The Boy in the Striped Pyjamas: Persahabatan Dua Bocah dari Balik Pagar Kamp Konsentrasi Auschwitz


Heil, mein Führer! Ralf Hoess baru saja mendapat promosi dan diangkat oleh Fuhrer – salam hormat buat pemimpin di lingkungan Nazi Jerman yang, lebih sering disematkan sebagai kata ganti sapaan untuk Adolf Hitler – menjadi kepala kamp konsentrasi Auschwitz di Polandia. Karena tugas barunya itu, Ralf pun harus pindah dengan membawa serta keluarganya, istrinya Elsa dan dua anaknya, Gretel (12) dan Bruno (8); dari rumah mereka di pusat Berlin ke rumah dinas di tempat terpencil dan asing. Di lingkungan yang baru itu, Bruno yang terbiasa bermain dengan kawan-kawannya sepulang sekolah; tak memiliki teman sebaya. Di rumah itu, hanya ada orang-orang dewasa termasuk tentara-tentara Schutzstaffel – pasukan SS – yang berjaga-jaga. Gerak-geriknya pun selalu diawasi oleh Letnan Kotler, orang kepercayaan ayahnya.

Satu hari, Bruno memanjat tempat tidurnya untuk menjangkau jendela kamarnya. Dari situ, Bruno melihat satu kampung di belakang rumah mereka yang dipikirnya daerah pertanian. Dia heran, kenapa orang-orang di kampung itu mengenakan seragam piyama bergaris-garis dan topi khusus? Jiwa tualang dan rasa penasaran Bruno terusik untuk mengunjungi tempat yang oleh ayahnya disebut sebagai tempat manusia-manusia jahat. Namun, pernyataan ayahnya malah membuat Bruno semakin penasaran. Satu hari, Bruno mendapati Pavel, lelaki tua dengan piyama bergaris-garis; keluar masuk di dapur rumah orang tuanya. Kalau mereka orang jahat, kenapa diizinkan masuk ke rumah? Siapakah petani berpiyama ini?

the boy in the striped pyjamas, the boy in the striped pyjamas, komandan kamp Auschwitz, film holokaus, film holocaust
Bruno Hoess

Rasa penasarannya membawa Bruno bermain ke belakang rumah dan mendekati pertanian yang dikelilingi pagar kawat berduri itu. Di sana, Bruno berkenalan dengan Shmuel, anak lelaki berkepala plontos yang duduk sendirian di pinggir pagar, menanti waktu untuk kembali ke baraknya. Sejak pertemuan itu, mereka menjadi sahabat dekat. Bruno sering datang bermain dan membawakan roti yang diambilnya diam-diam dari dapur untuk Shmuel. Di waktu-waktu pertemuan itu, mereka isi dengan bercerita, bermain bola, catur, dan lainnya – yang tentu saja dibatasi oleh pagar kawat yang tinggi – hingga terdengar pluit penanda Shmuel harus kembali ke barak. Perkenalannya dengan Shmuel membuatnya mengerti kenapa mereka dibatasi pagar. Shmuel berdarah Yahudi Polandia, sedang Bruno Jerman. Bruno pun baru mengetahui bahwa Yahudi adalah musuh besar Jerman. Meski begitu, baginya Shmuel tetaplah sahabat baiknya.

Baca juga Mengunjungi Makam Hitler di Surabaya

The Boy in the Striped Pyjamas, salah satu film drama perang bertema holokaus yang ditonton di Januari kemarin. Tak sengaja pula ditontonnya di hari peringatan peristiwa holokaus – International Holocaust Remembrance Day – pada 27 Januari lalu. Karena target penontonnya anak-anak dan remaja, film ini digarap dengan menitikberatkan pada keseharian Bruno – dan juga Shmule – serta persahabatan mereka. Cerita film ini diadaptasi dari novel berjudul sama The Boy in the Striped Pyjamas karya John Boyne. Karakter Bruno dan Shmuel yang dihadirkan, mewakili kisah pilu anak-anak korban perang. Anak-anak dengan pikirannya yang masih polos namun harus menerima kenyataan yang pahit karena keadaan.

the boy in the striped pyjamas, the boy in the striped pyjamas, komandan kamp Auschwitz, film holokaus, film holocaust

Kepolosan dan Kenaifan Bruno

Bruno tentu saja bangga dengan ayahnya yang memiliki pangkat tinggi di militer. Pernah, dirinya memanjat pintu ruang kerja ayahnya untuk mengintip pertemuan petinggi Nazi yang diadakan di rumah mereka. Yang dirinya – juga ibu dan kakaknya – tidak tahu adalah, ayahnya komandan kamp konsentrasi Auschwitz. Dan, rumah mereka berada di lingkungan kamp. Elsa yang akhirnya tahu tentang ini dari Letnan Kotler, marah besar, dan memaksa Ralf untuk mengijinkannya membawa anak mereka kembali ke Berlin. Di hari mereka bersiap-siap untuk berangkat,  Bruno minta ijin bermain sebentar di luar. Namun, yang dilakukannya adalah berlari ke kamp hendak pamit ke Shmuel.

Untuk membuktikan kesetiakawanannya, Bruno pernah berjanji akan menemani Shmuel mencari ayahnya yang tak pernah lagi dijumpainya semenjak mereka tiba di dalam kamp. Karena itu adalah hari terakhir Bruno berjumpa Shmuel, mereka sepakat untuk mengeksekusi rencana tersebut. Agar tak dicurigai, Shmuel meminjamkan piyama bergaris-garis berikut topinya untuk dikenakan Bruno yang kemudian menyusup ke dalam kamp lewat lubang yang digalinya di bawah pagar. Bruno tidak pernah menyangka, keputusan itu keliru! Ia tak mengenal bahkan tak tahu sama sekali tempat apa yang dimasukinya. Mereka pun terjebak di dalam barak dan terdorong dalam himpitan orang-orang yang digiring ke kamar gas. Bruno anaknya cerdas, sensitif, memiliki kepedulian, tapi juga terlalu naif karena kenyamanan di kesehariannya.

the boy in the striped pyjamas, the boy in the striped pyjamas, komandan kamp Auschwitz, film holokaus, film holocaust

Keegoisan Ralf, Berujung pada Kematian Anak Lelakinya

Ralf, putera kesayangan dan kebanggaan orang tuanya. Capaiannya dalam karir membuat ayahnya sangat bangga karena Ralf bisa masuk ke jejeran petinggi militer. Di lain sisi, ibunya yang sungguh khawatir akan keselamatan diri dan keluarganya – terlebih ketika dia mengetahui anaknya berada di lingkungan Nazi di bawah Hitler – menjadi marah karena anaknya tak mau lagi mendengar nasihatnya. Ralf pun tidak pernah memberitahukan kepada istrinya alasan dia dipromosikan dan posisi apa yang dipercayakan kepadanya selain mengajak keluarganya untuk pindah ke dekat Polandia.

Ralf sesungguhnya sayang pada keluarganya namun, ia pun memiliki ambisi untuk menggapai karir setinggi-tingginya yang diyakininya juga untuk kesejahteraan keluarganya. Hal ini membuatnya tidak berterus terang pada Elsa yang, ketika ketahuan membuatnya marah dan memecat Letnan Kotler yang telah membocorkan rahasianya. Sebagai ayah yang sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya, dipanggilkannya Herr Liszt, guru terbaik yang tentunya dibayar mahal untuk mengajar privat di rumah. Bapak tua yang tak cocok dengan Gretel dan Bruno karena lebih banyak mengajar geografi dan sejarah, pelajaran yang tidak mereka senangi. Liszt pun mendoktrin anak-anak itu dengan ajaran kebencian Nazi yang diserap mentah-mentah oleh Gretel.

Ralf menyadari semuanya sudah terlambat ketika mendapati pakaian Bruno di balik pagar kamp dan berdiri pias di depan ruang gas yang baru saja diaktifkan. Nasi sudah menjadi bubur!

Baca juga: Seryozha Aleshkov, Bocah Ingusan Bernyali Besar di Garis Depan Pertempuran Stalingrad

the boy in the striped pyjamas, the boy in the striped pyjamas, komandan kamp Auschwitz, film holokaus, film holocaust

SET dan Lokasi Pengambilan Gambar

The Boy in the Striped Pyjamas (2008) disutradari oleh Mark Herman. Lokasi pengambilan gambarnya dilakukan di Berlin, dan wilayah Budafok, pekuburan Kerepesi, serta studio di Budapes, Hungaria. Kisah dalam The Boy in the Striped Pyjamas digambarkan terjadi di tengah peristiwa bersejarah yang dikenal amat kelam pada 1942. Namun, tak ada kekerasan yang ditampilkan sepanjang film berdurasi 1,5 jam ini kecuali peristiwa di jelang akhir film ketika Bruno dan Shmuel terjepit di tengah badan orang dewasa di dalam ruang gas. Di tengah ketakutan, mereka berpegangan tangan erat sekali. Bruno meminta maaf kepada Shmuel karena hari itu mereka tak menemukan ayahnya. Lalu, bummmmm suara pintu dibanting dan ruangan menjadi gelap.

SET dari The Boy in the Striped Pyjamas tidaklah menggambarkan dengan detail kamp konsentrasi Nazi yang terkenal kelam itu, seperti:

  • Kamp konsentrasi yang dibangun Nazi selalu dijaga dengan pengamanan yang ketat. Bagaimana bisa Bruno dan Shmuel dapat menikmati waktu berbincang tanpa ada petugas yang melihat mereka?
  • Pagar kawat berduri di setiap kamp Nazi dialiri listrik tapi Bruno dan Shmuel bisa bebas bermain di tepinya tanpa tersengat listrik
  • Bruno yang tak biasa bekerja kasar – berbeda dengan Shmuel yang memang hidupnya keras – bisa menggali lubang untuk menyusup ke dalam kamp.
  • Jika membaca kisah Anne Frank, anak-anak yang dibawa ke kamp konsentrasi pada masa itu langsung dibawa ke ruang gas. Tak ada yang berkeliaran dan bebas nongkrong di pojokan kamp seperti Shmuel.
the boy in the striped pyjamas, the boy in the striped pyjamas, komandan kamp Auschwitz, film holokaus, film holocaust
Rainer Höss, putera Brigitte Höss (puteri ketiga Rudolf) dengan foto keluarga Rudolf Höss

Faktanya!

The Boy in the Striped Pyjamas terinspirasi dari kisah Rudolf Franz Ferdinand Höss, Komandan Kamp Konsentrasi Auschwitz, Polandia pada 1940 – 1945. Dialah yang merevitalisasi barak militer di Auschwitz menjadi mesin pembunuh massal yang dapat menghabisi 2000 manusia dalam tempo satu jam! Diperkirakan sekitar 1-2,5 juta tahanan kamp meninggal semasa dirinya memimpin di sana. Rudolf dan Hedwig, istrinya, memiliki lima orang anak. Tiga perempuan dan dua laki-laki. Rudolf ditangkap pada 11 Maret 1946 dan dieksekusi dengan hukuman gantung di sebelah ruang kremasi Auschwitz pada 2 April 1947.

Selintas, The Boy in the Striped Pyjamas tampak serupa film sejarah. Namun, bagi mereka yang membaca atau pernah menonton film berlatar holokaus akan melihat bahwa film ini mengabaikan detail sejarah. Bijaklah dalam menyikapi apapun yang dibaca dan ditonton, saleum [oli3ve].

Leave a comment