Gimana rasanya menerima kabar kepergian orang yang kamu sayangi, dikirimkan sendiri olehnya melalui WhatsApp?
Pernahkah kamu menerima gambar diri terakhir orang yang kamu sayangi terbaring kaku di dalam kotak putih yang dihiasi kain putih berenda-renda, dikirimkan sendiri olehnya?
Lalu, bagaimana bila yang mengirimkan pesan itu adalah dirimu?
SHOCK
Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya. Ke mana aku dapat pergi menjauhi rohMU, ke mana aku dapat lari dari hadapanMU? – [Mazmur 139:6-7]
Hujan meninggalkan jejaknya pada pucuk-pucuk rumput di sisi perhentian halte TransJakarta (TJ) Monas, berkilau ditimpa cahaya lampu kendaraan yang melintas satu-satu di sepanjang Thamrin. Sudah hampir 30 menit aku berdiri, duduk, berdiri (lagi), duduk (lagi), berdiri (lagi) dan berjalan-jalan di dalam halte tapi bus yang kunanti tak jua tampak batang hidungnya. Perhentian Monas masih terang benderang. Di depanku, beberapa calon penumpang pun masih bersetia menanti bus. Sebagian besar laki-laki, hanya aku dan seorang yang duduk-duduk di ruang sebelah dengan arah berlawanan yang perempuan.
“Ragunan 24 jam, mbak,” kata seorang petugas yang mondar-mandir menenteng handy talkie di tangan kanannya sembari mengawasi pekerja yang sedang mengecat dinding-dinding halte. Sepertinya didandani untuk menyambut hari kemerdekaan.
Hari sudah sangat larut, kutengok tanda waktu yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Jarum panjangnya menunjukkan 30 menit lagi menuju pagi ketika sebuah ambulans lewat. Suara sirenenya memecah senyap, membangkitkan sepenggal rasa yang selalu saja berusaha memanjat dari tumpukan kenangan paling bawah acap kali sirene menggegap. Ada ragu yang meriyap dari dalam hati. Rasanya enggan untuk pulang, ingin berlari ke satu tempat yang aku sendiri tak tahu ke mana? Selintas teringat padamu, pada pandangan matamu dari ruang kaca tempatmu terbaring siang tadi. Apa kabarmu malam ini? Setelah berunding dengan hati dan pikiranku sendiri, kuputuskan untuk keluar dari halte, menyeberang jalan dan menghentikan sebuah taksi yang berjalan mendekat.
“Mampang, pak.”

Thamrin – Sudirman – Gatot Subroto – Mampang Pratapan masih ramai meski kendaraan tak rapat-rapat seperti biasanya. Dua puluh menit saja berkendara dari Monas, aku sudah sampai di depan gerbang yang telah digembok. Usai mandi kilat, minum susu hangat dan membalur tubuh dengan minyak kayu putih; aku bersiap untuk tidur. Oh, tentu, tak lupa doa singkat kurapalkan khusus untukmu. Masih sama seperti doaku waktu bangun pagi tadi, dan doa yang kami serukan sembari bergandengan tangan di ruang tunggu Dharmais siang tadi.
Sebelum beranjak mematikan lampu kamar, aku mengirimkan pesan terakhir ke Nyit mengabari diriku sudah sampai. Handphone (HP) siap-siap kusingkirkan dari pembaringan ketika sebuah pesan terlihat sedang ditulis di sebuah grup. Aku menanti dengan cemas hingga si pengirim pesan selesai menuliskan pesannya, lalu membukanya cepat-cepat dengan jantung yang berdegup kencang-kencang.
Ade sudah nggak ada yach pk 12:10 rencana dibawa ke rumah Ade.
Oh maaaaaaaak!!! Secepat inikah dirimu harus pergi? Pesan yang dikirimkan dari namamu ke grup pada Minggu 14 Agustus 2016 pk 00:20, membuat bendungan air yang kutahan-tahan di rumah sakit tadi, jebol juga. Air deras menerjang, membasahi bantal yang sengaja kupakai untuk menutup muka agar isakku tak membangunkan tetangga. Aku tahu pesan itu dikirimkan oleh kak Olla, kakakmu, yang semenjak Kamis malam memegang HP yang tak pernah kau percayakan kepada orang lain.
Di Dharmais Sabtu siang itu, aku masih menumbuhkan harap dirimu akan baik-baik saja. Paling tidak, bisa bertahan untuk mewujudkan mimpimu berkumpul dan piknik bersama. Ya, kumpul – kumpul yang sudah lama tak pernah lengkap karena masing-masing sibuk berkegiatan. Harusnya 7 Agustus kemarin kita berkumpul di rumahmu, di rumah mungil. Rencana yang kamu minta untuk ditunda karena dirimu kemping di rumah sakit (lagi). Sehabis kemping cukup lama di Carolus pada November hingga Desember lalu, beberapa kali dirimu harus beristirahat di rumah dan rumah sakit. Kegiatan jalanmu pun harus direm dulu, tak boleh terlalu capek. Jadilah beberapa kali acara kumpul-kumpul kita lakukan di rumah sakit.
Waktu berlalu sangat cepat, seperti sengaja diputar agar berlari kencang. Pikirku baru kemarin kita bersua, berjalan bersama, bercanda, tertawa, berbagi cerita, susah dan senang. Kini semua hanya tinggal kenangan yang satu-satu berlomba untuk unjuk rasa, mengingatkan pada jejak-jejak perjalanan yang pernah kita lalui bersama.
Kematian selalu meninggalkan rasa sesak. Ternyata kita makhluk yang rentan pada kenangan – [Sha Ine Febriyanti]
Sore ini kepalaku masih pening. Pening yang mulai terasa dari kemarin sore sekembali mengantarkanmu ke tempat peristirahatan terakhir. Mungkin karena kepanasan, mungkin pula karena rasaku masih terbang-terbang tak karuan. Aku teringat pesan pendeta di ibadah pelepasanmu, setiap yang bernapas satu saat pasti akan mati. Tapi kematian orang yang percaya di dalam Tuhan YESUS, tak akan pernah sia-sia. Dirimu telah tenang, tinggallah kami yang hidup yang masih harus berjuang dan mencoba untuk hidup dan berlaku baik-baik mengikuti kehendakNYA (hal yang tak mudah, kamu tahu itu).
Meski telah terbiasa menyusuri jejak sunyi, mengantarkanmu ke tempat peristirahatan dan meninggalkanmu di sana dalam sepi, berat rasanya. Namun, setiap hati harus kembali ditata untuk menerima semua yang telah digariskan untuk dijalani. Hidup ini milikNYA, napas ini dariNYA, dititipkan sesaat hingga waktuNYA kita harus kembali menghadapNYA.
Membaca namamu tertulis pada papan putih berbentuk salib, mengingatkanku pada salib berwarna sama yang sering kutengok bila mampir ke Surabaya.
“Kuul, titip doa buat Opa ya,” pesanmu selalu bila aku berkabar akan ke taman peristirahatan tempat Opamu dan kawan-kawannya beristirahat. Sering sekali aku tersenyum sendiri bila mengingat itu. Mencari nomor pembaringannya, lalu duduk diam di depannya beberapa saat. Serasa berkunjung ke tempat opa sendiri, hal yang sebenarnya jarang kulakukan hahaa.
Terlalu banyak kenangan yang terangkai dalam 6 (enam) tahun ini, di setiap perjalanan seru dan penuh drama yang kita ciptakan, piknik-piknik dadakan hanya karena dirimu ingin menyiapkan masakan spesial untuk sahabat-sahabat yang engkau sayangi. Kenangan yang akan selalu tersimpan di hati, mengingatkan pada sebuah hati yang tak lelah berbagi kasih tanpa pernah mengeluh karena sakit hati.
Aku tahu, dirimu sudah tenang. Dirimu sudah bebas merdeka. Dirimu sudah tak akan pernah merasakan sakit lagi. Satu hari kita akan bertemu kembali di keabadian, bersama menjadi pemuji di Surga. Bukankah para pemuji yang dipersiapkan terlebih dahulu untuk memenuhi Surga dengan puji-pujian? Selamat beristirahat sahabat terkasih, terima kasih telah menjadi kakak yang baik dan mengisi perjalanan hidup ini, saleum [oli3ve].
Turut berdukacita Mbak… Semoga keluarga diberi kekuatan dan penghiburan 😦
Turut berduka cita mbak. Usi blogget juga kah mbak?
😢 Turut berduka mba Olive, yakin saja dia telah damai bersamaNya. Kenangan itu sungguh menggigit ya…
Turut berduka cita kak olive … Semoga keluarga yg di tinggalkan di beri kekuatan, keikhlasan dan ketabahan
Betul sekali Mba, kematian dari orang terdekat..sangat banyak meninggalkan kenangan dan sekaligus rasa sesak yang dalam dan berkepanjangan. Turut berduka cita Mba..