Kami baru saja naik ke lantai dua Colonial Penang Museum ketika mata saya terantuk pada kotak kaca tempat menyimpan selembar dokumen berwarna kecoklatan yang bikin penasaran, “Alvin, is it an authentic document?” Alvin Wong, lelaki yang menemani saya siang itu, senyum-senyum, ”Take a look at the date on the right bottom,” katanya sambil berjalan mendekat. Saya mengikuti petunjuknya, memicingkan mata, dan membaca lamat-lamat tulisan samar yang ada di sana. “Registered by ordered of the superintendant No. 38 this 28 of day of July 1794? Serius? Ini tulisan tangan Francis Light?”
Gantian Alvin yang kini berdiri di sebelah saya, penasaran mendengar nada suara saya serupa orang yang kenal baik dengan Francis Light, yang namanya tercantum pada dokumen. Francis Light adalah founder father Prince of Wales Island yang sekarang dikenal sebagai Pulau Penang dan George Town. Ia lalu meminta saya memerhatikan bentuk meja marmer tempat mendudukkan kotak kaca penyimpan dokumen, yang potongannya mengikuti bentuk Pulau Penang. Meja itu dibuat di Kolkata oleh C. Lazarus & Co pada 1874. Dengan melihat tahun dari dua koleksi tersebut, dapat ditebak kenapa museum ini menggunakan nama colonial.


Siang itu, Alvin menyambut saya dengan senyum lebarnya di foyer, di samping anak perempuan yang tertidur di sudut ruangan. Selintas, tampak benar serupa seorang anak yang tidur pulas, bahkan bantalnya pun mirip sekali dengan yang asli. Untuk memastikan itu patung, saya minta ijin menyentuhnya. Padat dan dingin. Patung karya seniman Italia, Atelier R. Bigazzi Florence dari abad 19 tersebut, terbuat dari marmer carrara putih. Dulu, orang-orang kaya di Eropa senang membuat patung orang kesayangannya dari marmer carrara. Selain patung anak perempuan itu, ada juga patung perempuan yang vulgar yang dipasang di pemakamannya dan sekarang dipajang di serambi bawah museum. Melihatnya, membawa ingatan pada patung-patung yang sering dijumpai di makam-makam peninggalan Belanda di Indonesia.

Tak jauh dari anak perempuan itu, seekor harimau hitam yang dibuat dari paduan emas, perak, perunggu, dan kuningan; siaga di depan meja kerja buatan Francois Linke (1855 – 1946). Matanya, dari emas. Di seberangnya grand piano berkaki enam yang dipahat seperti kaki harimau dan tempat pedalnya berbentuk kecapi. Di lantai dua, ada sebuah lemari buku sederhana dari jaman dinasti Ming yang cukup diusap-usap untuk membuatnya mengkilap. Tak perlu divernis kan? Kalau tidak salah mencatat, lemari itu terbuat dari kayu huanghuali (?).
Ada begitu banyak perabotan langka yang menarik di sini, yang karena usianya – yang paling muda 40 tahun – ada koleksi yang boleh disentuh, ada pula yang tidak. Bahkan ada yang hanya bisa dinikmati dari jarak tertentu saja. Tak puas rasanya bila hanya berkeliling satu jam saja. Itupun tak banyak memotret karena terkesima oleh cerita Alvin. Walau diberi keluasan oleh Alvin untuk kembali ke ruangan itu memotret usai berkeliling dengannya, saya tak kembali lagi karena ada janji temu yang tak dapat digeser waktunya.


Colonial Penang Museum
Jl. D.S. Ramanathan (Scott Road) No. 7
Pulau Tikus 10350, Penang
Telp +60 4-228 8561
Buka setiap hari : pk 09.30 – 17.30 (cek lagi jadwalnya pasca pandemi)
HTM RM 30 untuk pemegang paspor asing (sudah termasuk pemandu)
Panduan berkunjung ke Colonial Penang Museum
- Sediakan waktu yang cukup agar bisa menikmati seisi rumah dengan leluasa. Waktu yang wajar berkeliling di dalam rumah adalah satu jam. Jika kamu penikmat seni dan sejarah, pasti butuh waktu lebih banyak.
- Pahami tata krama. JANGAN menyentuh benda-benda koleksi museum yang diberi tanda TIDAK BOLEH disentuh ataupun dipasangi pembatas.
- Pengunjung dibolehkan untuk memotret. Namun bila sudah terhanyut dengan cerita pemandu, tangan lupa untuk memegang kamera 🙂 Khusus di lantai dasar, boleh berkeliling lagi sendiri setelah tur dengan pemandu.
- Spot foto untuk eksistensi diri ada di pekarangan. Di antara pilar-pilar Romawi, di atas rumah pohon, atau sekadar duduk di cafe yang dibangun dari batang-batang pohon besar.

Baca juga:
- Ngopi Pagi dengan Francis Light di Pinaon Time Penang Tunel
- Uji Nyali di Terowongan Komunis Muzium Tentera Darat Port Dickson
Saya mengingat sambutan hangat encek dengan kaos rumahan yang longgar, celana pantai, dan sandal jepit di depan tadi, yang melayani di meja penjualan tiket. Sebelum membukakan pintu, kami berbincang sebentar tentang Jakarta. Si encek itu pulalah yang merapikan sepatu yang saya tinggalkan di depan pintu – masuk ke museum alas kaki harus dilepas – dan menyimpannya di rak sepatu di dekat pintu keluar. Encek yang saya pikir staf di museum itu ternyata .. Ma Chin Hwa #duhmaaf Sedang istrinya, Jasmine Tan, saya jumpai saat berkeliling di serambi belakang. Jasmine Tan dan Ma Chin Hwa, suami istri yang di kesehariannya berpenampilan bersahaja. Tak terbayang sama sekali kalau merekalah pemilik koleksi tinggalan masa yang nilainya tak terhingga ini. Sayangnya, lupa untuk bergambar dengan mereka saking semangatnya mengikuti Alvin 🙂
Colonial Penang Museum menempati sebuah rumah besar di Scott Road yang dibangun pada masa kolonial Inggris. Rumah itu dipinjamkan oleh pemerintah Penang kepada Jasmine Tan dan Ma Chin Hwa, pemilik dan pengelola museum. Ada lebih dari 1000 artefak abad 18 – 19, yang dikumpulkan selama 50 tahun dan sebelumnya disimpan di rumah mereka; dipindahkan ke sini untuk dinikmati pengunjung museum yang dibuka untuk publik pada awal 2015. Benda-benda tersebut ada yang dipajang di dalam rumah, ditempatkan di serambi samping dan belakang, ada pula yang diletakkan di pekarangan rumah.

Saya menemukan penanda Colonial Penang Museum secara tak sengaja saat berjalan kaki dari Penang Adventist Hospital (PAH) ke Tropics Eight Suites dengan mengambil rute yang berbeda dengan perjalanan berangkat. Yang awalnya cuma ingin cuci mata melihat rumah-rumah lama juga moderen di kawasan elitnya Penang dengan berjalan sedikit menjauh dari tujuan eh .. malah ketemu tempat keren ini! Kadang, kita perlu sesekali menyasarkan diri di perjalanan untuk mengaktifkan kerja adrenalin demi mendapatkan pengalaman seru 🙂 Hari itu, saya keluar dari museum dengan iringan musik dari telepon radio tua, yang disetel Alvin di serembi belakang. Senang sekali, saleum [oli3ve].
Jadi ini museum yang koleksi dan displaynya dikelola oleh pemiliknya pribadi kak? Luar biasa ya dedikasinya, mulai dari mengumpulkannya -yang tentunya juga berhubungan dengan dana- hingga perawatannya. Apalagi kalau misalnya benda koleksinya adalah semacam dokumen langka yang berumur tua, pasti perawatannya lebih rumit lagi.
Senang deh kembali baca-baca tulisannya kang Olive, meskipun yang ini gak sedalam biasanya tapi rasanya ikut jalan-jalan bareng. Tetap semangat nulis kak 🙂
Kk Bartz bisa ajaaa .. jgn dalam-dalam kak, nanti jadi candu 🙂
Iya nih, keren ya. bisa mengumpulkan semua koleksi itu. Dulu bapaknya pengusaha, tapi tetap aja itu bicara dana yang tak sedikit
Eeaaa 😀
Tapi bagus sih kalau pengusaha mengoleksi benda-benda sejarah lalu dibuat museum kaya gini, daripada dipakai buat yang lain gitu 😀