… Tembok Batavia, 9 Oktober 1740 … Nie Lie Hay berdiri gontai, sisa air matanya mengering di pipi setelah meratap semalaman. Dia memandang pilu tubuh kaku yang bergelimpangan di sekelilingnya; menggamit lengan Nai Nai sang nenek, harta satu-satunya yang tersisa setelah semua yang mereka cintai dibantai oleh Kompeni di depan mata. Dengan tertatih mereka mencoba berlari membawa perih yang tak terkatakan ke tepi Kali Angke. Lily mengajak Nai Nai meninggalkan Batavia, menyusuri Kali Angke yang memerah oleh tumpahan darah dengan perahu kecil menuju laut lepas mencari tempat menyandarkan perahu dimana kedamaian hati dapat berlabuh.
Kisah di atas adalah penggalan drama musikal Sangkala 9/10 yang dipentaskan oleh Abang None Jakarta di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki dua tahun yang lalu, Sabtu (07/05/2011). Batavia 1740, sebuah peristiwa pembantaian hak asasi kemanusiaan.

Sekitar 10,000 orang Tionghoa dibantai dengan membabi buta oleh VOC dalam dua hari, puncaknya adalah saat Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengeluarkan titah untuk menyembelih 500 orang Tionghoa yang tersisa di halaman Stadhuis (sekarang pelataran Museum Fatahillah, Jakarta) pada 10 Oktober 1740 dan mayatnya dibuang ke Kali Besar. Sebuah catatan perjalanan bangsa yang lebih sadis dari kerusuhan Mei 1998.
Kenapa mereka dihabisi? Mari bermain dengan imaji, kita mengembara sejenak ke masa 700 tahun silam.

Suku bangsa Tionghoa terlahir sebagai kaum yang mewarisi kegemaran untuk merantau. Dengan bekal ilmu maritim yang handal serta semangat untuk mencari penghidupan yang lebih baik, di mata mereka She Pho atau Zhao Wa alias pulau Jawa yang terkenal sebagai gudang beras adalah target utama untuk merantau dan memulai kehidupan baru yang ideal.
Pada tahun 1289 Kubilai Khan penguasa Mongol di Tiongkok mengirimkan utusannya Meng K’i menghadap Krtanagara di Singhasari, Jawa Timur. Krtanagara tidak mau menerima tuntutan Kubilai Khan untuk tunduk pada kekuasaan Dinasti Yuan. Dikirimnya kembali utusan Kubilai Khan yang telah dicap dahinya dengan cap stempel kerajaan yang bertuliskan,”Singhasari senantiasa mengupayakan hubungan damai dan bersahabat dengan Cina Raya, tapi kami tidak akan tunduk pada hinaan dan ancaman apapun“.
Pada tahun 1292, ribuan tentara Tiongkok yang terdiri dari prajurit Mongol dan Tionghoa mendarat di Karimun Jawa, sebuah pulau kecil di utara Jepara. Mereka dikirim untuk menyerang Jawa membalas penghinaan Krtanagara. Namun kala itu, Krtanagara telah wafat saat Singhasari diserang oleh Jayakatwang dari Kediri. Raden Wijaya menantu Krtanagara lalu bersekutu dengan tentara Mongol menyerang Jayakatwang di Kediri.
Ekspedisi besar dari Tiongkok mendarat lagi di Jawa pada 1405 – 1433 dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho, tokoh legendaris pelayaran dari Yunan. Tujuan mereka adalah Semarang, Jawa Tengah. Gelombang imigran Tionghoa yang datang ke Jawa terus meningkat terutama sejak jatuhnya kekuasaan Dinasti Ming dan terbukanya kembali perdagangan antara Tiongkok dengan Asia Tenggara pada tahun 1683. Mereka datang dengan menumpang kapal perahu yang lazim disebut jung.
Pada tahun 1690, terjadi krisis ekonomi di Batavia. Meningkatnya jumlah populasi Tionghoa di Batavia yang menguasai perniagaan membuat Valckenier mengeluarkan ultimatum berupa: penerapan kuota terhadap imigran Tionghoa, pemberlakuan ijin tinggal serta memiliki usaha bagi orang Tionghoa, pemberlakuan jam malam dimana orang Tionghoa hanya dibolehkan berada di dalam kota Batavia pada siang hari dan mereka diisolir di luar tembok/benteng Batavia. Raad van Indie (Dewan Hindia) mulai melakukan razia terhadap orang Tionghoa yang mencurigakan, mereka yang didapati tidak memiliki pekerjaan diciduk dan dibuang ke Ceylon (sekarang Srilangka).

Peristiwa berdarah terjadi ketika Gubernur Jenderal Valckenier memberikan ijin untuk melakukan penangkapan dan pembantaian terhadap warga Tionghoa pada 10 Oktober 1740 di Batavia. Orang-orang Tionghoa panik, mereka berduyun-duyun meninggalkan Batavia. Berbeda bukan berarti tidak dibela! Peristiwa Batavia 1740, memicu pergerakan massa dan terbentuknya satuan-satuan Tionghoa di Jawa yang siap untuk melakukan pemberontakan, mereka lalu bersekutu dengan Mataram untuk melawan VOC. Insiden pertama terjadi di Majawa Pati pada 1 Pebruari 1741, sekelompok orang Tionghoa menyerang rumah seorang serdadu Kompeni dan memenggal kepala Kopral Claas Lutten.
Lasem, kota kecil di pesisir utara Jawa adalah salah satu daerah yang menerima gelombang pengungsi Tionghoa dari Batavia. Para pengungsi yang luput dari pembantaian ini ditolong oleh bupati Lasem, Adipati Tumenggung Widyaningrat (Oey Ing Kiat) dan Raden Panji Margono.

Mereka adalah dua dari 3 (tiga) pemimpin pemberontakan Tionghoa – Mataram terhadap VOC di Lasem. Bersama Tan Kee Wie, seorang pendekar kungfu dan pengusaha Lasem, mereka bersumpah untuk mengikatkan diri sebagai tiga saudara angkat.
Senin pagi (11/03/13), kami melangkah ke dalam klenteng Gie Yong Bio, salah satu klenteng tua di Lasem yang dibangun pada 1780. Gie Yong Bio didirikan untuk menghormati leluhur dan para pahlawan Lasem yang berjuang dalam perang melawan VOC.
Untuk kali kedua saya menjumpai akulturasi muslim dan Kong Hu Cu di tempat pemujaan setelah beberapa waktu lalu mendapati patung Raden Mas Imam Sudjono atau Eyang Sudjo di Sin Tek Bio, Pasar Baru, Jakarta. Kini di depan saya sebuah dupa menyala untuk menghormati Raden Panji Margono, putera Tejakusuma V mantan adipati Lasem yang memerintah pada 1714 – 1727, saleum [oli3ve].
Kalau buku2 sejarah cara penceritaannya mengalir seperti ini, pastinya belajar sejarah akan terasa lebih menyenangkan 😀
*Baru kali ini membaca tentang pembantaian etnis Thionghoa di Batavia. Merinding*
hehehe …bisa aja
ada bukunya tuh Batavia 1740
mba olive, ceritanya dapet banget .. nice ! 🙂
disemutin donk Za 😉
nama Kali Angke itu adanya sesudah peristiwa berdarah itu ya..?
tunggu cerita dari Lasem…., kepengen pergi ke sana
yup, Angke dalam bahasa Mandarin = merah, air menjadi merah oleh darah
kalo gak salah nama asli kalinya Cikeumeuh (?) *mesti cek ricek sama Om Robin Hood eh Om Alwi Shahab ;)*
aku merinding baca tulisan ini… heheheh
masa sih Jo?
iyes!
mantep ni ulasannya olip, dari pembantaian tionhoa di batavia loncat ke Lasem….juwara deh
org mentok otaknya begitu lulumpatan nulisnya, Juwara apa Juwana? itu kan daerah konsentrasi kelompok Tionghoa – Mataram tetangganya Lasem 😉
Juwana Pati ya kak Olive? Hehehehe…
hahaha iya
Halaaaah…. Ini aku kan baru mau ke Tangerang kak Olive, lihat sisa-sisa ‘cina benteng’ buangan Belanda juga. Eh, tau2 muncul postingan ini di beranda fb-ku. Langsung meluncur deh. 😀
Ayu, di tulisan di atas ada yang ngelink ke Museum Benteng Heritage Tangerang
blom kesampaian juga blusukan ke kampung Sewan 😉
Baru tahu sejarahnya… cerita yg menarik sekali Mbak Olive..
btw toko obatnya aku kira Lay An Tong 🙂
hahaha … kan banyak toko obat tuh sekitar petak sembilan. tapi Lay An Tong memang cukup terkenal ya bu Seno, dekat rumahnya Souw Beng Kong