Telaga Darah Panembahan Reso


Sabtu malam, Warhi (78) datang bersendiri ke Ciputra ArtPreneur. Ia dengan bangga menceritakan bagaimana dirinya menjadi salah seorang saksi pementasan lakon Panembahan Reso berdurasi 7 (tujuh) jam yang dipentaskan Bengkel Teater selama 2 (dua) hari berturut – turut di Istora Senayan pada 1986 lalu. Setelah 34 tahun berlalu, Warhi tak sabar untuk menonton (lagi) Panembahan Reso yang durasinya kini dipadatkan menjadi 3 (tiga) jam saja. Dari urusan tiketnya saja menggunakan teknologi yang berbeda. Saya tak paham, harus meminta tolong anak membelikan. Entah ada di mana lagi perbedaannya, katanya sebelum beranjak masuk ke ruang pertunjukan.

panembahan reso, sha ine febriyanti, karya masterpiece ws rendra

Hari menjelang terang tanah. Suara jangkrik dan binatang malam bersahutan – sahutan. Seorang lelaki terduduk di bias purnama. Ia berbicara pada dirinya sendiri tentang apa yang baru saja dialaminya. Ia seperti mengambang di alam mimpi; matanya melek, tak bisa tidur.

Aku bermimpi, wajah bulan tertikam pedang. Persis di mata kirinya. Darah mengucur membanjir. Membanjiri istana Raja Tua. Asik! Sepasukan ketonggeng dan lipan menyerbu tempat tidur raja. Seribu ketonggeng dan lipan mengerumuni tubuh raja yang sedang beradu dan langsung menyengat tubuhnya. Sang Raja menjerit – jerit, mengaduh, mengerang tetapi tak seorangpun mau menolongnya. Syukur! Akhirnya ia mati. Tutur Panji Reso, lelaki yang sedang resah dengan mimpinya itu. Ia pun memutuskan perlu tidur sedikit karena besok ia harus ke istana menghadiri ulang tahun Raja Tua.

Pagi datang. Di istana, orang ramai berkumpul menuju Balai Penghadapan untuk merayakan ulang tahun Raja Tua, junjungan mereka. Di luar istana, kegelisahan meruak di tengah masyarakat. Para Panji dan Senapati pun gelisah dengan sikap tak acuh Raja Tua terhadap persoalan yang timbul. Kasak – kusuk berlangsung di antara mereka karena Raja Tua semakin berumur, mulai pikun, dan belum juga memberi pertanda siapa bakal calon penggantinya.

Penugasan Pangeran Bindi untuk memimpin pasukan penyerang disertai Pangeran Kembar mengatasi pemberontakan Panji Tumbal secara tersirat menunjukkan sikap Raja Tua; menambah kegelisahan di hati 3 (tiga) putera lainnya yang juga menyimpan angan – angan suatu hari kelak akan duduk di singgasana menggantikan ayahandanya. Raja Tua memiliki 6 (enam) orang anak dari 3 (tiga) orang istrinya: Ratu Padmi, Ratu Kenari, dan Ratu Dara. Putera tertuanya, Pangeran Rebo, adalah anak Ratu Dara, istri mudanya. Kedua istri sebelumnya sudah pasrah tak akan memiliki keturunan. Ternyata setelah berobat ke dukun, Ratu Padmi bisa melahirkan 3 (tiga) orang putera: Pangeran Bindi, Pangeran Gada, dan Pangeran Codot. Sedang Ratu Kenari melahirkan anak kembar, Pangeran Kembar Satu dan Pangeran Kembar Dua.

Panji Reso, lelaki yang lahir dari kalangan rakyat biasa. Ia mendapat kehormatan menjadi Panji dan memimpin keprajuritan istana karena keberaniannya di satu pertempuran. Ia pun memiliki keinginan untuk menjadi raja. Keinginan yang membawanya pada mimpi – mimpi untuk diwujudkan lewat intrik dan persekongkolan dengan Panji Sekti lalu memprovokasi para Panji dan Senapati. Keinginan dan cita – citanya membuat Nyi Reso, istrinya, resah karena mulai asing dengan suaminya sendiri dan berpikir untuk mematikan suaminya agar ia tetap menjadi miliknya yang utuh. Di waktu yang hampir bersamaan; Ratu Dara yang juga berambisi mendudukkan Pangeran Rebo di singgasana mengatur siasat dengan Panji Reso untuk menyingkirkan Raja Tua.

Dengan ide – ide yang dipandang cemerlang yang dicetuskan dengan elegan, Panji Reso tampil bak pahlawan bagi Raja Tua yang tak menyadari sedang  berhadapan dengan seekor rubah yang sangat licik. Dijadikannya Panji Reso sebagai Senapati yang diberi kuasa di ibukota kerajaan, juga diangkatnya derajatnya lebih tinggi lagi dengan gelar kebangsawanan Aryo Reso. Panji Sekti yang setia di samping Reso pun kecipratan kekuasaan. Dirinya yang tak pernah sekalipun menunggang kuda, diangkat menjadi kepala prajurut berkuda dengan gelar Aryo Sekti. Raja Tua tak tahu, di balik punggungnya, terjadi perselingkuhan Ratu Dara dan Panji Reso. Jagad Dewa Batara! Musang berbulu domba rupanya.

panembahan reso, sha ine febriyanti, ratu dara, karya masterpiece ws rendra
Ratu Dara dan Aryo Reso (dok. Genpi.co)

Satu – satu korban berjatuhan. Atas titah Raja Tua, Pangeran Gada dan Pangeran Codot bersama 2 (dua) orang senapati yang hendak bergabung dengan Panji Tumbal, dipenggal kepalanya. Selagi merayakan “keberhasilan” dengan minum arak bersama Raja Tua, Aryo Reso mendapat kabar kematian istrinya berjalan sesuai rencana, dilenyapkan lewat tangan pembunuh bayaran, Siti Asasin. Kematian dua puteranya membuat Ratu Padmi menikam jantungnya sendiri dengan sebilah keris, disusul Raja Tua karena mabuk arak hingga tak sadar cangkir terakhir yang ditenggaknya telah dibubuhi racun racikan Siti Asasin oleh Ratu Dara.

Kekosongan tahta dalam waktu singkat diisi dengan didudukkannya Pangeran Rebo dengan gelar Mahesa Kapuranta sebagai raja oleh Ratu Dara dan Aryo Reso. Sebagai anak ibu yang selalu bernaung di bawah ketiak ibundanya, Mahesa Kapuranta tidaklah tegas dalam bersikap. Ia tak ubahnya boneka yang pemerintahannya disetir sekaligus mendapat tekanan cukup keras dari Ratu Dara. Ia tak kuasa menolak dan merestui permintaan Ratu Dara untuk dinikahkan dengan Aryo Reso. Tawarannya bekerja sama dengan Ratu Kenari untuk mengajak dialog Pangeran Kembar agar tak berontak seperti tiga adiknya yang lain, mendapat tentangan dari ibunya. Raja Mahesa dikuasai ketakutan. Tekanan – tekanan dan kebimbangan bersikap dalam situasi yang dipandangnya ganjil, membuat kepalanya pusing dan perutnya mual.

Ternyata menjadi raja itu lain dari yang aku bayangkan. Aku merasa jalan hidupku telah membelok dengan tiba – tiba. Membawaku ke alam yang ganjil. Sejak aku menjadi raja, hidupku, hidup orang yang terperanjat – [Mahesa Kapuranta]

Gairah yang menggebu akan kekuasaan yang berbaur dengan ego yang kian memuncak, pun gemas terhadap Raja Mahesa membuat Ratu Dara semakin menunjukkan ambisinya hanya wanita tegaslah yang lebih pantas duduk di atas tahta! Ia berniat untuk menghabisi puteranya sendiri lewat tangan Siti Asasin yang telah membantunya melenyapkan Raja Tua. Tak menunggu lama, Ratu Dara telah berubah gila. Ia melangkah keluar dari dalam istana dengan tampang sangat kacau dan tangan berlumuran darah menjumpai Aryo Reso dan Aryo Sekti.

panembahan reso, sha ine febriyanti, karya masterpiece ws rendra
Ratu Kenari, Mahesa Kanuranta, dan Ratu Dara (dok. Jawa Pos)

Aku telah menikam putera tunggalku sendiri dengan kerisnya. Ia membuat aku merasa malu. Kita dudukkan dia di atas tahta, dan di atas tahta itu ia akan mencincang negara karena rasa takutnya. Sekarang aku merasa seperti mengambang di telaga darah. – [Ratu Dara]

Ratu Dara menemui ajalnya di tangan Aryo Sekti dengan sekali hujaman keris ke dadanya. Tak ada penyesalan pun amarah pada Aryo Reso melihat istrinya mati di tangan sahabatnya. Ia malah berterima kasih karena kesempatan untuk meraih mimpinya kian terbuka lebar lewat peristiwa – peristiwa tak terduga. Aryo Reso naik singgasana dengan gelar Panembahan Reso. Ia sangat girang. Namun, mimpi yang meresahkannya pun tampak nyata di depan mata. Ia mengalami gangguan mental serius, delusi.

Selagi berbincang dengan Aryo Sekti, Reso mendengar suara perempuan menembang. Lirih suara perempuan itu membuat Panembahan Reso merasa yakin melihat Ratu Dara mencuci rambutnya di telaga darah dan dirinya duduk di atas tahta yang mengapung di atas telaga darah itu. Belum lagi tersadar apakah dirinya bermimpi atau tidak, Ratu Kenari melangkah masuk ruangan, melucuti satu – satu pakaiannya hingga telanjang dengan terus melantunkan tembang yang menyayat rasa. Ratu Kenari mendekati Panembahan Reso, menikamnya dengan keris sembari mendesis, “Kerisku beracun! Penjinah! Pembunuh! Kamu tega, aku juga tega!”

Istana berubah menjadi merah, Ratu Kenari menapaki anak tangga mendekati singgasana setelah sebelumnya menikam Aryo Sekti yang jatuh terkapar di dekat Panembahan Reso. Lantunan tembangnya perlahan – lahan hilang diikuti cahaya yang semakin redup lalu .. mati.

Duduk di bangku untuk tiket GOLD dengan posisi duduk berhadapan dengan titik tengah panggung membuat pandangan imbang dan leluasa untuk menikmati dan mengamati suasana dari sisi:

Pelakon dan Kekuatan Karakter

Sesuai judulnya, tokoh utama Panembahan Reso adalah Panembahan Reso – diperankan Whani Dharmawan yang dikenal bermain sangat baik sebagai Darzam di Bumi Manusia pun perannya yang mendapat Piala Citra di Festival Film Indonesia 2019 lalu sebagai Pemeran Pendukung Pria Terbaik lewat Kucumbu Tubuh Indahku. Ada 3 (tiga) karakter kuat yang menonjol karena penjiwaan karakter pelakonnya yang baik: Panembahan Reso, Ratu Dara, dan Nyi Reso. Berlakon sebagai tokoh utama, keuntungan tersendiri yang membuat Whani pun tampak menonjol.

Sha Ine Febriyanti yang terbiasa bermonolog, terlihat menurunkan frekuensinya agar sejajar dengan pemain lainnya. Meski begitu, intensitas yang terputus – putus membuat dirinya terlihat mengalami sedikit kesulitan berlakon sehingga lebih tampak aktingnya ketimbang pendalaman karakternya sebagai Ratu Dara. Ketika beradu akting dengan Siti Asasin – diperankan Ucie Sucita – di Keputren, ia bahkan tampak tergesa – gesa hendak berbicara sebelum gilirannya. Mungkinkah itu dilakukan karena tuntutan akting sebagai Ratu Dara yang merasakan getaran arus gaib dalam tubuhnya pada Siti Asasin yang kemudian diajaknya tidur? entahlah. Pula ketika bersitegang dengan Mahesa Kapuranta dalam mengambil keputusan, Sha Ine Febriyanti terpeleset dalam melafalkan dialog. Tak berarti lakonnya menjadi cacat, hanya kurang greget saja. Pengalaman sebagai pemain watak membuatnya bisa menutupi hal itu sehingga tak akan terasa buat sebagian besar penonton. Pun itu tertutup oleh perannya yang lebur di babak – babak lain terutama ketika beradu akting dengan Panji Reso. Serupa melihat Nyai Ontosoroh dan Darzam dimunculkan di panggung.

panembahan reso, sha ine febriyanti, ratu dara, karya masterpiece ws rendra
Adegan di media preview Panembahan Reso yang berbeda pada hari pementasan (dok. Kompas)

Balik lagi, pengalaman membuat ketiga pemeran karakter tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dengan pelakon lainnya dalam cara bertutur, melafalkan naskah, dan menghidupkan karakter. Meski begitu, saya lebih terkesan dan menikmati pendalaman karakter Ruth Marini sebagai Nyi Reso. Sangat natural. Tentang karakter lainnya, Sruti Respati baru melesak sebagai Ratu Kenari di babak terakhir ketika dirinya menembang – sesuai latarnya yang dikenal sebagai penembang Jawa, dan membunuh Panembahan Reso dan Aryo Sekti. Pun Jamaluddin Latief cukup menghibur dan berlakon baik sebagai Pangeran Rebo.

Tata Panggung, Artistik, dan Suara

Panggung Penembahan Reso dibuat sangat sederhana. Jika biasanya panggung pementasan berwarna gelap, di Panembahan Reso panggungnya didominasi warna putih. Ada undakan – undakan di sana yang berfungsi sebagai tangga sekaligus menunjukkan jenjang di kerajaan berikut 2 (dua) level dengan tinggi kira – kira 50 cm, ditempatkan di puncak undakan pada tengah dan kiri panggung. Belakangan tertebak fungsinya sebagai singgasana dan ranjang Ratu Dara di Keputren. 3 (tiga) layar putih berdiri di belakang dan kiri kanan panggung yang dijadikan media untuk menampilkan visual art yang muncul bergantian lewat permainan multimedia. Sayangnya, sepanjang pementasan, hanya layar di tengah yang banyak difungsikan sedang dua layar di pinggir lebih sering kosong. Lalu, pada beberapa babak, tampilan bayangan ornamen Jawa dimunculkan tidak sentral dengan titik tengah layar, kadang malah miring bahkan berat ke kanan terutama ketika setting di rumah Panji Reso.

Selain dibedakan dari tampilan ornamen di layar, pergantian babak juga dibantu permainan lampu. Ada fade out yang ragu – ragu terjadi pada babak awal di pergantian lakon keresahan para ratu bersama putera – puteranya, selebihnya tata lampunya aman. Kecuali bias lampu sorot yang bocor di sepanjang pementasan dari sayap kanan panggung yang tak tertutup rapat membuat gerak – gerik para pelakon terutama yang berbaju terang seperti Ratu Dara, Siti Asasin, dan para senapati yang  berada di belakang layar terlihat. Memang tidak mengganggu pementasan, tapi mengganggu pandangan dari penonton karena seharusnya sisi itu gelap dan tertutup!

Untuk tata suara, mikrofon yang digunakan Ratu Dara, Ratu Padmi, Mata – Mata, dan Abdi Panji Sekti (?); suaranya sempat hilang. Mungkin memasangnya kendor atau perubahan level volume di mixer. Di sini, kepekaan para pelakon terlihat jelas. Sha Ine Febriyanti cepat tanggap menelengkan kepalanya sedikit sehingga suaranya langsung terdengar, sedang Mata – Mata dan Abdi Panji Sekti terus saja berbicara tak sadar suaranya mendem. Pada Ratu Padmi, sepertinya kealpaan terjadi pada pengaturan level suara di mixer karena tak lama volumenya mendadak meninggi.

Membedakan Derajat Karakter lewat Tata Kostum

Meski disebutkan bahwa ketiga istri Raja Tua memiliki kedudukan yang setara, ketidaksetaraan justru ditunjukkan lewat kostum yang mereka kenakan. Ratu Dara yang digambarkan sebagai perempuan ambisius dengan pemikiran – pemikiran cerdasnya yang sering menjadi pertimbangan Raja Tua dalam mengambil keputusan, diberi kostum yang membuat derajatnya terlihat lebih tinggi dari Ratu Padmi dan Ratu Kenari. Di pertemuan – pertemuan Ratu Dara mengenakan kemben merah menyala dengan potongan dada yang rendah dan bawahan sarung, ditutup dengan jubah berlengan lonceng yang menjuntai hingga ke lantai. Ketika berada di Keputren, jubahnya dilepas. Sedang untuk Ratu Padmi dan Ratu Kenari, oleh Retno Damayanti, Penata Kostum; diberikan baju berpotongan kebaya lengan panjang dengan warna berbeda – biru untuk Ratu Padmi dan hijau  untuk Ratu Kenari – serta bawahan yang dibuat dengan potongan kain dililit bertumpuk serupa rok lebar panjang.

panembahan reso, sha ine febriyanti, karya masterpiece ws rendra
Ratu Kenari, Mahesa Kanuranta, dan Ratu Dara (dok. Jawa Pos)

Antara para Pangeran kecuali Pangeran Rebo, para Panji, dan para Senapati kecuali Aryo Reso juga dapat dibedakan dari keseragaman kostum yang mereka kenakan. Kenaikan derajat Panji Reso pun bisa dilihat dari pergantian kostumnya.

Tingkah Pola Penonton

Duduk tepat di belakang saya, ada penonton yang datang terlambat 30 menit lalu kasak – kusuk, buka tutup kresek, dan sibuk telepon. Dia mengajak teman menontonnya untuk pulang saja, alasannya energinya gak nangkap! Dari tempat duduk mereka, si mbak bilang tak bisa melihat ekspresi pelakon dengan jelas membuatnya tak bisa menangkap energi di ruang itu. Perkara energi, mau duduk di mana saja, tergantung motivasi menonton bukan? Kenapa tidak beli tiket VVIP atuh, mbak? Untunglah tak menunggu lama mereka walk out dan tak kembali lagi ke bangkunya. Bila tidak, saya akan balik badan dan meminjamkan kaca mata untuk melihat jauh yang tersimpan di tas.

Di tengah – tengah pementasan, sempat terpikir untuk berlari sebentar ke kamar kecil namun posisi duduk di tengah, tak nyaman untuk mengganggu penonton di kiri atau kanan. Jarak antar bangku di ruang pertunjukan yang menyisakan ruang kaki sempit – saat ada yang datang terlambat saja, di deretan duduk saya, kami 2 (dua) kali  harus bangkit dari duduk dan memberi ruang untuk mereka berjalan – membuat saya mengurungkan niat itu dan manahan pipis. Sementara di bangku depan saya, seorang pekerja seni melenggang keluar ruang karena deretan bangku di kirinya kosong.

Pesan Moral dalam Dialog

Sebelum kepalanya dipenggal anak buah Pangeran Bindi, Panji Tumbal mengutarakan alasannya memberontak bukan untuk mengejar kekuasaan tetapi menuntut pemerataan keadilan. Meski terlambat, ia menyadari, keserakahan mengejar kekuasaan hanyalah membuat seseorang memajukan egonya! Tidak berpihak pada rakyat, tapi memuaskan dirinya sendiri. Ia pun sadar, hanya keragaman yang memungkinkan pemikiran orang berkembang dan bersikap dewasa.

Nafsu perburuan akan kekuasaan yang bergolak dalam diri setiap manusia, melahirkan keserakahan dan kelicikan untuk menggapai hasrat disertai intrik – intrik di baliknya. Ketika keserakahan semakin liar memandang tahTA, harTA, dan waniTA (nafsu birahi); semakin bejatlah manusia yang telah dibutakan oleh nafsunya. Tak sadar, lambat laun jalannya menuju kematian!

Walau dari awal tak disebutkan keberadaan Panembahan Reso di mana dan kerajaan apa, Hanindawan, sang Sutradara yang berperan sebagai Marwan Sikumbang dalam film Tuhan Pada Jam 10 Malam garapan Sha Ine Febriyanti; menyelipkan keadaan kini yang terjadi di masyarakat seperti kehadiran keraton – keraton ilusi yang tercetus dalam pernyataan Raja Tua sebagai pemimpin Keraton Agung Sejagad yang mengundang tawa penonton.

Tiga jam lakon Panembahan Reso tuntas dipentaskan. Tidak terlalu gereget tapi cukup menarik untuk dinikmati, sesekali terbahak. Dari kejauhan saya melihat Warih beranjak meninggalkan bangkunya dengan wajah puas. Ketika mencari  – carinya di luar ruang pertunjukan, saya tak lagi menjumpainya. Mungkin tergesa pulang karena sudah larut.

Panembahan Reso karya masterpiece WS Rendra yang awalnya direncanakan untuk dipentaskan selama 2 (dua) hari berurut – turut seperti pada pementasan awal tiga dekade lalu, akhirnya hanya dipentaskan sehari saja. Tentu ada banyak pertimbangan yang membuat tim produksi memutuskan hal tersebut lewat informasi yang disebar 2 (dua) minggu jelang pementasan. Tebak – tebak buah manggis, target penonton yang tak memenuhi kuota menjadi salah satu pertimbangannya, saleum [oli3ve].

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s