Tuol Sleng: Perjalanan Merawat Masa Lalu


Sam mengemudikan tuk tuknya sedikit lamban menyusuri jalanan kota Phnom Penh yang mulai sibuk. Saya tak punya bayangan sama sekali ke arah mana kami berjalan. Hanya menaruh percaya saja pada Sam ketika menyampaikan Tuol Sleng menjadi tujuan perjalanan usai mengunjungi Kantha Bopha pagi itu. Fifteen minutes is normal suara Sam terdengar dari depan, bersaing dengan deru kendaraan. Benar juga, lima belas menit berjalan dari The Royal Palace, kami tiba di tujuan.

Sam menurunkan saya di sudut Street 113, tepat di depan gerbang, di bawah plang bertuliskan Tuol Sleng Genocide Museum.

See you in an hour, Sam! pamit saya pada Sam.
OK, I’ll wait there, serunya sebelum berlalu mencari tempat parkir yang teduh sembari menunjuk deretan tuk tuk di pinggir jalan, di sisi kanan Tuol Sleng.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Saya melangkah ke dalam pekarangan Tuol Svay Pray High School yang dibentengi pagar tembok bercat putih nan lusuh. Sekolah yang ruang – ruang kelas di 5 (lima) unit gedungnya diubah menjadi ruang kantor, interogasi, dan sel – sel penjara mengerikan semasa kekuasaan Khmer Merah pada 1975 – 1979. Dari membaca beberapa catatan sejarah, ada sekitar 14.000 – 20.000 orang (beberapa di antaranya warga asing) dari anak – anak hingga orang dewasa, laki – laki dan perempuan; mengalami siksaan di tempat yang kemudian lebih dikenal sebagai Security Office 21 a.k.a S-21 Prison ini. Mereka adalah bagian dari 2 juta penduduk Kamboja – tak ada data pasti tentang angka ini, namun beberapa buku menuliskan angka korban setara dengan seperempat populasi warga Kamboja – yang dihilangkan nyawanya pada masa itu.

Kaing Guek Eav, seorang guru yang menjelma menjadi eksekutor yang sungguh bengis – setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah titah yang menentukan seperti apa para calon korban yang dibawa ke Tuol Sleng akan dihabisi – dipercaya Khmer Merah menjadi kepala penjaranya. Ia akrab disapa Duch.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Kenapa Khmer Merah tega menghilangkan nyawa orang sebangsanya pada masa itu?
Mari menggali sedikit sejarahnya. Kamboja (sebelumnya Kampuchea) menyatakan kemerdekaannya pada 9 November 1953 setelah hampir seabad menjadi wilayah protektorat Prancis; tergabung dalam koloni Indochina bersama Vietnam dan Laos. Sewaktu Perang Vietnam pecah, Raja Norodom Sihanouk, pemimpin Kamboja masa itu, memilih untuk tidak berpihak. Pilihan yang mengundang kontra dari militer yang digawangi oleh Jenderal Lon Nol hingga mengkudeta Sihanouk pada 1970 dan mengangkat dirinya sebagai Presiden Republik Kamboja.

Sihanouk lalu menandatangani kesepakatan dengan Khmer Merah, partai kiri yang dipimpin Pol Pot dengan harapan bisa bekerja sama untuk merebut kembali singgasananya. Sihanouk tak pernah menyangka bahwa pilihan tersebut menjadi awal petaka terjadinya genosida di Kamboja. Masa itu, Kamboja termasuk salah satu negara di Asia yang mulai baik perekonomiannya. Tapi ketika Phnom Penh jatuh ke tangan Khmer Merah pada 17 April 1975 dan pasukan Khmer Merah mengambil alih kekuasaan Kamboja; keadaan berubah drastis.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Semua orang dipaksa keluar dari rumahnya, meninggalkan Phnom Penh. Mereka berjalan berjam – jam, berpuluh kilometer ke kampung – kampung dengan dalih Amerika akan mengebom kota, mereka harus mengungsi. Phnom Penh dikosongkan. Yang terjadi, mereka digiring ke daerah pedesaan untuk melakukan kerja rodi di sawah – sawah. Khmer Merah menyebutnya “belajar hidup” agar hasil panen melimpah seperti pada jaman nenek moyang dahulu kala untuk kepentingan negara, bukan hidup di kota.

Bagi Khmer Merah, kaum intelektual, pegawai negeri, guru, dokter, anggota militer Lon Nol, dan orang-orang terpelajar lainnya adalah musuh yang harus disingkirkan. Mereka tidak pandang bulu, anak – anak bahkan bayi yang belum mengerti apa – apa dan orang tuanya dipandang berbahaya, disiksa dan dihabisi juga.

Keterlaluan kejamnya!!

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Setelah membeli tiket masuk, mengecek kelengkapan audio guide yang akan memandu perjalanan menyusuri jejak lalu yang pernah terjadi di penjara yang sejak April 1979 telah berganti nama dan fungsi menjadi museum; saya memasang headphone dan melangkah ke pekarangan dalam.

Sekuntum bunga Kamboja yang mulai layu, jatuh dan tersangkut pada kawat duri berkarat yang dilingkarkan di sepanjang pagar tembok Tuol Sleng; tepat saat saya datang berteduh di bawah pohonnya. Mungkinkah sebuah salam perkenalan?

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Melesak ke Masa Lalu
Spot pertama tak jauh dari pintu masuk – di flyer yang saya raup di loket ditulis Introduction To A Nightmare – tempat mengawali cerita dari audio set yang menggantung di leher. Areanya di sekitar 14 (empat belas) peristirahatan tak bernama yang dikelilingi pokok – pokok Kamboja. Pengelola Tuol Sleng menempatkan bangku – bangku taman di bawah setiap pohon yang tumbuh di pekarangan. Patok – patok sunyi berbentuk empat persegi panjang, bercat putih, dan menyembul di atas permukaan tanah di depan itu adalah simbol penghormatan pada keempat belas korban terakhir yang ditemukan pasukan Vietnam ketika S-21 ditinggalkan Khmer Merah. Ada dugaan, mereka dihabisi sebelum Duch dan kawan – kawan tergesa – gesa pergi karena kota telah dikuasai oleh tentara Vietnam yang menginvasi Kamboja pada awal Januari 1979.

Saya memungut dua kuntum Kamboja yang tergeletak di tanah, meletakkannya di atas salah satu patok sunyi itu sembari merapalkan sebait doa untuk jiwa – jiwa yang telah pergi. Kali pertama berasa sesak napas ketika hendak memulai langkah menyusuri tempat yang menyimpan banyak luka. Mata ikut – ikut perih. Antara kemasukan keringat yang asin bercampur genangan air mata yang ditahan – tahan agar tak tumpah.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Setelah menarik napas panjang, saya mendekati gedung di bagian depan Tuol Sleng yang diberi nama Gedung A dan mulai menyusuri satu – satu ruang yang ada di bangunan yang berdiri sejak 1962 itu. Mereka yang dibawa ke sini akan menjalani serangkaian proses semacam screening test. Setiap orang dibuatkan file data diri yang dimulai dengan sesi pemotretan di hari pertama menginjak S-21, pencatatan semua hal detail tentang kehidupan mereka hingga hari mereka dibawa ke S-21, dimasukkan ke sel, menjalani interogasi dan dipaksa untuk mengakui kesalahan yang tak pernah dilakukan sambil disiksa, dieksekusi di tempat, hingga dibawa ke Choeung Ek dan ditumpuk ke dalam lubang kuburan massal.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Mereka yang belum selesai di Tuol Sleng, kembali disiksa di Choeung Ek hingga nyawanya putus. Ngilu menyesakkan dada, mendengar usai disiksa bahkan saat kematian korban pun didokumentasikan oleh juru foto penjara S-21. Semua bukti – bukti itu tak sempat dimusnahkan oleh Duch yang membuatnya tak bisa mengelak ketika didudukkan sebagai pesakitan di pengadilan pada Juli 2010.

Di salah satu ruang interogasi, di depan dipan besi yang sudah berkarat, saya tak kuasa lagi menahan luapan air hangat yang menderas di pipi. Saya duduk terjerembab di lantai, memegangi pergelangan kaki yang terasa dingin karena ada tapak tangan – tangan kasar yang menariknya.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Please, go rest your soul. You are save now. You are in God’s hand. Release your pain, rest your soul.

Kalimat – kalimat pendek yang biasa dirapalkan di tempat peristirahatan meluncur berulang dari mulut hingga tangan – tangan dingin itu perlahan – lahan melepas cengkeramannya. Setelah bisa menguasai emosi, saya bangkit dari ruangan dengan perasaan campur aduk. Bisa jadi rupa saya pun tampak berantakan, sehingga perempuan berkulit putih yang saya jumpai di depan pintu, bingung menatap saya lekat – lekat dengan matanya yang juga memerah. Mulutnya berkomat – kamit. Entah berapa lama dia berdiri di situ dan entah pemandangan apa yang dilihatnya di ruangan tadi. Saya berjalan menjauh, tak berani bertanya.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Sel – sel Sesak dan Hari – hari Mendebarkan
Lima gedung berlantai tiga di Tuol Sleng diberi nama sesuai urutan abjad: A, B, C, D, dan E. Di empat gedung pertama, ruang – ruang kelasnya disulap menjadi sel – sel penjara. Khusus di ruang kelas di lantai dasar Gedung A dibagi menjadi dua ruang untuk interogasi dan penyiksaan serta sel yang lebih lega. Sedang di Gedung B, C, dan D ruang kelasnya disekat – sekat dengan batu bata dan potongan kayu menjadi 10 – 12 ruang kecil – kecil yang difungsikan sebagai ruang tahanan untuk keluarga, anak – anak, juga warga sipil lainnya. Yang tak kebagian sel, ditempatkan beramai – ramai dalam ruang kelas yang tak bersekat.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Di setiap gedung – kecuali Gedung B yang sel – selnya telah dibongkar dan ruangnya dijadikan ruang untuk memajang foto – foto korban serta lukisan peristiwa di Tuol Sleng karya Vann Nath – saya memasuki ruang – ruang kecil itu, mencoba merasakan hari – hari mendebarkan yang mereka lalui empat puluh tahun lalu. Sesak!

Di salah satu sel, saya mendadak mual mendapati seekor tikus kejang – kejang di samping kotak amunisi yang dulu digunakan sebagai pispot di pojok sel. Saya tak habis pikir, ketika mereka buang hajat di situ dan tak sengaja berceceran atau tersenggol ketika tidur dan isinya tumpah; mereka harus membersihkan ceceran kotoran itu dengan menjilatnya dari lantai.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Di dekat pispot, rantai untuk mengikat pergelangan kaki tahanan dan noda darah segar yang mengering di lantai. Bila mata awas, percikan darah banyak dijumpai di dinding ruang – ruang penyiksaan, menempel di pintu, teralis jendela, juga di lantai. Semua dibiarkan apa adanya, tak dibersihkan. Bukti kekejian yang pernah terjadi di tempat itu. Untuk menjaga agar para tahanan tak melarikan diri dari S-21, selain kaki mereka dirantai ke ranjang besi ataupun ke lantai; semua gedung dibelit dengan kawat duri yang dialiri listrik.

tuol sleng genocide museum, tuol sleng, cambodian genocide, genosida kamboja

Panduan berkunjung ke Tuol Sleng:

  • Datanglah dengan hati yang tenang. Jika kamu merasa tak siap dengan kejutan – kejutan, jangan paksakan diri untuk masuk.
  • Jangan berisik. Dilarang tertawa. Hormati jiwa mereka yang pernah ada di tempat ini dengan memerhatikan tata krama.
  • Boleh memotret untuk koleksi pribadi. Jika untuk urusan komersil, mintalah ijin terlebih dulu kepada pengelola museum.
  • Sewa audio guide untuk memandu kunjungan. Kamu tak akan rugi membayar tambahan USD 3 untuk mendapatkan momen berharga dan kisah lalu yang menyentuh rasa seperti kisah cinta Bophana juga cerita dari mereka yang selamat dan keluarga korban. Bila dirasa perlu, kamu pun bisa minta ditemani pemandu lokal.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Tuol Sleng Genocide Museum
St 113, Phnom Penh
Buka setiap hari pk 08.00 – 17.00
HTM: USD 5
Audio Guide: USD 3

Adakah yang selamat dari S-21?
Percayalah, dalam setiap perkara yang terjadi di dunia ini, TUHAN tidak tutup mata. Meski yang dibawa ke S-21 hanya menunggu waktu untuk dieksekusi; beberapa catatan menyebut ada 4, 7 bahkan 12 orang yang selamat dari pembantaian termasuk 4 (empat) orang anak – anak yang bersembunyi di salah satu ruangan; menanti dijemput orang tuanya. Seorang bayi yang bersama dengan ketiga anak itu, meninggal tak lama setelah mereka ditemukan oleh tentara Vietnam.

Saya mencatat 6 (enam) nama. Dua orang saya jumpai dikerubuti pengunjung di pekarangan belakang usai berkeliling di Tuol Sleng; Bou Meng dan Chum Mey. Mereka selamat dari penyiksaan karena keterampilan yang mereka miliki.

tuol sleng genocide museum, tuol sleng, cambodian genocide, genosida kamboja, S-21 prison

Bou Meng mendapatkan kelonggaran ketika Duch mencari seseorang untuk melukis wajah pemimpin – pemimpin partai kiri seperti Stalin, Lenin, Karl Marx, Ho Chi Minh, dan tentu saja pemimpinnya; Pol Pot. Bou yang sebelumnya bekerja di bidang seni dan terbiasa membuat poster film, tak yakin tangannya bisa bekerja dengan baik karena badannya sakit semua akibat siksaan. Bila ia gagal, eksekusi menanti. Bou dapat melalui hari – hari mencekam di S-21 sedikit lebih tenang karena ternyata Duch puas dengan karyanya. Ia selamat. Namun istrinya yang dibawa bersamanya ke S-21, tidak. Dari dokumen penjara, ia mengetahui istrinya dieksekusi setahun sebelum Khmer Merah meninggalkan S-21.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Mesin tik, perangkat tulis yang dipaksa bekerja keras untuk mendata mereka yang dibawa ke S-21 setiap hari, akhirnya jadi sering ‘ngadat. Saat itu terjadi, tangan Chum Mey-lah yang sigap membetulkannya. Sebenarnya, nama Chum Mey sudah masuk daftar orang – orang yang siap dieksekusi. Namun karena keterampilannya dibutuhkan; Duch membubuhkan catatan penangguhan eksekusi pada file Chum Mey. Dua tahun mendekam di S-21, saat Khmer Merah terdesak untuk mundur, ia ikut digiring keluar bersama beberapa tahanan lain yang masih hidup. Ia tak menyangka akan bersua istri dan anak bungsunya yang juga berada dalam kelompok itu. Belumlah sempat mereka melarikan diri, peluru dimuntahkan ke arah mereka secara beruntun, menerjang tubuh istri dan anaknya. Chum Mey selamat, namun ia kehilangan semua anggota keluarganya.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide
Salah satu lukisan Vann Nath di Tuol Sleng (dok. khmerrougeincambodia.weebly.com)

Seorang lainnya yang keterampilannya terpakai di S-21 dan hasil karyanya dipajang di Tuol Sleng hingga hari ini adalah Vann Nath. Serupa dengan Bou Meng, Vann Nath seorang seniman. Ia biasa melukis, sehingga dipercaya untuk melukis detail peristiwa di S-21 bahkan memahat patung Pol Pot sehingga ia pun terbebas dari eksekusi. Selepas dari S-21, Vann Nath kembali  untuk bekerja di Tuol Sleng dan melengkapi dokumentasi museum dengan menceritakannya lewat lukisan. Vann Nath meninggal pada 2011 karena sakit.

Norng Chanpal dan adiknya, Norng Chanly, dua anak kecil yang selamat dari S-21. Mereka ditemukan tentara Vietnam meringkuk di tumpukan baju di salah satu ruangan. Kedua anak ini, melihat saat ayah dan ibunya disiksa dan dieksekusi di S-21 oleh Khmer Merah. Setelah Vietnam meninggalkan Kamboja, mereka dititipkan ke panti asuhan yang merawat anak – anak Kamboja yang menjadi yatim piatu ditinggal orang tuanya selama perang saudara berlangsung. Sayang sekali saya datang ke Tuol Sleng di Sabtu pagi, sehingga tak bisa menonton pemutaran film dokumenter S-21 yang disertai diskusi dengan Norng Chanpal. Bila tak salah mengingat, jadwalnya di hari biasa, di tengah minggu.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide
Norng Chanpal dan adiknya, Norng Chanly ketika diselamatkan tentara Vietnam (dok. Pinterest)

Baik Bou Meng, Chum Mey, Vann Nath maupun Norng Chanpal telah memiliki buku yang menceritakan tentang perjalanan hidup mereka di masa – masa kelam Kamboja. Buku – buku itu bisa didapatkan di Tuol Sleng.  Karena sudah lebih dulu mampir ke kedai buku pertama, saya terlanjur membeli First They Kill My Father-nya Loung Ung meski awalnya tergoda dengan kisah Bophana. Sebagai pelengkap, ketika menunggu penerbangan pulang di bandara internasional Siem Reap; saya menambah satu buku yang banyak mengungkap sosok Duch, The Elimination-nya Rhity Panh. Kedua buku tersebut sudah diangkat ke layar lebar.

Oh ya .. satu nama lagi yang selamat dari S-21 adalah seorang kadet perempuan Khmer Merah. Untuk memperkuat pasukannya, Khmer Merah merekrut anak – anak remaja tanggung untuk dilatih menjadi tentara. Chin Met salah satunya. Usianya masih 14 tahun waktu itu. Mereka tidak bisa menghindar karena bila mereka terlewat di perekrutan pertama, akan kena rekrut di tahap berikutnya. Entah kesalahan apa yang dibuatnya, Chin Met termasuk tentara Khmer Merah yang dibawa ke S-21. Ia bisa lolos dari eksekusi karena dirinya dipindahkan ke S-24 (kini Prey Sar Prison), penjara di luar Phom Penh yang juga dikuasai Khmer Merah. Ketika invasi Vietnam masuk ke Kamboja, Chin Met diseret – seret ke dalam hutan oleh Khmer Merah. Ia ditemukan tentara Vietnam di hari natal 1979.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide

Genosida Kamboja termasuk peristiwa genosida terbesar di dunia. Tuol Sleng berhasil merawat masa lalu dengan baik. Penggunaan teknologi modern untuk menghidupkan suasana membuat pengunjung dapat merasakan apa yang terjadi di masa – masa gelap itu. Dengan belajar jejak lalu, kita jadi lebih menghargai pengorbanan pendahulu dan menjadi cermin agar peristiwa kelam itu tak terjadi lagi di masa datang.

Saya menemui Sam, TIGA jam setelah kami berpisah di depan gerbang Tuol Sleng. Mukanya kuyu, sepertinya habis bangun tidur karena kelamaan menunggu. Let’s go to Choeung Ek, Sam. Kami kembali menyusuri jalan – jalan Phnom Penh dengan tuk tuk Sam yang berjalan semakin lamban. Mungkin karena bebannya ditambah 2 (dua) orang kawan berjalan yang saya jumpai di Tuol Sleng.

tuol sleng genocide museum, s-21 prison, genosida di kamboja, cambodian genocide
Gedung A Tuol Sleng

Banyak pejalan yang tak memilih Phnom Penh sebagai tujuan perjalanan dan lebih tertarik dengan Siem Reap. Padahal, Phnom Penh menyimpan banyak destinasi wisata sejarah yang menarik dikunjungi. Jika kamu penikmat sejarah, Phnom Penh WAJIB masuk di itinerary perjalanan ke Kamboja. Saya, terlanjur jatuh hati pada kota ini dan akan tetap kembali ke Phnom Penh karena masih banyak destinasi yang belum sempat dikunjungi. Dan Tuol Sleng, akan selalu ada di destinasi yang akan dikunjungi (lagi) di perjalanan nanti, saleum  [oli3ve].

Advertisement

10 thoughts on “Tuol Sleng: Perjalanan Merawat Masa Lalu

  1. Mba Olive, saya termasuk frequent traveller to Cambodia, tapi hanya dua kali ke Tuol Sleng, pertama kali yang menghancurkan rasa itu lalu yang kedua kali itu karena keharusan mengantar dan menemani seorang ibu yang ngotot kesana. Setelah itu, gak pernah lagi.
    Kunjungan yang pertama itu telah membuat hati saya collapsed dan berjanji gak mau kesana lagi. Tetapi karena benar-benar terpaksa, akhirnya saya datang lagi untuk kedua kali. Itupun saya benar-benar mengeraskan hati dan lebih banyak menunggu di luar.
    Saya juga ingat saat pertama kali itu, saya dan beberapa orang bule dan asia (padahal gak saling kenal) tapi kita saling liat2an dan saling tunggu untuk bareng-bareng ke lantai-lantai atas, padahal saat itu jam 12 siang tapi ‘hawa’-nya masih meredupkan kita semua.
    Namun kunjungan ke Tuol Sleng itu telah menghajar saya tentang nilai hidup, tentang nilai harapan, Dan itu luar biasa banget.
    Terima kasih mba Olive udah berbagi cerita dan mengingatkan lagi kisah pilu ini…

    1. waduh .. yg punya Kamboja berkomentar 😉

      Benar, banyak pelajaran berharga yang didapatkan di Tuol Sleng dan Choueng Ek. Phnom Penh telah membuat saya jatuh hati Mbak Ri. Semoga tahun depan sudah aman untuk bepergian, pengen kembali ke sana dan ke Tuol Sleng.

  2. Bacanya bikin deg-degan, sekaligus pilu juga ya, Kak. Sebelum ke museum ini bener-bener harus dalam kondisi baik supaya explore-nya bisa lebih nyaman dan tenang. Dulu pernah ke Kamboja ikut private trip tapi gak tau ada tempat semenakjubkan ini. Semoga ada kesempatan ke sini.

    1. iya, yg saya perhatikan sebagian besar yang masuk ke sini, keluar dengan mata sembab, perempuan dan laki – laki sama 😉

      harus diagendakan untuk berkunjung bila ke Phnom Penh, akan dapat banyak pelajaran berharga

  3. Seharusnya tahun 2020 ini aku mengunjungi Phnom Penh, tapi sepertinya harus tertunda lagi sampai entah kapan. Kisah tentang Tuol Sleng ini sudah aku dengar dan baca berulang kali dari banyak artikel dan juga beberapa dari film. Ngeri sih membayangkannya, tapi sebagai penikmat sejarah, rasanya aku tetap pengen ke sana juga. Sebagaimana aku menikmati Hanoi, rasanya Phnom Penh juga bisa aku nikmati, selain Siem Reap.

    Terima kasih sudah menambahkan ulasan kisah baru untuk tempat ini kak. Tentunya dengan tambahan ‘kisah mereka yang tak kasat matanya’. Khas kak Olip banget 😉

    1. senang sekali kk Bart mampir ke sini
      bagi penikmat sejarah, pasti akan senang bermain ke Phnom Penh kk

      saya pun berencana ke sana di pertengahan tahun ini, tapi harus ditunda dulu karena pandemi membuat pemerintah di sana menerapkan beberapa aturan yg ketat. kita pun keluar dari rumah saja masih menimbang – nimbang perlu tidaknya 😉

  4. Baru pertama baca cerita tentang ini. Campur aduk perasaannya. Haru, sedih, harapan jadi satu. Terima kasih tulisannya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s