanda.
Perjalanan yang menguras emosi mereka yang memiliki kenangan dengan orang – orang dekat, kembali ke titik di mana dahulu mereka pernah merasakan ketidaknyamanan bercampur aduk dengan kenangan manis. Di sini, pendamping spiritual menjadi tempat mereka berkeluh kesah. Bila memerlukan tindakan medis, dokter akan turun tangan. Sebuah perjalanan yang tentu saja tak mudah bagi mereka yang sudah berumur banyak dan jalannya pun dipapah bahkan duduk di kursi roda.

Aku bersyukur berjumpa Louise pagi itu. Saat aku pamit duluan karena punya janji pertemuan di tempat lain, Louise memelukku erat – erat, menciumi pipi kiri kananku berulang kali, menggenggam tanganku seakan tak ingin dilepasnya pergi. Di perjalanan pulang, Pak Marchel yang menemaniku berjalan seharian itu bertanya penasaran,”Mbak, itu Omanya, ya?” Dirinya tak percaya ketika kujelaskan bahwa kami baru bersua di tempat itu, hari ini. Dan aku hanya senyum – senyum ketika dia terus saja mencecar dengan pertanyaan, tapiii .. mbak dan si oma terlihat sangat akrab. Jangan – jangan sudah pernah kenal sebelumnya?
Sepulang dari Surabaya tempo hari, aku mengunjungi Opa Meijers dan Opa Lannoy – ayah dan adik mamanya Louise yang meninggal di pertempuran di Jepang, jasadnya dikremasi dan abunya disimpan di columbarium Ereveld Menteng Pulo – memenuhi janji pada Louise untuk sesekali menjenguk peristirahatan mereka. Sejatinya, di awal Mei ini aku membawakan mawar untuk Opa Lannoy yang berulang tahun pada hari pertama Mei, namun pandemi COVID-19 yang merebak sejak Maret di Jakarta; menahanku untuk tinggal di rumah saja. Pula saat meniatkan bertandang ke Menteng Pulo sehari sebelum lebaran kemarin dengan memerhatikan aturan berkegiatan di luar rumah selama masa pandemi ini, columbarium baru saja disterilkan sehingga tak boleh dikunjungi dulu.
Ereveld Kembang Kuning, satu dari tujuh makam kehormatan Belanda yang dikelola oleh Yayasan Makam Kehormatan Belanda (OGS). Enam ereveld lainnya ada di Bandung, Cimahi, Jakarta, dan Semarang. Tempat – tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi bagi kamu yang senang belajar sejarah dan tak khawatir untuk berjalan – jalan di tempat peristirahatan yang tentu saja tak seramai destinasi wisata pada umumnya. Di tempat ini, kamu bisa menikmati percakapan dengan diri sembari sembari memandangi patok – patok sunyi: bila waktuku tiba, akankah ada yang datang menjenguk peristirahatanku? masihkah kamu mengingatku?

Pandemi COVID-19 telah membatasi gerak kita. Aku dan keluargaku tak bisa melihat wajah paman kesayangan kami untuk terakhir kali yang meninggal di masa pandemi ini. Tak bisa saling berjabat tangan apalagi berbagi pelukan untuk meringankan rasa kehilangan ketika bersua keluarga di rumah duka. Untuk pemakamannya saja, ada aturan yang mesti diikuti sehingga yang datang hanya keluarga terdekat dalam jumlah tak lebih dari 20 orang. Semua itu, untuk kebaikan bersama.
Lama menahan diri tak melakukan perjalanan, aku telah menimbang – nimbang, ada baiknya di perjalanan nanti kurangkaikan saja dengan mengunjungi (lagi) ereveld di empat kota seperti yang dilakukan Louise. Aku akan memulainya dari Surabaya, lalu ke Semarang, terus ke Bandung dan Cimahi sebelum kembali ke Jakarta. Pilihan transportasinya .. naik kereta api saja! Seru bukan? Untuk menginap aku telah menyasar hotel di Surabaya yang akan kutuju. Kota lainnya, tinggal berselancar mencari penginapan yang tarifnya sesuai dengan dana perjalanan serta tak jauh dari destinasi yang dituju.

Hari – hari ke depan, kita akan memulai tatanan kehidupan baru setelah pandemi COVID-19 membuat kita semua menjadi sangat berhati – hati menjalani keseharian. Semoga rencana – rencana perjalanan yang tertunda, bisa segera diwujudkan setelah pandemi COVID-19 berakhir meski tetap harus memerhatikan aturan bersosialisasi dan berkegiatan di luar rumah. Yippieee .. korona cepatlah pergi! Aku tak sabar ingin segera menyusuri jejak – jejak masa yang terus memanggil – manggil. Saleum [oli3ve].
Selain yang di Aceh, aku belum pernah main ke kuburan Belanda. Bahkan yang di Menteng Pulo, Jakarta pun belum. Kalau situasinya udah normal, aku ikut dong kalau ada rencana main ke Menteng Pulo. Sepertinya seru 🙏
hayuuuk, kabari bila dirimu sedang tak lari – lari kak, aku sih bisa kapan saja mampir ke Menteng Pulo
Di jogja gak ada ya.. bakalan lama baru kita bersua dek… rinduuuu..
di yogya ada siapa ya? wkwkw
iya nih lama banget baru reuni lagi kita kk