Pada awal 1930, di Toraja, ditemukan banyak penderita kusta serta warga masyarakat yang menunjukkan gejala penyakit kusta. Belum adanya tempat perawatan khusus untuk penderita kusta membuat Dr S.P.J. Esser – dokter misionaris yang bertugas di Toraja saat itu – menerima mereka untuk berobat dan dirawat di Elim satu – satunya rumah sakit di Rantepao pada masa itu. Kehadiran mereka membuat orang enggan untuk datang berobat karena takut tertular meski dokter Esser memmisahkan mereka dengan membuatkan paviliun khusus kusta di samping rumah sakit. Melihat bertambah banyaknya warga yang terkena penyakit kusta, J.J.J. Goslinga, dokter misionaris Belanda yang menggantikan dokter Esser, mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk memperhatikan masalah serius ini. Sebuah pusat perawatan kusta kemudian dibangun di pinggir kota, di atas tanah milik gereja di Batulelleng.

“Eh, kenapa saya tak ingat mengajak kamu ikut ibadah di Batulelleng, ya? Kemarin, saya pimpin ibadah tahun baru di sana.”
Tak gampang mengajak seseorang bertandang ke tempat yang bagi sebagian besar masyarakat Toraja ini masih dipandang sebagai tempat yang sebaiknya dihindari. Pertemuan dengan Tante Ery di hari kedua tahun 2018 membangkitkan kembali kisah tentangnya setelah dua puluh tahun lebih tak pernah lagi mendengar kabar dari sana.
Batulelleng bukanlah tempat yang diidam – idamkan untuk dikunjungi ketika bertandang ke Toraja. Setiap namanya disebut yang terbayang adalah sebuah perkampungan kusta yang tersembunyi di belakang taman peristirahatan luas dengan nisan berhimpitan dan lengang. Namun hal itu tak berlaku bagi Pdt Henriette T. Hutabarat – Lebang. Sudah empat tahun baru berturut – turut, Tante Ery – sapa akrab saya pada perempuan Toraja yang juga Ketua Umum PGI ini – memilih mengawali tahun barunya, mengisi pelayanan ibadah Tahun Baru bersama komunitas yang acap dilupakan di Jemaat Batulelleng .

Sepanjang catatan sejarah, kusta atau lepra adalah salah satu penyakit tertua yang sangat ditakuti di dunia. Penyakit yang muncul ketika bakteri Mycobacterium leprae menggerogoti saraf tepi dan kulit penderitanya ini, pernah menempatkan Indonesia sebagai negara endemik kusta terbesar ketiga di dunia setelah India dan Brazil. Kini, meski Indonesia telah dinyatakan bebas kusta sejak tahun 2000, selalu ada kasus kusta baru yang muncul.
Stigma yang berkembang di masyarakat menyebabkan penderita penyakit menular yang penularannya tak semudah yang dipikirkan ini, menarik diri dari lingkungannya bahkan enggan untuk berobat. Dulu, banyak anggapan yang bergulir di masyarakat kusta adalah penyakit kutukan. Bahkan para pakar kesehatan pada 1897 di kongres internasional di Berlin pernah bersepakat, kusta tidak dapat disembuhkan! Ternyata perkembangan dan kemajuan teknologi perlahan menghapus pandangan itu meski tak seutuhnya hilang karena sampai hari ini, mereka yang sakit bahkan yang telah dinyatakan sembuh dan terbebas dari kusta masih saja dikucilkan dari keluarga dan masyarakat.
Kondisi ini pulalah yang terjadi di Toraja. Saya teringat satu waktu semasih duduk di sekolah dasar. Bersama Evi dan Ute, dua orang cucu Fritz Basiang, kami diam – diam menguntit laju sepeda Opa Basiang yang berangkat ke kantornya di Batulelleng. Sampai di mulut kampung, kami mencoba mengendus jejak roda sepeda Opa Basiang yang hilang di rimbun tanaman bambu yang tumbuh di sekeliling pusat perawatan kusta Batulelleng. Waktu itu, perjalanan ke Batulelleng masih sepi, tak seperti sekarang kiri kanan jalan sudah disesaki rumah – rumah yang tumbuh dari sawah – sawah di tepi jalan. Kami berjalan mengendap – endap ke tengah kampung menahan takut melihat muka – muka asing yang bersesakan menyembul dari jendela kecil rumah – rumah berbentuk tongkonan (= rumah adat Toraja). Tak tahan, kami pun berteriak,”Opaaaa … Opaaa!” hingga Opa Basiang muncul dengan sedikit mengomel melihat “kenakalan kecil” kami menguntitnya dan berteriak – teriak di “hutan” Batulelleng.

Fritz Basiang adalah asisten dokter kesayangan dokter Simon – dokter misionaris sebelum dokter Esser – dan dokter Goslinga. Sewaktu dokter Simon menyelesaikan tugasnya di Toraja, Opa Basiang yang saat itu sedang melanjutkan pendidikan paramedis di Batavia (sekarang Jakarta) diajak serta ke Jerman. Ketika Hitler mulai mengasah taringnya, Opa Basiang kembali ke Toraja dan menjadi asisten dokter Goslinga. Dirinya pun diberi tugas untuk masuk keluar kampung mendata penderita kusta hingga pelosok Toraja untuk dipindahkan dan dirawat di Batulelleng.
“Oh, di atas itu gereja tertua kedua di Rantepao, dibangun Belanda pada tahun 1930an setelah Gereja Besar dibangun,” suara lelaki membuyarkan lamunan saya. Gereja Besar yang dimaksud adalah Gereja Rantepao yang berdiri di tengah kota Rantepao. Saya menyorongkan tangan memberi salam lelaki yang kemudian menunjukkan jalan menuju gereja. Lelaki itu berbagi cerita, ia lahir dari orang tua penderita kusta. Ayah dan ibunya menjadi penghuni tetap Batulelleng. Mereka memilih tak kembali ke keluarga dan kampung halamannya meski sudah sehat karena merasa lebih nyaman berada di sini. Lelaki itupun tumbuh, besar, dan bersiap memasuk usia senjanya di tempat ini.

Berjalan sedikit ke utara, sebuah papan penanda berdiri di bawah kaki tangga menuju gereja. Pada papan itu terbaca tulisan Gereja Toraja (Anggota PGI) Jemaat Batulelleng, Klasis Rantepao. Langkah saya tertahan oleh kehadiran tiga ekor anjing penjaga kampung. Salakan mereka mendorong seorang perempuan mendekat. Ia menghalau ketiga anjing itu agar menjauh. Perempuan bertubuh mungil itu muncul dari lorong kecil di belakang tongkonan, menyorongkan kardus kecil dalam rengkuhannya. Indo’ Musa, panggilan perempuan itu, kakinya tampak berbeda. Sedikit lebih pendek, dibungkus benda semacam plastik, serupa kaki palsu. Mata saya tertambat pada pangkal ruas jari tangannya yang dengan perlahan berusaha disembunyikan ke balik kardus. Tak tampak satu pun jari yang tumbuh di sana. Ia terlihat sedikit kesusahan menggendong kardusnya. Tatapan kami beradu. Untuk menghilangkan rasa risih yang muncul di wajahnya, saya mengajaknya berbincang hal – hal sederhana dan bercanda. Dari kardus perempuan itu, saya mengambil sebuah gantungan kunci berbentuk salib yang dibuat dan ditawarkannya sebagai buah tangan.
Bangunan gereja di Batulelleng ini pun bentuknya serupa tongkonan mungil. Sebuah velk mobil bekas menggantung di sisi kanan pintu masuk, berfungsi sebagai lonceng untuk memberi kabar jam ibadah pada umat. Di dalam ruang ibadahnya terdapat 14 bangku panjang untuk jemaat yang disusun dalam 2 lajur menghadap sebuah mimbar kecil di depan yang posisinya sedikit lebih tinggi. Dulu, para guru injil yang ditugaskan untuk melayani ibadah di Batulelleng sering mencari – cari alasan agar terbebas dari pelayanan di tengah penderita kusta. Mereka pun sering mempersingkat ibadah agar lebih cepat kabur dari tempat itu.
Kini, nama Batulelleng tak hanya disematkan pada pusat perawatan kusta yang ada di sana. Nama itu sudah melekat sebagai nama salah satu wilayah di Kecamatan Rantepao, Kabupaten Toraja Utara. Pusat perawatan kusta yang dulu masih berdiri di sana, telah berganti nama menjadi Rumah Sakit Kusta Batulelleng dengan tambahan bangunan baru. Dari Batulelleng telah lahir generasi – generasi baru yang sehat dan memiliki potensi diri untuk berkarya di tengah masyarakat.

Kusta atau lepra yang tak cepat diketahui dan diobati dapat meninggalkan cacat pada penderitanya. Karena itu perhatian dan dukungan dari keluarga, lingkungan, dan petugas medis sangat membantu proses penyembuhan pasien dan menghindarkan dari cacat yang menetap. Dari jendela gereja yang sedikit terkuak, saya menaikkan doa dan harapan, semoga kita senantiasa bisa hidup berdampingan dalam damai dengan mereka yang sering terpinggirkan, saleum [oli3ve].
Referensi:
- http://www.who.int/lep/transmission/en/index2.html
- A Toraja Pilgrimage: The Life of Fritz Basiang, DR. Roxana Waterson
- Menjembatani Jurang, Menembus Batas. Komunikasi Injil di Wilayah Toraja, 1913 -1914, DR Bas Plaisier
Saya sebagai sala satu warga batulelleng, bertrimakasih atas artikel ini, tak banyak orang yang mau peduli dengan Batulelleng apalagi klo mendengar Batulelleng, yang ada di benak mereka adalah apa yang ada di batulelleng yaitu suatu tempat lokalisasi orang Kusta, mendengar nama itu waktu saya masih sekolah seperti kampung yang terbuang dari suasana keberadapan, namun seiring waktu ini sudah tergeser dengan zaman dan situasi yg ada, bahkan sampai saat ini banyak orang menginginkan Batulelleng, dan orang yg pernah mengalami dan sedang mengalami kusta seolah tidak terpikirkan lagi dan seolah diterlantarkan ditengah-tengah hiruk piruknya segih kehidupan masyarakat, seiring itupun kehadiran seorang Pendeta khusus untuk melayani di batulelleng yg sebagian besar adalah mayoritas kristiani membawa berkat tersendiri bagi mereka sebagai penderita Kusta beserta dengan anak-anak mereka, Pun di bantu dengan kehadiran Perhimpunan Mandiri Kusta Indonesia ( PerMaTa) cabang Toraja utara untuk memperjuangkan hak dan Penghapusan Sel Stigma dan Diskriminasi kepada mereka yang selama ini Seolah-oleh sudah berakar dan tertancap jauh, sehingga kebebasan mereka untuk bersosialisasi bergaul dan mencari nafka sendiri tidak dibatasi oleh kedua hal ini, sehingga tidak selalu dikatakan mereka hanya hidup dengan tangan yang dibawa tapi mereka juga bisa bekerja dan hidup seperti orang lain, tinggal saat ini siapa yang mau peduli dengan soal ini, satu motivasi yang luara biasa adalah kehadiran Ibu Pdt. Ery. Sebagai ketua PGI dalam 4 tahun dalam pelayanan ditahun baru sangat memberi semagat kepada mereka, semoga banyak yg peduli dengan mereka. Amin