Duluuu, saya berpikir Vietnam itu benar – benar seperti Indonesia jaman 70-80an karena mendengar cerita orang – orang yang pernah ke sana, katanya begitu. Karenanya waktu berencana untuk melakukan perjalanan ke Vietnam, sempat menghitung kancing baju: jalan – tidak – jalan – tidak – JALAN! Yup, jalan meski sendiri agar bisa melihat dengan mata sendiri keseharian di negeri Paman Ho itu.
Setelah memantapkan hati, barulah memikirkan itinerary terutama memilah tempat – tempat menyenangkan yang ingin dikunjungi selama di sana. Masalahnya, saya golongan pejalan yang malas mendatangi tempat – tempat yang dibanjiri pengunjung yang tak ingin ketinggalan kereta karena telat mengunjungi tempat yang sedang menjadi perbincangan orang ramai. Sementara jika bertanya ke Om Gugel, baiknya kemana ya? pasti jawabannya Top 10 bla .. blaa .. blaaa .. , Top 20 dubi dubi dam .. dll; yang isinya informasi seputar tempat – tempat itu juga. Kalau sudah begitu, biasanya saya mengikuti kata hati saja memilih “menyesatkan” diri.
Di Hanoi tempo hari pun begitu. Setelah mengunjungi tempat – tempat yang memang sudah ditargetkan; saya menikmati berjalan kaki sambil berkeliling – keliling kota, hendak melihat – lihat keramaian yang ada. Saya panggilkan becak, kereta tak berkuda eh .. becak! becak! Coba bawa saya! Ups. Maaf kan, selagi menulis ini di kedai kopi, terbawa suasana mendengar candaan mbak – mbak mengusir jenuh karena kedainya sepi. Kalau ramai saya tak akan duduk di situ kan? 🙂
Hanoi Backpackersuite Hostel tempat saya menginap di Hanoi, lantai duanya sejajar dengan rel kereta api. Bahkan dari jendela kamar saya di lantai empat, pemandangannya rel kereta. Dan, sepanjang ingatan saya selama di hostel, kereta melintas dua kali di saat saya baru saja terjaga dari mimpi di pagi hari. Berisikkah? Enggak! Buat saya suaranya pengganti alarm, pengingat waktu untuk segera bangkit dari tempat tidur.
Sejarah perkeretaapian di Vietnam dimulai sejak Prancis membangun jalur kereta api di wilayah utara Hanoi – waktu itu masih disebut Tonkin – yang menghubungkan Phu Lang Thruong di Vietnam dengan Lang Son di perbatasan Cina pada 1880 untuk memudahkan pergerakan militernya, mengangkut logistik, juga manusia.
Di wilayah Vietnam sendiri, kehadiran kereta api ditandai dengan dibangunnya jalur kereta api oleh Prancis (juga) dari Saigon ke My Tho pada 1885 lalu disusul dengan pembangunan jalur kereta api Hanoi – Dong Dang pada 1901. Sedangkan jalur kereta yang menghubungkan Hanoi dan Saigon (sekarang Ho Chi Minh City) baru beroperasi pada 1936 hingga terputus oleh berpisahnya Vietnam Utara dan Vietnam Selatan pada 1954. Di Desember 1976, setahun setelah reunifikasi Vietnam; jalur ini pun dibuka kembali untuk menghubungkan utara – selatan yang kemudian dikenal sebagai jalur Reunification Express.

Dahulu, wilayah yang dilintasi jalur kereta di Hanoi ini bukanlah kawasan pemukiman. Seabad berlalu, seiring pertumbuhan kota serta pertambahan penduduk; bantaran rel kereta pun menjadi tempat untuk mendirikan rumah dan tempat usaha. Jadilah selama lebih dari setengah abad, kereta api yang keluar/masuk dari/ke stasiun Hanoi melintas di tengah – tengah kota tepatnya di kawasan Old Quater Hanoi.
Siang itu, dalam perjalanan pulang meluruskan badan sebentar ke hostel; saya sengaja mengambil rute yang berbeda dengan biasanya. Dari Flag Tower, saya berjalan lurus – lurus saja menyusuri jalan Dien Bien Phu terus ke Tran Phu hingga melewati pertigaan Ly Nam De. Biasanya, kalau sudah sampai di Ly Nam De, saya akan berbelok ke kiri tapi karena penasaran melihat orang – orang asing berkalungkan kamera dan beberapa mengangkat – angkat tongsis hilir mudik di tengah jalan tak jauh dari pertigaan itu; saya pun mendekat. Ternyata, eng ing eng … itu Hanoi Train Street! Destinasi wisata (tak resmi) instagenik di Hanoi yang sedang ramai dikunjungi turis demi bergambar di sekitar rel kereta. Yasudah, saya mampir sebentar untuk melihat – lihat. Baru pada hari terakhir di Hanoi sebelum turun ke Vietnam tengah, saya kembali ke sana duduk – duduk di salah satu kedai memesan secangkir ca phe thrung (kopi telur khas Hanoi) dan semangkuk mi instan (yang harganya aduhai tapi rasanya hambar) untuk kudapan sore sembari mengamat – amati kelakuan pengunjung di sepanjang rel kereta api.

Hanoi Train Street adalah kawasan pemukiman padat yang dipisahkan oleh rel kereta api. Tempat yang melejit menjadi tujuan bergambar sejak para pegiat di media sosial ramai – ramai memasang gambar berswafoto di lokasi tersebut. Di kiri kanan rel kemudian bermunculan kedai – kedai kopi, resto, dan bar kekinian yang dikelola anak – anak muda dengan bangku – bangku dan meja – meja pendek khas Vietnam sebagai tempat duduk pengunjung menikmati secangkir ca phe thrung atau sebotol bir dingin; menunggu kereta melintas. Ketika suara peluit kereta terdengar dari kejauhan, bangku/meja buru – buru disingkirkan, dan pengunjung bergegas berdiri rapat – rapat ke dinding kedai bersiap mengabadikan momen kereta lewat.
Berdasar data yang dikeluarkan Departemen Pariwisata Vietnam per September 2019, angka kunjungan wisawatan asing ke Vietnam sebesar 12,8 juta. Dari angka tersebut, 4,7 juta mengunjungi Hanoi dengan 5 (lima) negara penyumbang angka terbesar dari Cina (3,9 juta), Korea Selatan (3,1 juta), Jepang (712,532), Taiwan (674,771), dan Amerika (561,113). Tenang, Indonesia menyumbang 79,419, berada di nomor enam penyumbang angka kunjungan wisatan asing terbesar ke Vietnam.
Hanoi Train Street salah satu yang terdongkrak pamornya karena media sosial. Kawasan yang dulu biasa saja dalam artian aktifitas dan kehidupan warganya berjalan wajar – wajar saja hingga gambar – gambar tentangnya bermunculan di akun – akun media sosial pejalan. Tempatnya pun mulai ramai dikunjungi. Pengunjung rela antre demi mendapatkan gambar diri serupa dengan gambar yang mereka lihat. Tak jarang, ada saja pengunjung yang bandel melakukan aksi foto dengan tidur – tiduran di atas rel, tak hirau dengan kehadiran kereta api. Tentu saja hal ini menimbulkan kekhawatiran bahkan dari beberapa berita yang saya baca, pernah seorang masinis TERPAKSA melambatkan laju kereta dan menghentikan kereta secara mendadak karena ada orang yang tak juga bergeser dari lintasan kereta ketika keretanya mendekat. Wajarkah? TIDAK!
Berpikir serius tentang KESELAMATAN, pemerintah Vietnam atas desakan dinas perkeretaapian, perhubungan, dan pariwisata; memutuskan melarang dan menutup kawasan Hanoi Train Street sebagai lokasi berswafoto per 12 Oktober 2019 dan memerintahkan semua kedai – kedai kekinian yang ada di bantaran rel itu DITUTUP. Banyak dari mereka yang membuka kedai kopi di sana, baru beberapa bulan memulai usahanya karena melihat keramaian dan tergiur target pasar meski sebenarnya tak semua yang datang ke Hanoi Train Street akan mampir untuk membeli kopi dkk. Meski sebagian besar kedai – kedai itu tak memiliki ijin usaha; yang dirugikan siapa? Warga lokal! Modal belum balik, keuntungan masih terlalu jauh.
Kehadiran media sosial adalah pisau bermata dua bagi perkembangan pariwisata suatu daerah. Menjadi ramai dan baik untuk membantu ekonomi warga lokal baik ataukah sekadar melahirkan over tourism (= turisme massal)? Paham kan istilah over tourism? Yup, fenomena yang terjadi ketika jumlah pengunjung destinasi wisata menurunkan pengalaman berwisata yang berdampak pula pada kualitas hidup warga lokal.
Sebagai pejalan dan pengguna media sosial. pernahkah terpikir perkara yang saling berkelindan di atas? Ataukah kamu lebih mengutamakan ego demi konten berembel – embel kreatif dan tampilan gambar yang berbeda dari yang lain untuk diunggah di media sosial dan berharap mendapatkan banyak acungan jempol? Saleum [oli3ve].
Kasian yg jualan di sana ya, terutama yg belon balik modal
iya, kasihan baca kisahnya
Untung aku nggak terlalu minat ke sana, rasanya sebelas dua belas sama di sini 😀
Aku setuju dengan keresahan dinas perkeretaapian dan perhubungan, cuma mungkin supaya solusinya win win, cukup ditertibkan aja yang foto-foto.
masalah lain, penertiban tempat usaha yang tak memiliki ijin usaha. kalo itu tetap berdiri, pengunjung akan tetap datang dan .. pasti foto2
aku pengen ke Hanoi tapi gak foto-foto di sini sih, pengen menikmati kotanya aja…tapi bener banget kata kak Olive media sosial memang pisau bermata dua untuk dunia pariwisata, mudah-mudahan ada win-win solution atas permasalahan ini.
foto – fotonya di kedai kopi aja kalo gitu hehe