Ung Lang: Peristirahatan Mewah Kaisar Khai Dinh


Jempol kaki saya terkejut melihat susunan anak tangga menuju Thien Dinh, menjulang di depan mata. “Thu, berapa anak tangga nih?” Thu, mahasiswi Universitas Hue, kawan berjalan saya hari itu hanya senyum – senyum. “Three times of these,” jawabnya sambil berlalu ke loket pembelian tiket. Seriusssss? Saya masih iseng menghitung jumlah anak tangga itu saat Thu muncul menyodorkan kartu tiket, “Let’s go!” Pergelangan kaki saya masih sedikit kram karena keplitek di Cat Cat Village minggu lalu. Memang tidak sepanjang hari dia mengeluh. Tapi kalau diajak naik – naik tangga yang banyak, bisa jerit – jerit dia nanti malam karena ototnya diberi kejutan – kejutan aduhai. Puji Tuhan, 35 atau 40 anak tangga – maaf kalau hitungnya terlewat atau kelebihan – berhasil dilewati walau sedikit kram untuk sampai diii … tempat tap tiket!! Pintu pemeriksaan tiketnya di atas, jadi harus naik tangga dulu.

Tangga terakhir sebelum 10 anak tangga terakhir 🙂

mausoleum khai dinh
Thien Dinh Palace, tempat yang dituju

Mausoleum Khai Dinh destinasi yang kami tuju setelah sarapan di Thanh Thuy. Tempat peristirahatan yang terletak di lereng Gunung Chau Chu, kurang lebih 10 km di luar kota Hue. Walau sudah membaca sedikit dan melihat – lihat unggahan gambarnya di media sosial sebelum tiba di Hue, tak terbayang kalau untuk mencapai peristirahatan Khai Dinh, harus menapaki banyak anak tangga! Ada yang mengatakan jumlah anak tangga yang harus dilewati dari tepian jalan hingga ke Thien Dinh Palace, bangunan utama di  komplek peristirahatan Khai Dinh; sebanyak 137 anak tangga yang terbagi dalam lima tangga yang menghubungkan lima tingkat pelataran mausoleum. Pada tiap – tiap tangga, kiri kanannya dijaga sepasang naga yang badannya dijulurkan dari atas ke bawah.

Gigi salah seekor naga di Ung Lang
khai dinh tomb
Anak tangga menuju teras Honor Couryard tingkat dua di Ung Lang

Setelah lolos melewati pintu tiket otomatis, kami berjalan ke pelataran yang cukup lega untuk berlalu – lalang di saat banyak orang berkunjung ke sana. Di kiri kanannya terdapat dua bangunan yang saling berhadapan. Area ini dan satu tingkat lagi di atasnya – yang tentu saja dihubungkan oleh 30an anak tangga (lagi) – dinamai Honor Courtyard. Tak ingin kehilangan semangat ‘nanjak, saya melewatkan tawaran untuk mampir ke dua bangunan yang pada masanya adalah rumah para hulubalang kaisar – sekarang, kedua bangunan itu difungsikan sebagai ruang pamer, tempat menyimpan beberapa barang seni peninggalan Khai Dinh – dan mengajak Thu untuk terus naik tangga berikutnya.

Patung hulubalang Khai Dinh

Di pelataran tingkat kedua Honor Courtyard, kami disambut oleh barisan hulubalang yang berdiri berjejer di bawah tangga menuju ke pelataran tingkat ketiga. Mereka berdua puluh, dibagi dua kelompok yang masing – masing terdiri atas 10 orang; siaga di tangga sebelah kiri dan kanan. Di tiap barisan itu juga disertai oleh seeokor kuda dan seekor gajah, simbol dari kendaraan kebesaran kerajaan. Di pojok kiri dan kanan tangga menjulang tugu, sedang di tengah – tengahnya terdapat satu bangunan berbentuk heksagonal tempat menyimpan prasasti yang berisi momen – momen penting di kehidupan Khai Dinh yang ditulis oleh putera mahkota, Bao Dai. Teras ketiga dan keempat berupa selasar pendek untuk meregangkan otot kaki setelah naik tangga dari lantai bawah, sebelum mencapai teras Thien Dinh Palace di tingkat kelima.

Prasasti Khai Dinh

Mausoleum Khai Dinh dibangun pada 1920 oleh Khai Dinh, kaisar ke-12 di wilayah yang dulunya disebut Annam (sekarang masuk wilayah tengah – sebagian selatan Vietnam) semasa dinasti Nguyen memegang kekuasaan di Vietnam dengan Hue sebagai pusat pemerintahannya. Ia lahir dengan nama Nguyen Phuc Buu Dao pada 8 Oktober 1885. Umurnya masih tiga tahun ketika Kaisar Dong Khanh, ayahnya; mangkat. Walau ia adalah putera mahkota, ia tak serta merta menggantikan ayahnya. Ia dan ibunya bahkan harus diasingkan dari istana dan menjalani kehidupan sederhana di pinggiran Hue. Buu Dao dibesarkan oleh ibunya juga ibu tirinya (permaisuri Dong Khanh) dengan dibekali pendidikan dasar khususnya membaca, menulis, dan pengetahuan akhlak. Di usia remaja mendapat gelar Pangeran Phung Hoa.

Tempat peristirahatan Khai Dinh

Pada 18 Mei 1916, Phung Hoa diangkat menggantikan kaisar sebelumnya yang digulingkan oleh Prancis. Ia diharapkan dapat menjadi pemimpin yang membawa damai dan menciptakan kesimbangan untuk kemajuan negerinya sesuai arti nama penobatannya, Khai Dinh. Kenyataannya, dari banyak tuturan yang sering didengar tentang perjalanan hidupnya ketika berkunjung ke peristirahatannya; selama 8 (delapan) tahun pemerintahannya, ia lebih patuh pada Prancis sehingga dijuluki Kaisar Boneka. Ia mendapat banyak sorotan dari tokoh pergerakan baik dari dalam maupun dari luar Vietnam  termasuk dari tokoh revolusi Vietnam, Ho Chi Minh.

Ruang tempat meja pemujaan di Thien Dinh
Meja doa

Di antara kritikan itu, ada segelintir pengamat yang memberinya pujian bahwa Khai Dinh adalah kaisar yang pemilih dan menyeleksi orang – orang yang bekerja dekat dengannya berdasarkan pendidikan mereka. Hulubalangnya dipilih bukan berdasarkan garis keturunan karena ayah atau kakek mereka sebelumnya menduduki posisi itu tapi karena pendidikannya. Sehingga tak menutup kesempatan bagi warga biasa untuk menduduki posisi di pemerintahannya. Khai Dinh juga membuat aturan bahwa jabatan ini tak diwariskan turun – temurun. Jika anak – anak dari hulubalang tak berpendidikan sehingga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik; itu adalah risiko dari kemalasan mereka untuk belajar. Khai Dinh juga bukan pemimpin yang fanatik terhadap agamanya. Khai Dinh pemeluk Buddha yang taat. Namun, kala kesakitan luar biasa menghampiri karena paru – parunya digerogoti tuberkulosis, Khai Dinh sering meminta hulubalangnya yang beragama kristen untuk memanggil pemimpin agamanya datang mendoakan dirinya di istana.

Detail kubah di atas peristirahatan Khai Dinh
Detail tangga peristirahatan Khai Dinh
Ice Bucket, hadiah dari pemerintah Prancis untuk Kaisar Dong Khanh, ayah Khai Dinh yang disimpan di Ung Lang

Pada 6 November 1925 Khai Dinh beranjak ke keabadian. Bao Dai, putera satu – satunya, naik tahta menggantikan ayahnya dan melanjutkan pembangunan makam Khai Dinh hingga selesai pada 1931. Bila memperhatikan bentuk – bentuk dan ornamen bangunannya, dari lanskap hingga interiornya; akan terlihat jelas adanya akulturasi timur dan barat di sana. Sewaktu nama gunung Chau Chu diubah menjadi Ung Son, tempat peristirahatan ini oleh masyarakat setempat kemudian dikenal dengan nama Ung Lang atau Mausoleum Ung.

Detail dinding ruang peristirahatan Khai Dinh
Ini makam apa istana ya? 😉

Makam Khai Dinh berada di ruang tengah Thien Dinh Palace. Tempat yang bikin penasaran dan membuat pengunjung sering bersesakan di dalam untuk melihat ornamen – ornamen artistik berupa lukisan di langit – langit, mozaik dari porselen, dan kaca patri yang dikerjakan dengan sangat detail; menghiasi seluruh bagian ruangan peristirahatannya. Lukisan itu dikerjakan oleh seniman terkenal Vietnam dan porselen serta kaca patri itu didatangan khusus dari Tiongkok, Jepang, dan Prancis. Pengerjaannya dilakukan oleh seniman – seniman pilihan pada masa itu. Di tempat ini, mata rasanya tak ingin berkedip mengamati isi ruangan. Belum lagi patung perunggu Khai Dinh yang duduk di singgasana yang dibangun di atas makamnya. Meja pemujaan ada di ruang depan. Di atasnya menggantung potret diri Khai Dinh yang tampak culun. Wajah di potret itu tampak sangat muda. Serupa ayahnya yang mati muda, Khai Dinh pun pergi di usia yang masih sangat produktif. Saleum [oli3ve].

Advertisement

5 thoughts on “Ung Lang: Peristirahatan Mewah Kaisar Khai Dinh

  1. Tempat seperti ini cocoknya dikunjungi saat pagi. Kalau siang atau sore, curiga semangat akan duluan menguap 😀
    Sungguh sebuah tempat peristirahatan yang kaya ornamen! Detil sekali, kak.
    Namanya pemimpin, pasti ada lebih dan kurangnya ya. Aku jadi penasaran dengan sejarah penyebaran agama Kristen di Vietnam 🙂

  2. Catatan perjalanan ini keren, Mbak. Saya jadi penasaran pengen tahu lebih banyak soal Kaisar Khai Dinh ini. Lumayan progresif kayaknya sampai-sampai bikin aturan kalau jabatan hulubalang nggak serta merta diwariskan ke keturunan. Dan pasti nggak mudah memimpin kerajaan di akhir era kolonial seperti itu, mesti berjibaku sama pengaruh Prancis dan kebangkitan nasionalisme Vietnam.

  3. asiik bisa menyimak keelokan detail arsitektura tanpa nanjak tangga melalui artikel mbak Olive.
    Rekrutmen hulubalang dengan pertimbangan menarik pada zamannya.
    Salam hangat mbak Olive

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s