Aqila memiliki minat yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan alam khususnya benda antariksa. Cita – citanya menjadi seorang astronot. Aqila memiliki misi khusus ketika memilih tawaran liburan di rumah Prof. Wibowo, opanya, seorang astronom yang sehari – hari bekerja di Obervatorium Bosscha, Lembang. Namun, setelah bersua opanya, hasrat Aqila untuk segera menjalankan misinya mengamati pluto lewat teropong Bosscha mesti ditunda dahulu karena dari perbincangan mereka berdua, sang opa mengajukan satu syarat yang memberatkan. Untuk bisa masuk Bosscha dan memegang teropong utamanya, sang cucu harus pandai mengaji.

Apa hubungannya meneropong pluto sama ‘ngaji?
Keberatan yang dilontarkan Aqila di atas, mungkin akan menjadi pertanyaan kamu juga bila berada pada posisi Aqila. Tanpa perlu berbantahan, Opa Wibowo berhasil meyakinkan dan memotivasi Aqila lewat penjelasan sederhana bagaimana iqro ( = membaca) menjembatani mimpi seseorang untuk meraih bintang.
Agar bisa memahami pesan Allah, mengerti tanda – tanda alam, dan makna hidup ini; bacalah ayat – ayat Allah yang tertulis dalam Al-quran, bacalah ayat – ayat Allah yang ada di atas langit, dan bacalah ayat – ayat Allah yang ada di dalam dirimu. Opa Wibowo juga bercerita bahwa jauuuuh sebelum manusia mengenal tanda waktu, manusia menggunakan benda – benda langit untuk mengatur dan menentukan waktu, termasuk waktu sholat.
Meski dalam dialog dengan sang opa, Aqila sudah mengawalinya dengan melontarkan tanya keberatan, Aqila adalah anak kreatif, penurut, tak banyak bersungut – sungut walau inginnya harus tertunda. Sifat yang jauuuuh dari anak kebanyakan yang akan merengek – rengek agar keinginannya yang sangat kuat segera dipenuhi oleh orang dewasa di sekitarnya. Aqila yang sedang senang – senangnya bermain gawai, dengan mudah mengekor Ros, anak asisten rumah tangga Opa Oma, ke pesantren kilat di masjid dekat rumah meski tetap membuka game saat kawan – kawannya sedang menyimak pesan dari Kak Raudhah, pembimbingnya. Singkat cerita, lewat pesantren kilat, Aqila pun secara kilat lancar membaca Al-quran bahkan tak ragu untuk ikut festival iqro Al-quran di Bandung.
Itulah inti cerita yang saya tangkap usai menonton Iqro, Petualangan Meraih Bintang, film garapan Rumah Produksi Masjid Salman ITB dan Salman Film Academy di Panakukkang XXI, Makassar, Kamis (27/01/2017) lalu.
Ditinjau dari tema, Iqro menarik dan berhasil menggerakkan langkah saya ke bioskop karena penasaran bagaimana mengemas dan menautkan sains dengan religi untuk disajikan di layar lebar agar gampang dicerna anak – anak. Sayangnya, entah karena Petualangan Sherina terlalu melekat dalam memori, membuat kisah petualangan Aqila kurang menggigit.
Jika makna petualangan yang dimaksud pada judul film adalah sebentuk usaha mengeluarkan adrenalin dari tokohnya untuk melakukan aksi yang mendebarkan dan memainkan emosi penonton; maka perjalanan seorang Aqila untuk menyentuh teropong utama Bosscha sangat jauh dari sebuah petualangan. Pokok cerita pun melebar dengan hadirnya konflik lain menudungi kisah Aqila meraih bintangnya seperti: kegiatan pembangunan hotel mewah tanpa ijin di lingkungan Bosscha, sebuah kawasan cagar budaya, gangguan – gangguan yang dialami keluarga Wibowo serta keruwetan Opa Wibowo setelah kedatangan tamu dari badan antariksa yang mengancam untuk menghentikan pendanaan karena operasional Bosscha sudah tak bisa maksimal.
Observatorium Bosscha didirikan atas inisiatif Karel Albert Rudolf Bosscha, penyandang dana utama pembangunan observatorium di Lembang itu pada 1923. Setelah Indonesia merdeka, Bosscha diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Pada 2004, Bosscha ditetapkan sebagai benda cagar budaya.

Sebagai remaja yang memiliki minat besar pada tata surya, tinggal di rumah Opa Omanya yang berada di lingkungan Bosscha tak sedikit pun mengusik keinginan besar Aqila untuk sekadar melakukan sedikiiiiit saja “kenakalan” anak dan remaja. Misal, mengendap – endap dan mengintip ke dalam Bosscha ketika opanya lengah atau kala dirinya bersama kawan – kawannya belajar iqro di pelataran Bosscha. Andaiiiii saya Aqila, maka kesempatan itu tak akan disia – disiakan! Andai, sayang jiwa bertualang Aqila, kurang dipelintir.
Maafkan bila ada ragu yang meriap dalam hati dan pikiran bagaimana anak usia 9 (sembilan) tahun secepat kilat mahir membaca Al-quran? Bukan hanya itu, selama mengikuti pesantren kilat, tak tampak tambahan mengaji selama Aqila berada di rumah Opa Oma; orang yang mendorongnya untuk belajar membaca Al-quran agar bisa pintar seperti mamanya dahulu yang selalu bangun pagi – pagi, sholat, belajar untuk meraih bintang selain sholat subuh berjamaah yang menjadi aturan di rumah Opa Oma. Dan ternyata, pesantren kilat pun bisa melahirkan keberanian seorang anak untuk mengikuti festival membaca Al-quran.
Terlepas dari mendangkalnya tema cerita yang ditulis oleh Aisyah Amirah Nasution dan Tatia, penyelesaian setiap masalah yang ditampilkan pun dilakukan dengan sederhana sesuai target pasar yang disasar film ini, anak – anak. Kebosanan pada jalan cerita buat sebagian besar anak yang daya tangkapnya belum bisa menjangkau jalannya cerita, membuat beberapa anak yang turut menonton pada hari yang sama hanya bertahan duduk tak lebih 30 menit di bangkunya. Di sisa waktu pemutaran film, mereka berlarian ke sana ke mari di dalam dan keluar masuk studio.
Mutia, murid SD kelas III yang datang berombongan dengan 30 orang kawannya dari Rumah Sekolah Cendekia, Gowa usai menonton mengatakan, penampakan ruang teropong raksasa Bosscha adalah bagian paling disukainya dari Iqro. Selebihnya, dia hanya menggeleng ketika ditanya kesannya usai menonton Iqro. Saya tak tahu apakah Mutia dan kawan – kawannya bisa menangkap pesan religi, pengetahuan, dan sosial yang disampaikan dari film yang mereka tonton bersama. Ibu Adelia Octoryta, Kepala Rumah Sekolah Cendekia yang mendampingi murid – muridnya petang itu berharap sepulang menonton, anak – anak didiknya dapat menceritakan kembali cerita film yang mereka tonton. Tentu, saya pun berharap, para ibu guru yang mendampingi anak – anak ini ke studio bisa membantu menjembatani sampainya pesan dari film tersebut pada murid – muridnya dan tak sekadar menuntut anak – anak untuk mengerjakan tugas sekolah.

Ahhh ya … saya sedikit terbawa emosi ketika kamera menyorot mata berkaca – kaca Mak (Merriam Bellina) dan Bang Codet (Mike Lucock), preman kampung saat menyaksikan Faudzi (Raihan Khan), anaknya, mengaji dengan olahan rasa yang dalam. Faudzi yang dihadirkan sebagai sosok pengganggu, bila disimak dari keseluruhan cerita, perannya bisa dihilangkan karena gangguannya tak menghadirkan konflik yang berarti bagi Aqila untuk melangkah ke pesantren kilat.
Terakhir, bila dilihat dari sisi pemain, pemilihan 2 (dua) bintang senior, Cok Simbara (Prof Wibowo) dan Neno Warisman (Istri Prof Wibowo) yang menjadi Opa Oma, lawan main Aisha Nurra Datau (Aqila), bintang cilik pendatang baru di flm pertamanya ini; menghadirkan kontak emosi yang membuat Nurra pun bisa bermain dengan natural dalam mengimbangi akting mereka meski pada beberapa dialog sempat keselip lidah yang dibiarkan saja hadir dalam cerita Iqro, Petualangan Menggapai Bintang.
Jadi, berhasilkah Aqila menyelesaikan misinya untuk mengintip pluto dari teropong utama Bosscha? Ajakl dan dampingilah anak, keponakan, anak tetangga ke bioskop terdekat dari tempat tinggalmu dan tonton sendiri sebelum filmnya diturunkan, saleum [oli3ve].
Tetap ya mbak Olive, bagian Bosscha-nya yang paling diingat. Kayak zaman aku dulu nonton Petualangan Sherina 🙂