Hujan yang baru saja datang, memaksaku kembali duduk lesehan di teras gereja. Desember, bulan di penghujung tahun yang sering basah. Bulan sibuk bagi umat Kristiani menyambut Natal dengan beragam kegiatan yang sering jadi boomerang bagiku, kamu, dan dia yang kebersamaannya dengan orang–orang dekat tersita karena kegiatan bertumpuk–tumpuk yang mungkin (sengaja) diborong. Serupa malam itu, ketika keriuhan di gereja sendiri usai, kuikuti langkah kawan untuk melihat persiapan Natal di gerejanya. Tawaran secangkir teh panas dari ibu pengurus gereja untuk menghangatkan badan tentu saja tak kutampik.
Kami—aku dan Titi, serta beberapa pemuda di gereja tersebut—ngariung menghadap pohon pinus di samping gerbang gereja yang disulap menjadi pohon terang, dihiasi lampu berwarna–warni. Keberadaannya mengingatkanku pada satu hari menjelang Natal 13 tahun lalu, ketika ayah meminta kami, anak–anaknya untuk pulang dan merayakan Natal di rumah. Dua minggu sebelum Natal, ayah kena serangan jantung, dan harus “pulang” sebelum anak–anaknya pulang ke rumah. Saat berkumpul di hari Natal itu tak pernah mewujud, karena tenyata Tuhan telah menyiapkan hari berkumpul lebih awal dalam suasana yang berbeda. Keadaan yang dulu membuatku kesal kenapa Tuhan menjadikan hari berkabung di saat kami merencanakan hari sukacita?
Lip, pernah nggak kepikiran, kenapa kalau jelang Natal orang sibuk mendandani pohon natal? Tanya Titi memecah senyap.

Pertanyaan sederhana yang memotong ingatanku pada hari yang telah mengubah pemahamanku akan arti kehadiran Tuhan di dalam kehidupan ini. Pertanyaan yang mengingatkanku pada benturan di grup WhatsApp paduan suara gereja beberapa hari lalu karena perkara foto diri seorang kawan untuk ID Card kegiatan Natal tak sesuai dengan keinginannya. Dia minta gambar dirinya diganti. Sayang, dirinya lupa, dia hanya fokus memandangi gambar dirinya sendiri. Sedangkan yang mengerjakan pemotretan, pengumpulan hingga editing gambar dirinya dan 50 orang lainnya; satu orang saja.
Meski menyebut diri pelayanan tapi kita sering lupa, sebenarnya pelayanan kita hanya sebatas sebagai aktifis BUKAN melayani. Pelayan itu berarti berada di posisi terendah, bahkan diinjak–injak! Namun, ego sering membuat kita lebih fokus mendandani diri kita sendiri secara fisik. Senangnya komplain dengan mengedepankan keinginan diri. Tidak mau berkorban dan mengambil tanggung jawab. Padahal, jika kita mau membaca dan memahami lebih dalam makna dari kelahiran Kristus, sejatinya Natal adalah pengorbanan!

Kok bisa? Pertanyaan yang sama terlintas di pikiranku ketika mendengar khotbah di satu ibadah sore menjelang Natal beberapa waktu lalu. Setidaknya 4 (empat) pribadi berikutlah yang berkorban untuk natal:
- Maria: ia rela dan siap untuk difitnah karena hamil di luar nikah, namun Tuhan menetapkannya menjadi perempuan terpilih untuk melahirkan Putra Tunggal-Nya [Lukas 1:38]
- Yusuf: ia mau bertanggung jawab meski anak yang dikandung Maria tunangannya, bukan dari benihnya [Matius 1:24-25]
- Tuhan: karena begitu besar kasih-Nya akan dunia yang penuh dosa DIA rela memberikan Putra Tunggal-Nya turun takhta, berdiam di antara manusia bahkan rela disiksa memberikan nyawa-Nya agar manusia yang berdosa diselamatkan [Yohanes 3:16-17]
- Kita: siap atau tidak menerima segala konsekuensi menjadi anak Tuhan? [Efesus 5:1-2,8]
Selain pengorbanan, bagiku, Natal adalah pembaharuan! Saat komitmen kembali dieratkan, saat langkah tetap konsisten meski jalan yang dilalui tak selalu rata. Natal adalah saat pundak disorongkan menjadi sandaran bagi yang membutuhkan penyemangat, Natal adalah Kasih.

Sayangnya, sering kita terlalu sibuk dengan ini itu demi mempersiapkan hari untuk merayakan kelahiran-Nya lalu lupa menata hati juga melupakan yang utama, DIA yang lahir untuk kita. Kita terlalu sibuk mendekorasi pohon Natal, menghiasinya dengan lampu kelap–kelip. Lupa, lampu yang berkelap–kelip itu pun berkorban untuk menerangi kegelapan, bukan menerangi dirinya sendiri.
Sudahkah kita melakukan hal–hal baik yang Tuhan inginkan dalam hidup kita dan menjadi terang bagi sekeliling kita? Selamat Natal dan semangat menyongsong Tahun Baru. [oli3ve].
Refleksi Natal 2019 yang ditulis di WarungSateKamu, dibagikan di sini sebagai pengingat dan untuk dokumentasi.