[Ketika] Ramadan Pamit


Coba tengok dan amati perilaku ibu-ibu rumah tangga dalam seminggu ini, ketika mereka bertemu satu dengan yang lain, apa yang mereka bincangkan? Obrolan yang menjadi highlight adalah pusing karena pekerjaan rumah menumpuk. Terjadi ketika seseorang yang kadang diomelin sepanjang hari tapi juga dikangenin ketika dirinya mudik walau hanya sebentar saja. Romansa ibu rumah tangga yang gelisah saat asisten rumah tangga satu-satu pamit seminggu, sepuluh hari hingga dua minggu; meninggalkan pekerjaan bebenah rumah dikerjakan sendiri oleh yang empunya rumah. Akan bertambah pusing ketika yang bersangkutan tak biasa menyentuh wilayah dapur dan bisanya hanya mengandalkan lidah.

Kabari kalau sudah sampai (di kampung), ya.
Kabari kalau kamu nggak akan balik lagi (ke sini, biar dicari gantinya).

Ramadan tersenyum dari balik pintu dapur memandangi kegelisahan ibu-ibu yang berputar-putar saja di dalam rumah. Kenapa bila para asisten rumah tangga pamit, dan ia pun bersiap pergi, ibu-ibu itu menjadi resah? Bukankah setiap tahun ada momen yang membuat mereka harus pamit sebentar meski ada pula yang diam-diam tak kembali lagi karena terbujuk tetangga di samping rumah?

Tahun ini saya menyambut Ramadan di rumah seorang sahabat yang menjalankan ibadah puasa. Layaknya hari yang lain, semua berjalan wajar-wajar saja. Tak terlihat hiruk pikuk di rumah itu, tak pula ada yang panik mondar-mandir berbelanja ke supermarket atau ke pasar. Hanya di hari datangnya Ramadan, waktu bangun pun harus disesuaikan dengan jam jelang sahur. Dan pada hari pertama bersama Ramadan, adalah yang sedikit rewel karena jam bangun tubuh harus disetel lebih cepat begitu pula di siang hari usai bermain; ketika mulut terasa kering, ada keinginan untuk membasahinya.

ramadan keliling, taman imani iqra, rumah ilmu

Meski bukan muslim, di beberapa hari bersama Ramadan; saya pun berpuasa. Misal, ketika mengikuti satu kegiatan yang tak menyediakan makan siang karena diganti menjadi berbuka puasa atau saat bepergian dan tak bersua dengan tempat makan. Lebih sering saat sedang bermain ke rumah kawan atau saudara yang menjalankan ibadah puasa; saya yang menyesuaikan diri meski tuan rumahnya nggak meminta dan tak pernah memaksa untuk turut berpuasa. Bahkan mereka tetap saja menyediakan makanan untuk sarapan atau makan siang ketika saya melewatkan sahur. Seorang kawan yang tahu saya berpuasa bukan di saat yang biasanya pun bertanya,”Dalam rangka apa loe puasa, Lip? Ada kaul?”  🙂

Lho, memangnya puasa untuk mempercepat mimpi mewujud ya? Bukankah puasa salah satu cara melatih diri berproses untuk lebih bersabar dan mendekatkan diri pada Yang Empunya hidup?

Duluuuu, semasa kuliah saya pun sering berpuasa karena kantin tutup dan kedai-kedai makanan di sekitar kampus baru terlihat sibuk menjelang maghrib. Pun semasa bekerja di daerah Anyer, Banten, setiap Ramadan datang, bersama dua orang kawan kami selalu menyiapkan stok makanan cepat saji di lemari kantor bila tak ingin kelaparan saat perut meminta diisi. Kalau sekarang, puasanya di waktu-waktu tertentu, diam-diam saja tanpa perlu meminta semua warung makan memasang tirai karena ia diniatkan bukan sekadar menahan lapar sembari ‘ngeces kala melihat orang dengan lahapnya makan di depan mata, lalu marah-marah karena perbuatannya mengundang selera.

Bulan puasa tahun ini saya pun beberapa kali menghadiri acara buka puasa bersama (bukber). Dari bukber di rumah sahabat, bukber sembari reuni dengan teman-teman yang pernah sekantor, menikmati suasana bukber di hotel bintang hingga memenuhi undangan bukber di acara tertentu. Di setiap acara bukber itu, saya senang sekali memperhatikan perilaku makan yang hadir. Saya sering melihat ada tamu yang seperti orang tak pernah berjumpa makanan, menuangkan nasi dan lauknya ke dalam piring menyerupai gunungan, padahal kan puasanya sehari itu. Yang menyedihkan ketika makanan yang bertumpuk itu tak habis, dan dibiarkan bersisa di piring. Apa tidak bisa ditakar secukupnya dan bila memang perut masih ingin, kan bisa beranjak lagi ke meja untuk menambah ketika yang di piring sudah habis? Mungkin ini yang disebut lapar mata, ataukah karena takut tak kebagian?

Saya lebih menikmati berbuka puasa rumahan ketika sedang berada di rumah kawan atau saat pulang ke rumah Bandung. Duduk bersama di meja makan, mengucap syukur untuk sehari yang telah berlalu dan menikmati berkat yang tersedia. Bukankah ibadah puasa sejatinya seperti itu? Kalau pun ada yang mengajak makan bersama, tak ada salahnya dipenuhi bila memang tak berhalangan. Namun, belajarlah untuk mencukupkan diri karena hanya orang yang tahu menempatkan kata cukup pada posisi yang serendah-rendahnya yang akan mengerti maknanya bersyukur.

Ramadan sebentar lagi pamit. Dan kenangan saya akannya akan selalu terbawa ketika mengingat dan merindu sapa malaikat-malaikat kecil yang menemani selama bulan puasa ini:

Tante, ayo berbuka, sudah maghrib.
Tante kok nggak sholat?
Tante puasa? koq tadi nggak bangun sahur?

Sapa dan tanya sederhana yang sering makjleeeeeb dan nancep di hati  😉

Sebulan ini saya lebih sering menclok sana menclok sini. Minggu lalu, saat pulang dan membuka lemari cuci untuk meletakkan pakaian kotor, saya mendapati sepucuk surat yang ditulis di guntingan kertas yang dibentuk menyerupai awan. Dari Mbak Nar, bibi cuci,”Mbak, bibi tanggal 2 pulang ya, baru balik lagi tanggal 10. Mohon maaf lahir bathin, takutnya nggak sempat bertemu.”

masjid kristal terengganu, lebaran, idul fitri, makna lebaran, makna ramadan

Lebaran sebentar lagi datang. Ia membuat saya tersadar, ada yang menanti sesuatu bukan sekadar kata maaf. Karena esok pagi-pagi saya sudah pergi lagi, malam itu, di tumpukan baju kotor saya selipkan selembar amplop putih sebagai balasan untuk surat Mbak Nar.

Ramadan melangkah ke gerbang, ia akan segera berlalu. Sudahkah hati dan pikiran kita siap memulai hari baru membawa nikmat yang dititipkan dan diresapi selama sebulan kita mengisi hari bersamanya? Ataukah hadirnya hanya sebatas basa-basi saja sehingga tak ada kesan yang menggetarkan jiwa hingga saatnya dia datang lagi tahun depan? Saya bersyukur diberi kesempatan menikmati ramadan yang berbeda tahun ini meski ada begitu banyak riak yang menyertai hadirnya. Selamat menyambut Lebaran, maaf  lahir batin, Tuhan berkati kita senantiasa, saleum [oli3ve].

16 thoughts on “[Ketika] Ramadan Pamit

  1. hikss.. aku cedih, puasa tahun ini banyak bolong, gegara kena batuk parah dan gejala typus.. alhamdulillah menjelang lebara sudah membaik 🙂

  2. hayyah… jadi berat ini puasa di hari terakhir. mana belum tentu ketemu lagi di tahun berikutnya.. hiks. semoga masih diijinkan olehNYA.. amien..

  3. aku juga lbh suka buka puasanya ala rumahan, gak terburu-buru, g khawatir kelewatan waktu maghrib karena mushala yg kekecilan dan orang ngantri panjang. dan lebih kerasa ramadhannya hehe

    hayuk kak sekali-kali ramadan di Aceh 🙂

Leave a comment