Keramahan dan ketulusan, kesan yang akan selalu tersimpan di hati sepulang dari satu tempat yang menjaga sikap baik ketika menerima (dan menjamu) kedatangan orang asing. Tempat di sini bermakna luas. Ia bisa rumah, kedai kopi sederhana yang berdiri di dekat pinggir kali, atau kampung yang warganya terbiasa memelihara akhlak.
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi satu kampung Orang Asli, tak jauh dari Taman Negeri Kenaboi di Negeri Sembilan, Malaysia yang masih mempertahankan kesederhanaan di kehidupan keseharian warganya. Tohor – dengan pelafalan huruf r yang sedikit sengau – begitu nama kampungnya. Kedatangan saya dan teman – teman berjalan, disambut Tok Batin Apek – kepala adat yang juga merangkap kepala kampung – bersama sebagian warganya di depan Balai Raya Kampung Tohor. Sebagai tanda selamat datang, kami diberi mahkota yang terbuat dari anyaman daun kelapa untuk dikenakan selama mengikuti kegiatan.
Orang Asli, sebutan untuk kaum pribumi – indigenous people – di Malaysia. Mereka bukan Melayu, Cina, ataupun India, tiga etnis besar yang selalu disebut – sebut acap berkisah asal muasal orang – orang yang kini berdiam di Malaysia. Keingintahuan tentang Orang Asli terus membayangi pikiran saya setelah dua kali mengunjungi kaum Mah Meri yang mendiami Kampung Sungai Bumbun, Selangor. Menurut beberapa catatan yang saya baca, berdasarkan sensus penduduk 2010, ada sekitar 160.000 jiwa Orang Asli dengan laju pertumbuhan penduduknya 17,52%. Mereka berdiam di beberapa wilayah di Malaysia dan dikelompokkan ke dalam 3 etnis besar dan 19 sub etnis. Sederhananya bisa dilihat dari bagan berikut:
Saya tidak akan mengulas detail perihal di atas, hanya memberi warna yang berbeda untuk kaum yang sudah dikunjungi. Yang akan dibagikan di sini tentang kegiatan bersama Orang Asli Kampung Tohor tempo hari saja.

Kami duduk di bangku – bangku yang telah disiapkan di bawah tenda, tak jauh dari Balai Raya. Tujuh orang pemuda Kampung Tohor, seorang lelaki dan enam orang perempuan melangkah ke atas panggung mempersembahkan tarian selamat datang. Kepala mereka mengenakan mahkota dengan selempang dan rumbai yang terbuat dari anyaman daun kelapa melingkar di badan. Pada setiap genggaman tangan kanannya, tersemat beberapa lembar daun kelapa yang sesekali dikibas – kibaskan.

Untuk mengiringi mereka bergerak, 2 (dua) orang perempuan paruh baya duduk bersila di lantai, memainkan alat musik dari bambu yang diketuk – ketukkan ke sebilah kayu. Temponya tidak terlalu cepat, tidak pula berlambat – lambat. Mereka mengikuti lantunan syair yang dilagukan oleh Tok Halak sebagai pemandu puja bagi para dewata selama para penari menarikan Tari Sewang.
Dahulu Tari Sewang adalah tarian ritual kesembuhan yang ditarikan pada waktu tertentu saja. Pergeseran masa menjadikannya tarian pergaulan yang dibawakan dengan riang saat menyambut tetamu, pesta syukuran selepas panen bahkan di upacara perkawinan. Di pertengahan tari, para tetamu akan diajak untuk bergabung dan ikut menari bersama. Formasi geraknya tidaklah susah. Gerakannya juga diulang – ulang jadi sangat gampang untuk diikuti meski baru sekali melihatnya.


Puncak kegiatan hari itu adalah ritus pernikahan adat antara anak perempuan panglima dengan lelaki pujaan hatinya. Tok Batin bertindak sebagai wali perempuan yang menerima janji dari ayah calon pengantin lelaki yang datang membawa persyaratan kawin (seserahan) untuk calon mempelai perempuan. Seserahan berupa uang tunai – besarnya disesuaikan dengan derajat sosial calon pengantin perempuan, semakin tinggi derajat sosialnya semakin besar nilai uangnya – cincin dan gelang yang terbuat dari rotan, sirih, rokok, dan mahar biasanya berupa kebutuhan sehari – hari. Semua diletakkan di dalam tampah yang dibawakan ke hadapan orang tua pengantin perempuan.

Setelah kata sepakat diperoleh, para wali akan memakan sirih lalu kedua mempelai akan saling mengenakan cincin & gelang. Sebagai ketua adat, Tok Batin akan memberikan wejangan sebelum kedua pengantin didaulat untuk saling menyuapi dengan harapan ke depan, keduanya bisa saling membantu dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Terakhir mereka pun mengisap rokok bersama, ritual yang baru kali ini saya lihat di upacara pernikahan. Ritus ditutup dengan pemberian ucapan selamat kepada pengantin dari semua tetamu yang menghadiri pernikahan sebelum dilanjutkan dengan menyantap hidangan bersama.
Selepas dari ritus pernikahan siang itu, di Balai Raya, saya menjumpai Antan Anak Keson yang duduk di samping meja dengan aneka umbi di atasnya. Dibantu Mey bin Edy, cucunya yang menjadi sulih bahasa; Antan menjelaskan perihal umbi – umbian yang dijadikan obat herbal tradisional seperti tongkat ali (Eurycoma longifolia), ubi jaga/akar dawai (Smilax myosotiflora) dan lainnya yang berkhasiat untuk meningkatkan stamina.
Di keseharian, Orang Asli Kampung Tohor hidup dari berladang, berburu, menyadap getah karet, dan merambah hutan untuk mencari rotan, damar, bambu, dan buah – buahan. Hasilnya, selain untuk dikonsumsi dan dipergunakan sendiri, juga untuk dijual. Rotan, damar, dan bambu dibuat kerajinan tangan untuk perkakas rumah tangga dari tempat bumbu di dapur hingga gedek untuk rumah.

Saya melihat ada banyak persamaan kultur di kehidupan Orang Asli Temuan di Bukit Lanjan, Damansara yang saya kunjungi tahun lalu dengan yang ada di Kampung Tohor. Yang membedakan, Orang Asli Temuan Bukit Lanjan kini hidup dikelilingi gedung – gedung pencakar langit. Sementara Orang Asli Temuan di Kampung Tohor masih menjalani kehidupan di dalam kawasan hutan lindung Kenaboi. Mereka tak lagi hidup berpindah – pindah namun menetap di rumah – rumah panggung serta tak asing dengan teknologi modern. Ketika berjalan – jalan ke dalam kampung, saya melihat di beberapa rumah ada motor honda juga mobil terparkir di pekarangannya, saleum [oli3ve].
Yang disempatkan dibaca:
- Orang Asli in Peninsular Malaysia: Population, Spatial Distribution and Socio-Economic Condition, Tarmiji Masron, Fujimaki Masami, Norhasimah Ismail, 2013
- Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes, Yayasan Obor Indonesia, 1993
Tari sewang dengan musik bambu asyiik banget.
Peran sirih dalam keramahan budaya mirip dengan Indonesia ya.
Kedekatan rumpun Melayu yg menarik.
Terima kasih Mbak Olive, pembaca blog diperkaya wawasan salam
iya mbak Ry, dan kalau ditelusuri lebih jauh orang asli temuan ini akarnya dari sumatera dan jawa
Jadi, stigma bahwa “Kita Serumpun” itu memang benar ya Mba? Setidaknya itu yang dapat saya simpulkan dari deskripsi orang kampung Tohor. Membaca catatan ini, saya jadi teringat Suku Badui. Bagaimana persinggungan orang kampung Tohor ini dengan dunia luar Mba? Terutama pada sisi teknologi dan informasi.
PS: Ternyata saya mampir di blog orang terkenal.
Salam kenal Mba, salam dari Anak Desa…
Iya mas Sukman, kalau tak salah di Sumatera ada juga tuh Kampung Tohor, cuma gak tahu apakah mereka akarnya dari sana atau bukan. Kalau melihat suasana di kampungnya, dari sisi teknologi, alat transportasi seperti motor sudah tak asing, listrik dan peralatan elektronik sudah masuk. Informasi diakses dari siaran radio dan televisi lewat parabola.
Terima kasih sudah mampir
wah Menarik juga