Setiap orang memiliki alasannya sendiri – sendiri ketika menentukan kegiatan untuk menyambut tahun baru. Seorang sahabat baik punya kebiasaan menyepi selama seminggu, melepas kemelekatan pada benda-benda yang hadir di keseharian pada setiap pergantian tahun dengan bermeditasi. Sepanjang minggu itu, dirinya tak akan bisa dihubungi dan tak akan menghubungi siapapun. Ada pula kawan yang memilih untuk pergi jauh-jauh dari rumah, melanglang seorang diri menikmati perjalanan ke tempat yang baru.
Aku? Ketika ayah ibu masih ada, di akhir tahun aku pasti pulang ke rumah dari natal hingga memasuki tahun baru. Di malam pergantian tahun, wajib doa bersama sebelum berlari keluar ke teras karena suara dar der dor kembang api mulai riuh. Pernah juga aku merencanakan perjalanan di akhir tahun dan meminta ijin ke ayah tak pulang di Desember tahun itu. Tiga bulan sebelum berjalan, hampir tiap hari diingatkan untuk pulang. Dua minggu sebelum natal, ayah pulang ke keabadian. Dulu aku melihat itu sebagai kepulangan yang menyesakkan. Namun di saat bersendiri di kamar, memandangi muka ayah yang tak lagi bisa bercanda, aku menyadari hanya Tuhanlah yang pegang rencana kehidupan kita. Satu yang aku syukuri hari itu, ayah dipanggilNya pulang tanpa rasa sakit.
Kadang, aku merasa lucu jika mengingat kejadian di pagi aku menerima kabar kepergian ayah, aku komplen sama Tuhan, “Tuhan koq gak bilang-bilang? Yaudah, nanti kalau yang satu mau dibawa juga, tolong kasih tahu, ya!” Hari itu, aku mengikat perjanjian dengan Tuhan, akan menjadi anak yang setia dan kembali untuk melayani dengan mengikuti petunjukNya.
Apakah hidup menjadi lebih smooth setelah itu? Yang pasti lebih asyik dan seru. Serupa naik roller coaster! 🙂 Usai ibadah akhir tahun 2016 lalu, bersama beberapa kawan, kami memilih duduk-duduk dan berbincang tak tentu arah di satu kedai kopi, di mal dekat gereja, lalu pulang tidur. Hari itu, kulihat malam pun bergegas pulang ke peraduannya. Sebelum beranjak ke pembaringan, kusetel waktu pengingat agar terbangun di jelang pergantian hari untuk berbincang denganNya. Meski berusaha menjalankannya dengan tekun, kadang aku bisa tidur berkepanjangan tak peduli suara alarm meraung-raung sepanjang pagi. Bila itu terjadi, alasan paling klise yang terlontar .. #human 🙂
Pagi pertama di 2017 disambut dengan suka cita. Bangun dengan menabung harapan-harapan baru tanpa firasat yang mendebarkan rasa sedikitpun. Aku bersiap melangkah ke gereja yang baru beberapa jam kutinggalkan ketika kabar itu menamparku. Kuniatkan untuk tetap pergi mengikuti ibadah awal tahun walau sangat berat untuk memusatkan perhatian. Selepas ibadah, kubuka gawai yang selalu dimatikan di ruang ibadah dan mendapati antrean pesan dan panggilan tak terjawab.
Pulanglah segera!
Cepat pulang!
Di mana?
Kita tak bisa dan tak akan pernah bisa mengatur waktu agar ia datang seturut rasa yang kita inginkan. Meski aku percaya setiap hari itu baik adanya, tak ada yang bisa menebak pada hari apa kamu akan menerima kabar baik dan bilamana kamu akan dikejutkan oleh kabar yang membuat hati lara. Aku sudah membuat rencana untuk pulang di pertengahan Januari tapi berita pagi itu memaksaku untuk mengubah semua rencana yang telah dibuat. Setelah menjawab beberapa pesan yang masuk, aku membuka aplikasi pemesanan tiket daring untuk mencari tiket pesawat sekali jalan ke Makassar.
Meski dalam keadaan urgensi, masih saja terpikir untuk mencari tiket dengan harga terbaik dan murah sesuai dengan waktu penerbangan yang akan diambil. Bukan kebetulan jika beberapa hari sebelumnya aku sengaja menyetel fitur Notifikasi Harga (Price Alerts) pada tanggal-tanggal yang kuincar untuk beberapa rencana perjalanan sehingga sudah ada bayangan perkiraan harga tiket di hari itu.
Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah. – [Mazmur 62:2-3]
Bersyukur. Hanya itu yang bisa kulakukan sepanjang perjalanan pulang dengan penerbangan malam. Bersyukur meski aku masih meraba-raba kondisi adik yang mengalami kecelakaan dan membuatku harus bergegas pulang ke Makassar hari itu juga. Aku harus meyiapkan diri untuk menjumpai keadaan dan kenyataan yang akan menyambut di ruang ICCU, destinasi yang tak akan pernah dicantumkan dalam itinerary perjalanan. Tidak mudah. Ada banyak air mata yang tumpah disertai berbagai praduga yang berusaha mengotori pikiran yang harus digiring menjauh untuk bisa melihat kenyataan dengan hati lapang dan bersyukur.
Baca juga:
Apakah semua menjadi baik-baik saja? Ya, meski jelang akhir tahun, aku kembali harus pulang di luar rencana karena terdesak oleh keadaan. Pengalaman mengajariku untuk tak henti bersyukur dan berdamai dengan keadaan. Ketika damai sejahtera dari Tuhan ada di dalam kita, ialah yang akan menenangkan jiwamu saat diperhadapkan dengan gelombang kehidupan. Kali ini ibuku yang memerlukan perhatian khusus, kesehatannya menurun tajam. Kabar itu aku terima saat aku masih harus menyelesaikan pekerjaan di luar kota dan sekembali ke Jakarta masih ditunggu jadwal pertemuan lainnya.
Di hari terakhir meeting setelah dua hari berturut-turut badanku diajak berdiam di ruangan, kupakai waktu rehat untuk menelepon ibu, berkabar diriku segera pulang. Hari itu juga aku mencari tiket sekali terbang dengan mengambil penerbangan paling pagi ke Makassar. Aku masih mengingat perjanjian dengan Tuhan di hari ayahku berpulang namun tak lagi meminta banyak hal, hanya berdoa dalam hati, ”Jadilah seturut kehendakMu.” Puji Tuhan, Dia memberiku kesempatan menemani ibu di saat-saat terakhirnya.
Aku tak henti bersyukur bisa melewati masa-masa yang mengaduk beragam emosi itu hingga keadaan kembali berjalan normal meski ada yang tercerabut dari kehidupan ini. Tak ada yang terjadi tanpa seijinNYA. Apapun keadaanmu, miliki pengharapan dan jangan pernah berhenti bersyukur, saleum [oli3ve].
Selamat menyambut Tahun Baru kak Olive. Semoga mudiknya menyenangkan. Salam kenal kak Olive.
Terima kasih, mbak Olive. Sharing keintiman mbak Olive bersama orang tua terkasih dan Tuhan Sang Pemberi. Meneguhkan hati setiap kami pembaca.
Salam hangat