Tak banyak yang mampir ke Warkop Elim selama saya duduk menyeruput secangkir kopi susu yang disajikan Nenek Lanny, pemilik kedai pagi itu. Kedai sederhana yang dibuka di lantai bawah rumah tua peninggalan orang tua Nenek Lanny yang terjepit di antara bangunan hotel, rumah toko, dan kedai kopi kekinian di Jl Penghibur, Makassar. Di rumah yang merangkap tempat usaha itu, perempuan bertubuh kecil dengan badan yang mulai bungkuk itu tinggal sendirian.
Menurut Nenek Lanny, duluuu .. sewaktu dirinya masih remaja, di kedai yang mulai menyempit itu, ayahnya yang pandai memasak; membuka rumah makan. Pengunjungnya ramai. Usaha sang ayah terus berkembang sehingga mereka pun harus mempekerjakan beberapa orang karyawan untuk membantu pekerjaan sehari – hari.
Pagi itu saya duduk di sebuah meja kecil yang menempel ke dinding putih lusuh. Di bagian atas meja itu terkunci rapat – rapat bingkai jendela dengan gerendel yang sudah karatan. Sembari mendengar cerita Nenek Lanny, pikiran saya melayang – layang membayangkan meja – meja kayu yang ada di ruang itu tak pernah sepi dengan pelanggan yang bergantian datang dan pergi setelah menikmati makanan pesanan mereka.
“Kau lihat warung kopi di seberang itu? Dulu itu salah satu toko sepatu yang terkenal di Makassar. Lama mi tutup, sekarang dijadikan warung kopi mi sama anaknya. Tidak ramai juga, yang datang teman – temannya ji kuliat.“
Obrolan kami terputus ketika seorang lelaki muda dari perusahaan distribusi barang melongok dari pintu menanyakan persediaan barang yang ada di kedai. Nenek Lanny menolak untuk mengambil barang baru karena persediaan barangnya yang tak seberapa masih ada. Selain membuka kedai kopi, Nenek Lanny memanfaatkan lemari – lemari tua yang ada di ruang itu sebagai etalase untuk barang kelontong. Tentu saja, barang yang dijual tak sebanyak gerai kelontong moderen berpenyejuk yang buka pintu di kiri kanan kedai Nenek Lanny. Kenapa dirinya masih mempertahankan toko kelontongnya di tengah menjamurnya gerai kelontong moderen?

Dari Warkop Elim, saya menyeberang jalan mencari jalan kecil menuju Dermaga Kayu Bangkoa. Jalan ke dermaga yang banyak menyimpan cerita perjalanan penghuni pulau – pulau kecil dari Kepulauan Spermonde melabuhkan kapalnya saat menyeberang ke Makassar itu terjepit di antara bangunan – bangunan beton yang berdiri rapat – rapat. Jika tak awas, jalannya pasti terlewat. Teriakan daeng becak yang bergerombol di depannyalah yang menyadarkan langkah untuk berjalan pelan – pelan ke depan gerbang Dermaga Kayu Bangkoa.
Aroma laut bercampur bau busuk sampah yang bertumpuk di bawah kaki dermaga merebak di sepanjang jalan kecil itu. Hari sudah beranjak siang, aktifitas di dermaga mulai longgar. Manusia yang turun naik kapal juga mulai berkurang, namun jalan menuju dermaga yang dipadati lalu lalang sepeda motor membuat saya harus sebentar – sebentar merapatkan badan ke dalam tenda penjual ikan dan buah. Beberapa lelaki mendekat, menawarkan sewa kapal menuju pulau – pulau di seberang. Saya menepisnya dengan senyum dan menjelaskan tak hendak menyeberang. Satu tawaran ditampik, lelaki lain mendekat, dipikirnya tawaran lelaki sebelumnya terbentur pada tarif.
Kepulauan Spermonde adalah gugusan pulau – pulau di selatan Selat Makassar yang dari udara akan terlihat seperti sperma berkeliaran di permukaan laut saat pesawat mendekati Bandar Udara (Bandara) Hasanuddin, Makassar. Beberapa pulau di sana menjadi destinasi wisata bahari yang banyak dikunjungi pejalan serta peneliti baik lokal maupun mancanegara seperti Pulau Samalona, Pulau BarrangĀ Lompo, Pulau Barrang Caddi, Pulau Lumu’ – lumu’, Pulau Bone Tambung, Pulau Lanjukkang, dan Pulau Kodingareng Keke.
Dermaga Kayu Bangkoa tak seramai Pelabuhan Paotere tempat kapal – kapal phinisi membuang dan mengangkat sauh selama ratusan tahun yang menjadi nadi bahari Kerajaan Gowa Tallo. Namun riak kehidupan di kedua pelabuhan itu tak jauh berbeda.

Makassar pada siang hari memaksa diri untuk mencari tempat beristirahat dan mengisi perut setelah seharian berjalan menyusuri pinggir pantainya. Di sekitar pelabuhan Paotere terdapat warung – warung ikan bakar untuk bersantap. Ikannya boleh pilih dan beli dari tempat pelelangan ikan tak jauh dari pelabuhan. Tahu donk rasanya menyantap ikan bakar panas – panas yang dicocol ke dalam sambal? Nikmatnya itu terasa saat keringat bercucuran kala sesuir dua suir Baronang atau Cepak Bakar dengan Cobe – cobenya mendarat di lidah. Setelah kenyang, Museum La Galigo dan ruang – ruang di Fort Rotterdam manjadi pilihan bersantai.
Hari itu, sebelum kembali ke hotel untuk beristirahat, saya menutup perjalanan dengan secangkir kopi hitam di Rotterdam Coffee, gerai kopi kekinian di samping Fort Rotterdam. Meski kopi bukanlah kuliner khas Makassar, lewat secangkir kopi saya mencoba menyusuri dan merangkai jejak – jejak tinggalan masa di kota Daeng.
Menuliskan kembali perjalan tahun – tahun yang telah berlalu, membangkitkan kerinduan untuk menyusuri kembali jejak yang tertinggal di kota Daeng. Kebetulan sekali, di awal Mei mendatang ada kegiatan literasi tahunan Makassar International Writers Festival (MIWF) di Fort Rotterdam. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui kan?
Sedikit berbeda dengan perjalanan sebelumnya, untuk perjalanan ke Makassar kali ini saya ingin melakukan perjalanan memanjakan diri. Makassar sangat mudah digapai dari Jakarta. Dalam sehari, ada banyak penerbangan yang dijadwalkan tiba di Bandara Hasanuddin. Pilihan waktu terbang tinggal mencocokkan dengan jadwal saja.
Setelah mengintip harga tiket penerbangan Jakarta – Makassar yang tak jauh dari jadwal MIWF 2018, membandingkan harga kamar di bakal tempat menginap; saya memutuskan untuk membeli paket pesawat hotel Traveloka. Harganya jauh lebih murah dan langkahnya pun tak ribet.
Serupa dengan memesan tiket perjalanan, setelah masuk aplikasi Traveloka; pilih tanggal perjalanan, tentukan tujuan, dan cari hotel yang lokasinya tak jauh dari lokasi MIWF lalu lanjutkan proses pemesanan tiket dan hotel dalam sekali pemesanan. Bayarnya gimana? Cukup sekali juga! Pada proses pembayaran, pilihlah metode pembayaran yang nyaman di kantong. Hemat waktu pencarian kan ya?
Yang mau ke Makassar, bolehlah mencocokkan jadwal. Agar tak penasaran, buka saja aplikasi Traveloka, cek paket penerbangan dan hotel di Makassar pada 2 – 6 Mei 2018 mendatang. Mana tahu kita berjodoh tuk berbagi cerita perjalanan Makassar.
Selain ke MIWF 2018 dan berkeliling di sekitar Makassar, pada perjalanan ini, saya pun ingin berkunjung ke Maros memenuhi hasrat penasaran pada Rammang – rammang dan Leang – leang yang menyimpan jejak perjalanan kehidupan manusia di bumi Sulawesi.
Tentu, secangkir kopi susu Nenek Lanny tak akan terlewatkan di pagi hari. Kopi susu rumahan dengan rasa tempo doeloe yang tak membuat tangan merogoh isi dompet dalam – dalam, namun cerita yang merangkainya membuat rasa dan nilainya tak bisa dibandingkan dengan secagkir kopi yang sama di kedai kopi berpendingin, saleum [oli3ve].
Ai juga kalo beli sekarang tiket ma hotel langgsung, lebih murah jatohnya š
Senang sekali membaca blog ini. Berasa lagi baca cerita di novel. Salam kenal Mba š
Terima kasih sudah mampir, salam kenal juga.