Satu Minggu sore di awal Juni 2019, saya meniatkan untuk ikut ibadah di Stone Church Sa Pa, gereja yang dibangun pada 1934 oleh Prancis. Satu dari sangat sedikit tinggalan sejarah yang masih berdiri kokoh di jantung Sa Pa (kadang ditulis Sapa), kota kecil yang sejuk di utara Vietnam.
Nama Sa Pa (Cha Pa) mulai dikenal pada awal 1900 ketika Prancis memasuki wilayah Lao Cai dan membangun markas militernya di sebuah bukit di kaki gunung Ham Rong. Alamnya yang hijau dengan hawa sejuknya membuat Sa Pa dibangun sebagai destinasi medis dan pelesir bagi orang – orang Prancis yang memerlukan tempat bersantai dan beristirahat dari kepenatan Hanoi. Berbagai fasilitas pun dibangun seperti rumah – rumah peristirahatan, gereja, sanatorium militer, hotel, vila, juga kantor – kantor cabang pemerintahan.
Kota kecil itu kemudian berkembang dan menjadi tujuan berlibur di musim panas. Untuk memenuhi kebutuhan persediaan makanan, Prancis mengijinkan orang – orang dari etnis Kinh (suku asli Vietnam) untuk datang membuka usaha pertanian dan berdagang. Jalur perdagangan dan transporasi darat – kereta api yang menghubungkan Hanoi dan Lao Cai serta jalan raya antara Lao Cai dan Sa Pa – pun dibangun demi memudahkan pedagang dari Tiongkok untuk datang berdagang.
Pada awal 1947 ketika Viet Minh menyerang Sa Pa, mereka menghancurkan fasilitas publik yang dibangun oleh Prancis termasuk penginapannya. Tak lama, Prancis kembali menduduki Sa Pa. Namun ketika Prancis akhirnya angkat kaki dari sana; mereka tega mengebom Sa Pa dari udara, menghancurkan sebagian besar fasilitas yang tersisa yang pernah mereka bangun. Sa Pa ditinggalkan dalam keadaan luluh lantak, dibiarkan terbengkalai hingga awal 1960an pemerintah Vietnam Utara meminta pemerintah Lao Cai membenahi Sa Pa kembali.
Saya datang ke Sa Pa saat kota itu telah berubah menjadi destinasi wisata populer Vietnam. Pagi itu saya baru tiba dengan bus malam dari Hanoi, tak sempat mengecek jadwal ibadah di Stone Church Sa Pa. Ketika bertanya kepada Mac, petugas di hostel tempat menginap, dirinya tak tahu karena tak pernah ke gereja. Dia hanya mengatakan, sebagai ikon kota, Stone Church selalu ramai dikunjungi turis di akhir pekan. Saya berpikir selama ada kesempatan, kenapa tidak memanfaatkan waktu untuk beribadah di situ?
Vietnam dikenal sebagai negara sosial komunis yang memberikan kebebasan kepada warganya untuk memilih agama yang ingin dianutnya. Tak jarang, ada warga yang bisa saja menyebut dirinya beragama Kristen tapi masih juga rajin sembayang ke kuil. Ada pula yang tak jelas agamanya – cenderung menyebut diri tak beragama – tapi di kesehariannya menerapkan ajaran Buddha.
Duluuu sekali, ketika Vietnam belum berdiri sendiri sebagai satu negara, kehidupan beragama masih sangat dibatasi sering terjadi kisruh yang dipicu persoalan agama hingga beberapa biksu mengorbankan nyawanya untuk menuntut keadilan kepada pemerintah yang berkuasa. Kini, jika ditilik dari persentase umat, yang terbanyak adalah Buddha (14%), Katolik (7,4%), Cao Dai (1,2%), Kristen Protestan (1,1%), Islam (0,1%), sisanya adalah agama nenek moyang.
Kristen Protestan masuk ke Vietnam jauuuh setelah Roma Katolik yang mulai diperkenalkan oleh para misionaris Katolik dari Eropa terutama Prancis yang memiliki akar Roma Katolik pada abad 16. Wajar saja, karena pada masa itu Laos, Kamboja, dan Vietnam adalah wilayah federasi Perancis yang dikenal dengan nama Indocina (French Indochina) yang menerapkan aturan tak boleh ada ajaran kristen lain yang masuk ke wilayah mereka selain yang dibawa oleh misionaris Prancis.
Adalah Robert Alexander Jaffray misionaris dari Christian & Missionary Alliance (C&MA) yang pertama kali dikirim ke Annam (sekarang Da Nang, Vietnam Tengah) pada 1916 untuk melebarkan misi pelayanannya dari Tiongkok ke Vietnam. Selama menjalankan misi, Jaffray memonitor perkembangan pelayanan dari posnya di Wuzhou, Tiongkok yang menjadi kantornya selama 35 tahun dan sesekali melakukan perjalanan ke Vietnam. Pada 1928, Jaffray meneruskan pelayanan misi ke Kalimantan sebelum ia dan keluarganya pindah dan mengembangkan pelayanannya di Makassar sebelum meninggal pada 1946.
Di hari lain ketika berjalan – jalan di sekitar Quang Trong Square, saya berkenalan dengan 2 (dua) orang perempuan H’mong di depan Stone Church,. Mama Lili dan Mama Ca yang sehari – hari menawarkan jasa sebagai pemandu lokal bagi turis – turis asing yang ingin trekking menikmati suasana perkampungan etnis minoritas di Lembah Muong Hoa. Hari itu saya ikut Mama Lili berjalan kaki selama 4 (empat) jam ke rumahnya di Hao Thao.
Di perjalanan itu, kami melewati 3 (tiga) gereja. Satu gedung gereja yang tampak megah di lembah, sayangnya saya tak sempat turun ke sana serta 2 (dua) gereja sederhana yang berjarak satu jam berjalan dengan langkah pendek – pendek ke rumah Mama Lili. Bangunan gereja sederhana yang pertama kami temui adalah gereja Katolik. Menurut Mama Lili, kampung tempat berdirinya gereja adalah daerah misi Katolik. Warganya hidup berkecukupan karena mendapat bantuan dari gereja. Saya menangkap ada nada iri pada kata – katanya. Terlebih ketika ia melanjutkan .. nanti kami akan melewati satu gereja yang lebih sederhana dari ini.
Karena penasaran, saya jadi bertanya, kepercayaan Mama Lili. I am kicing, what about you? Dia menjawab dengan balik bertanya saat saya masih menerka – nerka mungkin yang dia maksud kicing adalah agama nenek moyang. Ketika saya jawab I am Christian, Mama Lili serta merta tertawa riang dan memeluk saya sambil berkata nanti sesampai di rumah saya masakkan kamu daging babi.
Meski angka persentasenya terlihat kecil, perkembangan agama Kristen Protestan di Vietnam termasuk pesat terutama di kalangan etnis minoritas yang mendiami lembah – lembah di sisi utara Vietnam termasuk Sa Pa. Bahkan ada satu studi yang menyebutkan kekristenan berkembang pesat pada akhir 1980 meski tak ada misionaris Kristen yang masuk ke Vietnam di masa itu.
Lalu dari mana mereka mendapatkan pengajaran Kristen? Etnis H’mong yang sebagian besar beragama Kristen, mulai tinggal di lembah Muong Hoa sejak melakukan eksodus dari Tiongkok, turun ke selatan demi mencari penghidupan yang layak. Mereka berjalan hingga ke perbatasan Thailand. Kehidupan mereka yang sangat sederhana mengandalkan hasil pertanian dan menjual souvenir berupa kain tenun kepada turis. Untuk hiburan, mereka mendapatkannya dari siaran radio termasuk mendengarkan siaran penginjilan berbahasa H’mong yang disiarkan dari radio Manila. Betapa luar biasa Tuhan bekerja untuk menjangkau jiwa – jiwa yang lebih banyak dianaktirikan oleh pemerintah Vietnam. Mungkin, ini yang dimaksud Mama Lili tempo hari.
Sepulang ke Hanoi, saya menyempatkan bertandang ke Katedral St Joseph yang hanya berjarak beberapa langkah dari penginapan, juga ke Katedral Huyen Sy sewaktu berada di Sai Gon (Ho Chi Minh City). Meski memiliki jadwal pelayanan dalam seminggu, gereja hanya akan ramai saat perayaan natal. Di hari Minggu dan di hari – hari lain hampir serupa dengan Stone Church Sa Pa, bangku – bangku umat di ruang ibadahnya hanya diisi oleh segelintir warga senior. Ke mana generasi milenial-nya? saleum [oli3ve]
Ditulis untuk Buletin Oikoumene Persekutuan Gereja – gereja di Indonesia, dibagikan di sini sebagai dokumentasi.
Salah satu yang bikin aku mupeng mau ke Vietnam karena bangunannya cakep-cakep terutama gerejanya. Niat hati mau ke sana, eh muncul covid. Ditunda dulu 🙂
ooh, kupikir sudah pernah ke Vietnam, yang banyak diceritakan itu India ya?
tahun ini rencana kembali ke Vietnam juga tertunda karena pageblug
Aheeey, langsung dimasakin daging babi. Reward perjalanan yang uwow banget kak olive! hahaha
bangeeet, dan babinya ternak sendiri di belakang rumah wkwkwk
serupa kamu disuguhi makan siang sama suster kan?
Benerr wkwkwk
perjalanan selalu menyajikan kenangan yang manis :)))
Viet Nam jadi salah satu wish list destinati, thanks for sharing kak!
hayuuuk diwujudkan kk Chandra, etapi tunggu pandeminya reda dulu ya
Terima kasih Mbak Olive…..menyimak kehidupan bergereja. wow naksir gereja yg di lembah dipeluk oleh hijau alam.
Salam hangat
cakep ya .. andai tempo hari punya waktu lebih panjang di situ, aku kan turun ke sana 😉
HA, JALAN KAKI 4 JAM? Kayak naik gunung ya kak, hihi. Selama ini aku nggak pernah bergereja saat traveling ke luar negeri, lalu pertama kalinya ke gereja saat di Singapura, November 2018 lalu.
Tuhan bisa menggunakan berbagai cara untuk menjangkau umat-Nya.
cakep ya 4 jam! sampai di tujuan jempol nyut – nyutan haha