Pukul sebelas siang itu ketika saya berjalan dari depan Stone Church dan berpapasan dengan Mama Lili dan Mama Ca, dua perempuan H’mong di dekat HCM Friendship Monument. Perkenalan yang mendadak serupa pertemuan dengan kawan lama itu, membuahkan kesepakatan. Saya ikut Mama Lili pulang ke rumahnya saat matahari bertengger di puncak kepala. Sebuah keputusan yang menyimpang dari kebiasaan umum karena jadwal trekking yang normal dimulai di pagi hari saat matahari belum muncul. Karena sedang bersemangat, kami pun meninggalkan Xuan Vien Park.
Perjalanan wajar dari pusat kota ke rumah Mama Lili di Hao Thao yang jalannya mendaki gunung turuni lembah, EMPAT JAM! Tiap kali bertemu tanjakan dan napas tinggal satu-satu, inginnya balik badan dan turun ke kota. Lip, koq mauan diajak orang asing berjalan jauh ke tempat yang asing, siang bolong pula? Ketika mencapai tanjakan kesekian, napas saya sudah berat. Lelah. Saya ngedeprok aja di tanah. Badan sudah kuyup oleh keringat. Waktu itu kami baru saja berjalan SATU jam! Tapi, entah kenapa saya percaya saja ketika Mama Lili mengatakan, ini tanjakan terakhir. Memang paling berat, tapi sesampai di puncak ituuuuu – yang tentu saja jauuuuh – jalannya melandai. Percaya deh! Ayo bangun! Nanti, sesampai di rumah saya masakkan daging babi. Wokeeeh!

Mendengar kata makanan dan babi, saya kembali bersemangat. Saya lepas jaket, pakai manset, ganti topi dengan bandana, dan mulai lagi berjalan hingga BERHASIL sampai di tujuan dengan total waktu berjalan 4,5 JAM saja. O iya, itu dipotong waktu untuk makan di kedai makan di tengah jalan karena Mama Lili sudah lapar. Jadi, janji dimasakkan daging babi itu, hanya janji surgaaa 🙂
Semalam, tetiba teringat Mama Lili, pemandu trekking saya di Sa Pa, kota kecil di utara Vietnam yang berdekatan dengan Tiongkok. Saya berkenalan dengan Mama Lili dan Mama Ca yang sehari-hari berkeliaran di sekitar Quang Trong Square, menawarkan jasa sebagai pemandu lokal bagi orang asing yang ingin trekking ke perkampungan etnis minoritas di Lembah Muong Hoa.
Perjalanan menjadi ajang uji kesabaran dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan ketika timbul gesekan dan benturan dengan kawan berjalan. Di perjalanan; ketenangan, kedewasaan, dan sifat kekanakan seseorang akan tampak dengan jelas. Trekking dengan Mama Lili adalah salah satu perjalanan yang meninggalkan kenangan yang dalam. Pada Mama Lili, keluarganya, juga cerita-cerita serunya tentang geliat wisata di Sa Pa. Meski di awal pertemuan kami adalah orang asing, selama tujuh jam berjalan bersama-sama, kami menjadi dekat dan banyak berbagi cerita. Termasuk berdebat seru hingga diam-diaman ketika kembali ke Sa Pa.
Dari Mama Lili, saya belajar bagaimana perempuan H’mong yang cekatan dan tak kenal lelah, lebih sering menjadi motor dan pencari nafkah utama bagi keluarganya. Selain bertani, para perempuan H’mong sedari kecil wajib belajar (dan harus tahu) proses menenun dari mencelup kain hingga menghasilkan sesuatu entah itu dompet, tas, syal, hingga baju untuk dikenakan di keseharian. Kegiatan harian yang dikerjakan dari balita hingga usia sepuh (dan selama masih kuat). Berbeda dengan lelakinya yang lebih banyak tinggal di rumah, sesekali ngojek, dan turun ke sawah bila hatinya sedang ingin.
Perjalanan ke Sa Pa tempo hari adalah perjalanan komtemplasi. Perjalanan untuk lebih lagi mengenal keinginan diri dan belajar untuk lebih berlapang dada ketika bersua dengan kejutan-kejutan yang menaikkan tensi. Sa Pa dengan keindahan alamnya yang sebagian besar belum didatangi, juga warganya yang bersahaja telah memikat hati dan menguatkan tekad; satu hari nanti akan kembali ke sana dan tinggal lebih lama. Seperti janji saya pada Mama Lili ketika kami berpisah sore itu di depan Stone Church. Saya akan kembali dan menginap di rumahnya agar bisa lebih lama bercerita dengan anak juga cucunya. Sore itu kami berpelukan erat sekali, tak peduli dilihatin banyak orang yang berkumpul di Quang Truong Square. Memeluk orang H’mong yang minoritas bahkan menurut seorang kawan berjalan jarang mandi; adalah keanehan. Sore itu, dengan mata basah, saya meninggalkan Mama Lili tanpa mau menoleh lagi.
Traveling Cara Aku, Penting untuk Kontemplasi
Mengawali 2023, saya kembali menjadwalkan untuk melakukan perjalanan kontemplasi selama seminggu. Perjalanan untuk lebih mengenali diri dan mendekatkan diri pada pemilik kehidupan. Perjalanan yang dilakukan untuk merenungkan perjalanan-perjalanan kemarin juga melihat lebih detail pada rencana-rencana ke depan. Meski ada keinginan kuat untuk berjalan ke Vietnam, mengingat tabungan belum cukup, saya memutuskan untuk kembali ke Bandung saja. Kota yang menyimpan banyak kenangan, pun tak terlalu jauh dari Jakarta. Bukankah esensi perjalanan tak tergantung pada jauhnya jarak melainkan makna yang hendak didapatkan?
Ke Bandung mau ‘ngapain Lip?
Saya akan mengawali perjalanan dengan menumpang travel yang berangkat pk 07.00 dari dekat rumah dan tiba di Bandung sebelum hari beranjak siang. Namanya perjalanan kontemplasi, maka destinasi pertama yang akan didatangi adalah TPU Pandu! Sebagai murid yang baik, saya akan ziarah ke tempat peristirahatan coach saya. Sejak dirinya berpulang dua tahun lalu, maka setiap ke Bandung; agenda perjalanan pun bertambah. Kalau sudah di kawasan Pandu, tentu saja tak akan melewatkan untuk mampir ke Ereveld Pandu dan sekitarnya.
Omong-omong tempat peristirahatan, jadi teringat komentar seorang kawan beberapa waktu lalu ketika melihat gambar pertama di awal tahun adalah di kuburan. Kak, kenapa di kuburan terus sih? Kenyataannya memang beberapa tahun belakangan, saya mengawali langkah di tahun baru dengan mengantarkan mereka yang mendahului ke tempat peristirahatan terakhirnya. #LifeYourWay setiap orang punya minat yang bisa saja tak mudah bahkan tak bisa dipahami oleh orang lain. Ziarah, akan membuat kita lebih peka terhadap kehidupan dan (semoga) bisa bersiap menghadapi hari akhir yang sering datang tiba-tiba. Tahukah kamu, tempat paling asyik untuk menikmati bacaan itu di tempat peristirahatan 🙂
Usai dari Pandu, saya akan mencari sarapan sekaligus makan siang yang ada disekitar jalan Riau. Di situ ada banyak tempat makan yang bisa disasar, sebut saja Cici Claypot, Cafe Bali, Kedai Asmara, terus di sekitar Cihapit ada Warung Nasi Ibu Eha, Bakmi Tjo Kin, Ramen Rama, dan masih banyak lagi. Nanti tinggal mengikuti keinginan lidah hendak mencicipi yang mana. Pilihan berjalan merapat ke daerah Riau juga dengan pertimbangan agar mendekat ke Ivory Hotel, bakal tempat menginap di dua malam pertama di Bandung.
Karena ini perjalanan santai, bila belum waktunya check in, saya akan menitipkan gembolan dulu di hotel dan melanjutkan nongkrong di kedai-kedai kopi di sekitarnya. Atau, bila malas keluar lagi, tinggal duduk di Everjoy Coffee & Cafe sembari baca buku. Di sisa hari itu, saya akan lebih banyak berdiam di kamar.
Di hari-hari lain, kegiatan saya pun tidak akan banyak bergeser dari kamar. Karenanya pemilihan tempat menginap juga disesuaikan dengan tujuan perjalanan. Kamar akan menjadi pusat kegiatan .. bermalas-malasan eeh .. bukan, maksudnya hendak menggunakan waktu untuk menyelesaikan beberapa pe-er menulis yang masih menggantung. Selain Ivory Hotel, di hari ketiga, saya akan berpindah ke The House Tour Hotel Midtown. Memilih tempat yang sedikit menjauh dari pusat kota dan mendekat ke daerah Ciumbuleuit. Agar badan bergerak dan tak melulu mengeram di kamar, saya menjadwalkan satu hari penuh untuk berjalan-jalan di alam. Trekking dari Goa Pakar ke Maribaya sepertinya seru. Jika belum sempat lagi trekking di Sa Pa, mengajak kaki berkeliling di Kawasan Dago Pakar atau Punclut pun jadilah. Hari-hari lainnya kembali ke makan, tidur, makan haha.
Sebenarnya, saya pun mengincar The House Tour Hotel Downtown yang tak jauh dari Ivory Hotel. Duh, kamar-kamar yang ditawarkan sangat mendukung untuk membangkitkan mood berkontemplasi dengan kusyuk. Jadi, walau di dua hari terakhir rencananya hendak tidur di rumah, bila sikon memungkinkan, kenapa tidak lanjut staycation? Ups 🙂
Kemudahan dari Traveloka
Dalam melakukan setiap perjalanan, tak bisa dipungkiri bahwa Traveloka menjadi andalan dalam pemesanan tiket transportasi maupun tempat untuk menginap. Kemudahan dalam penggunaan fitur dan fasilitas yang disediakan, sangat membantu pejalan. Karenanya, dalam membuat itinerary perjalanan kontemplasi kali inipun, dari mencari tiket travel dan kereta api juga penginapan; Travelokalah tempatnya.
Sedang berpikir untuk melakukan perjalanan juga? Rencanakan liburan di Traveloka aja!
Ada keinginan lain selama di Bandung?
Ketika membincangkan Bandung, sering banget terlintas lagu Kahitna, Kembali ke Bandung ..
Oh selalu aku ingin
Kembali aku ke sini
Ke Bandung kota yang terindah
Tempat kita berjanji berdua
Menjalin cinta dan mengikat janji
Satu untuk selamanya
Dan di sebuah kafe
Tak sengaja aku bertemu mantan kekasih
Yang punya kenangan indah
Kenangan yang tak kalah indahnya oh Bandung
Hati tak bisa dikhianati. Jalani hidup dengan caramu, jangan ragu dan bingung mengikuti kemauan orang lain #LifeYourWay.
Jadi ingat masa-masa kuliah dulu. Nongkrong siang-siang minum yoghurt di Cisangkuy yang tak jauh dari kampus di antara jam kuliah yang kosong. Sehingga ketika diingat-ingat lagi, hampir semua kenangan itu tak bisa dilepaskan dari urusan perut. Oh, tapi nanti di Bandung saya pun akan menyempatkan untuk menyusuri jejak sejarah di sekitar penginapan dan tentunya wajib untuk duduk tenang di GKI Maualana Yusuf di Minggu pagi. Tempat yang di jaman kuliah, lebih sering menjadi destinasi cuci mata ketimbang kusyuk ibadah hihihi. Nanti bila ingin bersua, kabar-kabari saja. Kapan dan di mana kita akan berjumpa, saleum [oli3ve].
Udah jalan-jalan aja kakak ini
Dan tetap, pilihan utama itu kuburan. Nggak salah manggil Kang Kuburan 😀
hahahaha .. yuk ke kuburan
Ayuk kapan-kapan ajakin, dong.