Membaca berita kepergian Puteri Norodom Buppha Devi, 18 November lalu, membuat saya teringat pada Kantha Bopha, adiknya, pun oretan – oretan di perjalanan lalu saat menjumpai Kantha Bopha di samping Wat Preah Keo Morokat.

Waktu saya tak banyak di Phnom Penh. Kendala transportasi di perjalanan Ho Chi Minh City (HCMC) – Phnom Penh, membuat saya harus memangkas itinerary Phnom Penh dan melupakan kesenangan – kesenangan mengunjungi tempat – tempat yang sebelumnya telah direncanakan. Pagi itu saya memutuskan untuk memaksimalkan waktu yang singkat dengan HANYA akan mengunjungi Phnom Penh Royal Palace, Tuol Sleng Genocide Museum, Choeung Ek Genocidal Center, dan National Museum of Cambodia sebelum beranjak ke Siem Reap.
Setelah berembuk perkara rute perjalanan, kondisi lalu lintas, dan jam buka museum di Phnom Penh dengan Sam, supir tuk tuk yang menemani berkeliling; kami sepakat untuk memulai perjalanan dari Royal Palace dan mengakhirinya di National Museum.
Saya sampai di depan loket tiket saat para pemandu Royal Palace ramai berkumpul di dekat loket karena pengunjung masih sepi. Sebelum membeli tiket, saya memastikan dulu kepada ibu yang duduk di balik kaca, celana saya lolos screening untuk masuk ke Royal Palace atau tidak? Jangan sampai 7 USD melayang, tapi sampai gerbang tak diloloskan petugas karena pakaian dirasa tak pantas.

The Royal Palace of Phnom Penh atau Bahasa Khmer-nya Preah Barum Reachea Veang Chaktomuk Serei Mongkol adalah komplek kediaman resmi raja dan keluarga kerajaan Kamboja. Dibangun pada 1866 – 1870 semasa kekuasaan Raja Norodom, kakek buyut Raja Norodom Sihamoni – Raja Kamboja sekarang – setelah memindahkan ibukota kerajaan dari Oudong ke Phnom Penh.
Saya menampik tawaran 2 (dua) orang mas – mas pemandu yang manis bergantian menawarkan diri untuk menemani berkeliling. Tujuan utama mampir ke Royal Palace pagi itu menyambangi peristirahatan Kantha Bopha dan ayahnya, Kakek Sihanouk! Tak perlu pemandu, jalannya mengikuti petunjuk di selebaran saja (dan kata hati 😉 )

HRH Samdach Preah Ang Mechas Norodom Kantha Bopha a.k.a Puteri Kantha Bopha adalah puteri kesayangan Norodom Sihanouk dan Sisowath Pongsanmoni. Ia lahir pada 16 Agustus 1948. Lima tahun lebih muda dari Buppha Devi, kakaknya.
Kantha Bopha meninggal semasih kecil, saat usianya masih 4 (empat) tahun, lima bulan sebelum Norodom Sihamoni, adiknya, lahir; karena leukemia. Saking sayangnya, Kakek Sihanouk tak mau jauh – jauh dari Khanta Bopha meski puterinya telah tiada. Kemanapun Kakek Sihanouk pergi, ia selalu membawa serta abu Kantha Bopha yang tersimpan di dalam guci emas.

Dua tahun setelah kepergian Kantha Bopha, Kakek Sihanouk membangun sebuah stupa untuk menyimpan abu Kantha Bopha sekaligus sebagai monumen peringatan di pekarangan Wat Preah Keo Morokat (Silver Pagoda), di samping Royal Palace. Siapa pun yang merindukan Kantha Bopha, bisa mengunjungi tempat itu, dan mendoakannya.
Tiga tahun kemudian, di 1963, pemerintah Kamboja membangun rumah sakit untuk anak – anak di Phnom Penh yang diberi nama Kantha Bopha Children’s Hospital. Sewaktu Khmer Merah mengambil alih kekuasaan di Kamboja, rumah sakit itu hancur. Pada 1991, ketika pemerintah Kamboja berencana untuk membangun kembali Kantha Bopha; Sihanouk meminta dengan sangat agar Beat Richner, dokter anak dari Zurich yang pernah ditugaskan di rumah sakit tersebut pada 1974 – 1975 oleh palang merah Swiss (SRC); pulang ke Phnom Penh memegang proyek pembangunan (kembali) Kantha Bopha.

Pada 1992 sebelum kembali ke Kamboja, dokter Richner mendirikan Kantha Bopha Foundation yang kemudian menjadi yayasan yang menaungi operasional Kantha Bopha yang memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada anak – anak Kamboja.
Dokter Richner menghembuskan napas terakhirnya pada 9 September 2018 di Zurich. Setelah dikremasi, abunya diterbangkan dari Zurich, dan disimpan di stupa yang dibuat untuk mengenangnya di pekarangan depan Kantha Bopha Siem Reap, Jayavarman VII Hospital. Sejak kepulangannya ke Kamboja hingga akhir hidupnya, dokter Richner memberikan perhatian penuh pada Kantha Bopha. Sebagai pemain cello, dokter Richner sering menghibur pasiennya dengan bermain cello di selasar Kantha Bopha. Bahkan sering pula membuat konser amal demi menggalang dana untuk operasional Kantha Bopha.

Di perjalanan dari Angkor Wat ke penginapan di Siem Reap tempo hari, saya melihat baliho besar berisi wajah dokter Richner masih terpasang di depan Kantha Bopha. Kepergian dokter Richner meninggalkan duka yang dalam tak hanya bagi Kantha Bopha, tapi juga bagi anak – anak, pasien dokter Richner pun orang tua mereka karena kedekatannya pada pasien – pasien kecilnya.
Saya yang sebelumnya tak mengenal beliau kan jadi penasaran, kenapa ada baliho isinya gambar bule dipajang di depan rumah sakit anak di Siem Reap? Rasa penasaran yang membuat saya jadi paham kenapa menampik jasa mas – mas pemandu di Royal Palace. Dari pengamatan sewaktu berlama – lama di sekitar Silver Pagoda, sebagian pemandu itu akan pamit pada tamu – tamunya sesampai di pekarangan Silver Pagoda. Mungkin memang aturan untuk pemandunya begitu? Adakah mereka bertutur tentang Kantha Bopha?
Pada 2013 setelah jasadnya diperabukan, Kakek Sihanouk kembali dipersatukan dengan Kantha Bopha, puteri kesayangannya. Sesuai permintaan terakhirnya, abu Kakek Sihanouk sebagian disebar di sungai Tonle Sap yang mengalir di depan Royal Palace. Sebagian lagi ditempatkan di dalam guci emas dan disimpan di Kantha Bopha Memorial Stupa.

Sebagai pejalan yang senang berlama – lama di museum, berkeliling sendiri di Royal Palace lebih menyenangkan. Jika ingin mendapatkan cerita bangunan ikonik yang ada di lingkungan Royal Palace seperti The Throne Hall, Moonlight Pavilion, Khemarin Palace, dan lainnya dari pemandu; pakai taktik! Berjalanlah mendekat ke kelompok yang dipandu pemandu berbahasa Inggris dan pura – pura memotret dekat – dekat mereka 🙂
Tentang Tuol Sleng dan Choeung Ek ceritanya menyusul, ya. Semoga tak lama – lama mengantre dituangkan dari ingatan. Untuk National Museum, tunggu perjalanan nanti bila kembali ke Kamboja (lagi) karena ketiga tempat sebelumnya sudah menyita banyak waktu berkeliling apalagi Choeung Ek. Ada alasan untuk kembali ke negeri Kakek Sihanouk, kan? saleum [oli3ve].
Ikut ngadem ikutan tur mbak Olive, menyerap spirit RS anak Kantha Bopha. Terima kasih mbak Olive.
Aduh, saya jadi kangen ‘pulang’ ke Kamboja hehehe…
mbaaak, dirimu ngomong ke Kamboja dengan kata “pulang” sama kek aku kalo ke Aceh bilang mudik wkwkw
btw, template kita sama ya 🙂
wkwkwk… kata pulang itu memang magis yaa… gak bisa dibantah kalo emang berasa pulang kan kalo kesana… 😀 😀