Pantai Ujong Batee, selintas tulisan pada papan penanda tempat wisata di Jl Krueng Raya, Aceh Besar tertangkap ujung mata. Sekitar 200 meter dari sana, kami berhenti di bibir pantai yang senyap menanti beberapa kawan yang menyusul dengan kereta (=sepeda motor).
Langit berselimut awan kelabu. Sang surya yang biasanya tampil gagah turut bermuram durja melengkapi Minggu pagi yang sepi di penghujung Pebruari 2013. Kaki diayun di atas hamparan pasir yang berlomba memeluk erat pori-pori kaos yang membalut jemari kaki. Di pantai itu hanya terlihat satu keluarga kecil menikmati berendam dalam air laut yang mereka bendung di tepian.
Deburan ombak berlomba menghempaskan badannya pada sebongkah batu besar yang menyembul di permukaan air. Batu itu adalah sisa benteng Indrapatra pengintai pada masa Jepang, jika tak pasang akan terlihat jejeran sisa benteng di sepanjang garis pantai; imbuh seorang rakan Aceh yang menemani perjalanan ketika saya bertanya asal muasal sang batu.
Sebentuk rindu yang asing bercampur rasa kehilangan teramat sangat mendadak mendera. Aaaaaah kutarik napas panjang, menghelanya perlahan demi menyiasati rasa campur aduk yang entah darimana datangnya menggeliat dalam sukma.
Pandangan tiba-tiba buram, ada genangan air yang berdesakan di sudut mata. Terburu-buru kuseka dengan punggung tangan sebelum ia tumpah mendahului hujan. Lensa kaca mata yang ikut buram dibersihkan dengan ujung kaos berharap bisa melihat jelas dan menemukan jawaban rindu di titik temu langit dan samudera.

De javu … perjalanan ini berawal dari sebuah rindu, seperti mengulang langkah yang pernah ada. Entah kapan, bimbang mulai menggoda hingga sebuah pesan singkat berkedip di layar HP.
“PK 131-134, di tempat itu IBU kehilangan Cut Dek“, mata menyusuri jejeran huruf-huruf mungil yang timbul tenggelam karena pandangan mulai memudar. Sekejap memori memindai Perempuan Keumala, pada bagian yang memilukan hati, pada kasih yang terenggut …. aaaaaahhhhhh.
Mata memandang jauh ke samudera, ingin berteriak sekencang-kencangnya pada semesta, pada langit yang muram, pada surya yang bungkam demi sebuah rindu yang menggelora. Namun yang terlontar dari bibir yang menahan getar bisikan parau yang hanya terdengar oleh hati. “IBU, aku pulang.”
Puas memandang samudera, kami meninggalkan pantai kembali ke kendaraan. Aneh, langit mulai tersenyum dan surya pun turut mematut diri. Dari balik kaca mobil yang perlahan beranjak ke jalan raya, saya kembali memandang jauh ke ujung samudera. Hati perlahan mulai tenang, gelombangnya sedikit terkendali,”aaah IBU, kan kubawa rindu menemuimu di bukit.”

Matahari telah berwarna jingga di garis batas laut …..
Keumala berlari ke sana kemari, menyusuri pantai berhias warna langit mendekati kelam menjelang malam. Ia terus meneriakkan nama anaknya. Berputar ke sana – ke sini, setiap sudut dihampiri. Rambutnya kusut bercampur pasir-pasir, pakaiannya koyak tersangkut-sangkut karang.
“Cut .. Dek .. dimana kau, Anakku? Cut Dek, taklah kau dengar suara Bunda? Dimana kau, Nak …. Jawablah, Naaak.” Ia meraung kuat-kuat sedahsyat gelegar gunung berapi. Ia hantam pasir putih yang terbasuh riak-riak ombak dengan tangan yang tampak pucat, dingin bak mayat.
Derai air mata tak kunjung berhenti, tubuh letih lunglai tak bertenaga lagi. Pandangannya makin kabur, seakan bumi berputar-putar kencang tak ingin berhenti. Keumalahayati tak tahan lagi, segala seakan lepas kendali. Ia pun kembali tak sadarkan diri. Kini ia benar-benar sendiri. Semua telah pergi …. [Perempuan Keumala, Endang Moerdoepo, hal. 132 – 134]
Antara imaji dan titik sadar hanya terpisah oleh selumbar tipis keraguan. Kendaraan melaju perlahan menyusuri Krueng Raya. Di seberang pelabuhan Malahayati kami berbelok ke kanan menuju Bukit Malahayati, tempat peristirahatan pujaan hati, perempuan elok nan perkasa Laksamana Keumalahayati.
Mampang, awal April 2013
Tanda waktu berpijak pada pk 23, mata ini tak henti memandangi perempuan hebat yang duduk di seberang meja. Kenapa sang waktu berlari sangat cepat? Obrolan susah untuk dihentikan namun harus dipaksa demi rindu tetap terjaga. Tangan terentang berbagi pelukan hangat,”I love you, Ibu.”
Sebuah catatan perjalanan untuk ibu Endang Moerdopo, penulis novel sejarah Perempuan Keumala yang telah menyengat rindu, menginspirasi jiwa, mengobarkan semangat membangun mimpi menyusuri jejak Laksamana Malahayati. Terima kasih telah menemani bertualang lewat pesan-pesan singkat yang terangkai sepanjang perjalanan I Love Aceh. Sembah syukurku padaNya, untuk perjumpaan dan persahabatan indah yang terjalin. Demi masa! [oli3ve]
narasi yang memikat. sungguh senang bisa membaca banyak tulisan di blog ini.
terima kasih mas Yusran, silahkan datang kembali *pakai gaya mbak-mbak supermarket 😉 *
mba itu benteng pengintai pada masa Jepang, bukan gabungan dari Indrapatra, hehehe 😀
o ouuuww, gitu ya? thx ya Aulia, sudah diganti
ingin hati segera kembali ke negeri Nanggroe menjadi penasaran untuk ngintip sejarah bentengnya hahaha
Habis bisa dipastikan disepanjang pesisir timur Aceh pasti terdapat benteng Jepang, pernah dulu kami menyusuri benteng di Bireuen dan Lhokseumawe. Keadaan lumayan ngeri 😀
Ini salah satunya di Bireuen dan kini sudah ditutup lagi, jadi tidak berani utk melihat lagi. Pokoknya kalau wisata ke benteng2 itu pasti adu nyali 😆
adu nyali? sepertinya kalo ke benteng perlu mengajak gadis kecil penjaga benteng yang kita temui di benteng Sultan Iskandar Muda deh 😉
hehehe, jadi teringat si adik itu kecil dan lantang suaranya 😀
gadis cilik itu menginspirasi ide yang menari-nari di kepala melihat senyumnya di bawah terik mentari 😉
Bentengnya cuma tersisa segitu ya Mbak Olive ? sayang yaa…
iiih itu narasi Perempuan Keumala makin bikin penasaran… 🙂
iya bu Seno, tapi konon kalo lagi gak pasang kita bisa melihat reruntuhan kejayaannya. kalo yang Indrapatra masih kereeen, sempat ikut ptd ke banten lama gak bu? nah, Indrapatra masih “utuh” kayak Speelwijk
sing sabar ya bu, mohon maaf Perempuan Keumalanya baru akan memulai perjalanan ke kantor ibu esok. selamat membaca, semoga menjadi inspirasi jelang hari Kartini, salam dari penulisnya
Oh.. jd mesti nunggu air surut dulu ya baru bisa lihat lbh banyak lagi.. Iya aku ikut kan PTD yg ke Banten lama, jd Indrapatra semacam itu ya masih bisa dilihat reruntuhan sisanya.. keren ya..
Ok Mbak Olive.. tenang aja.. sabar menanti koq, makasih banget.salam juga buat Mbak Penulisnya..
ada info update, ternyata yang kelelep itu adalah benteng pengintai jepang. kalo Indrapatra agak ke sanaan dikit di pinggir pantai juga gak kelelep bu, hanya sebagian pelatarannya saja yang jadi seperti rawa gitu.
dulu waktu di Aceh ,gak sempat ya main ke sana?
Ohhh gitu hihi, ada update info segala.. thx updatenya
enggaa.. itulah yg aku sesali, wong di sana kerja ..ekrja dan kerja.. maennya gak jauh2 dr lhokseumawe..
nice post Mbak Olive 🙂
terima kasih, ikutan gabung donk di track 😉