Sa Pa, kota sejuk di utara Vietnam dekat perbatasan Tiongkok, menarik perhatian ketika gambarnya menyapa lewat laman mesin pencari sewaktu mencari – cari destinasi wisata tak biasa untuk disambangi di Vietnam. Dalam sekejap informasi tentangnya dan bagaimana menjangkaunya pun dikumpulkan hingga rencana perjalanan Vietnam tempo hari siap untuk dieksekusi.

Sa Pa adalah destinasi wisata seksi yang banyak dilirik oleh pejalan dari Amerika, Australia, dan Eropa. Tak sedikit dari pejalan tersebut yang datang ke Sa Pa bukan sekadar datang untuk menikmati kesejukan dan keindahan lansekapnya tapi juga untuk mempelajari kultur dan melihat dari dekat keseharian etnis minoritas yang mendiami Sa Pa.
Bagi saya yang lahir dan besarnya mengakrabi alam pegunungan di Toraja, diajak trekking 4 (empat) jam ke Hau Thao, salah satu perkampungan etnis Hmong di lembah Muang Hoa saja bikin takjub. Bagaimana mereka yang di negara asalnya terbiasa melihat gedung pencakar langit dan hiruk pikuk kota; tak bersemangat naik bukit turun lembah, melewati pematang sawah, lalu duduk merendam kaki di aliran air sungai tak jauh dari kerbau – kerbau yang juga asik berendam? Bahkan ada yang memang mengatur perjalanannya untuk tinggal satu dua malam di rumah – rumah penduduk setempat.

Tentu saja, para pejalan domestik pun tak ketinggalan bertandang ke Sa Pa meski penggerak dan tujuan berjalannya berbeda. Kecenderungan mereka datang ke Sa Pa lebih untuk menikmati dinginnya dengan puncak Fansipan sebagai daya tariknya.
Nama Sa Pa (Cha Pa) mulai dikenal pada awal 1900 ketika Prancis memasuki wilayah Lao Cai dan membangun markas militernya di sebuah bukit di kaki gunung Ham Rong. Alamnya yang hijau dengan hawa sejuknya membuat Sa Pa dibangun sebagai destinasi medis dan pelesir bagi orang – orang Prancis yang memerlukan tempat bersantai dan beristirahat dari kepenatan Hanoi. Berbagai fasilitas pun dibangun seperti rumah – rumah peristirahatan, gereja, sanatorium militer, hotel, vila, juga kantor – kantor cabang pemerintahan.

Kota kecil itu kemudian berkembang dan menjadi tujuan berlibur di musim panas. Untuk memenuhi kebutuhan persediaan makanan, Prancis mengijinkan orang – orang dari etnis Kinh (suku asli Vietnam) untuk datang membuka usaha pertanian dan berdagang. Jalur perdagangan dan transporasi darat – kereta api yang menghubungkan Hanoi dan Lao Cai serta jalan raya antara Lao Cai dan Sapa – pun dibangun demi memudahkan pedagang dari Tiongkok untuk datang berdagang.
Pada awal 1947 ketika Viet Minh menyerang Sa Pa, mereka menghancurkan fasilitas publik yang dibangun oleh Prancis termasuk penginapannya. Tak lama, Prancis kembali menduduki Sa Pa. Namun ketika Prancis akhirnya angkat kaki dari sana; mereka tega mengebom Sa Pa dari udara, menghancurkan kenangan sebagian besar fasilitas yang tersisa yang pernah mereka bangun. Sa Pa ditinggalkan dalam keadaan luluh lantak, dibiarkan terbengkalai hingga awal 1960an pemerintah Vietnam Utara meminta pemerintah Lao Cai membenahi Sa Pa kembali.
Saat berjalan – jalan di pusat kota Sa Pa, saya mendapati 4 (empat) tinggalan masa yang tak ikut hancur karena perang. Ho Chi Minh (HCM) Friendship Monument, Liberation of Sa Pa Monument, Sa Pa Rock Church (Katedral Sa Pa), dan sebuah bangunan lama yang kini menjadi kantor Lao Cai Tourist Information & Promotion Center. Keempat tempat ini berdiri mengelilingi amphi theatre; Quang Trong Square, tempat manusia tumpah di pagi dan petang hari.
HCM Friendship Monument dan Liberation of Sa Pa Monument berdiri di Xuan Vien Park, taman di seberang kanan Katedral Sa Pa. Tak banyak informasi yang bisa didapatkan tentang kedua monumen ini mengingat Sa Pa baru berbenah di 1960. Pula, tak banyak yang peduli selain menjadi tempat berkumpul dan berolah raga sehingga keberadaannya serupa bayangan saja. Namun bila memerhatikan tanggal yang tercantum pada kedua monumen, dapat diperkirakan waktu pembangunan kedua monumen tersebut dengan mengaitkannya pada perjalanan lalu Sa Pa (dan Vietnam Utara).

Pada salah satu sisi HCM Friendship Monument terpatri surat dari Paman Ho untuk anak – anak di Sa Pa yang ditulis pada batu marmer hitam. Surat itu bertanggal 19 November 1946. Artinya, monumen dibangun pada masa setahun kemerdekaan Vietnam Utara dari Prancis juga setahun Paman Ho sebagai presiden. Sedang Liberation of Sa Pa Monument bertanggal 3 November 1950, dua tahun sebelum Prancis hengkang dari Sa Pa.

Tentang Sa Pa Rock Church, informasi tentangnya sudah banyak diulas oleh pejalan yang telah bertandang ke Sa Pa juga agen – agen perjalanan wisata Vietnam. Gereja ini dibangun pada 1934 dan masih terus digunakan sampai hari ini sesuai dengan fungsi awalnya dibangun. Pada hari Minggu, di hari pertama menjejak di Sa Pa, saya menyempatkan masuk dan duduk di ruang ibadah. Niatnya ingin ikut misa sore, tapi kemudian beranjak keluar karena yang hadir perempuan sepuh semua ditambah pula tak paham bahasa pengantarnya.
Sa Pa kembali bergairah pada 1995 setelah pemerintah provinsi Lao Cai yang membawahi distrik Sa Pa menerapkan strategi pembangunan wilayahnya dengan mengembangkan sektor pariwisata sebagai ujung tombak perekonomiannya dimana Sa Pa sebagai destinasi wisata utamanya. Investor berdatangan, pembangunan pun gencar di sana sini.

Di seberang Sa Pa Rock Church, sedikit menjorok dari jalan Fansipan; Lao Cai Tourist Information & Promotion Center menempati sebuah bangunan permanen dua lantai yang tak akan kelihatan bila hanya dilongok dari jalan raya, terhalang oleh pepohonan dan payung – payung kedai kopi yang ada di lantai bawah. Saya tak sengaja mampir melihat – lihat bangunan dan isinya yang menyenangkan ketika mengambil jalan potong saat berjalan turun dari Museum Sa Pa hendak ke pasar. Keasikan lihat – lihat, lupa tak sempat mengabadikan suasana di luar dan di dalamnya 🙂
Tahun depan, pemerintah Lao Cai menargetkan dapat menggapai 4 juta angka kunjungan wisata yang datang ke Sa Pa dan 8 juta pada 2030.
Saya teringat obrolan dengan Mama Lili, perempuan Hmong yang menjadi pemandu trekking ke Hau Thao, tentang perkembangan pariwisata di Sa Pa juga pembangunan yang tiada henti dalam 20 tahun ini, menjadikan Sa Pa yang dulu senyap; bising. Pada awal 1990 keluarganya sangat miskin, dan ia tidak melanjutkan sekolah karena tak ada biaya. Ketika pariwisata mulai berkembang di Sa Pa, ia bersama dengan perempuan – perempuan dari etnis minoritas setiap akhir pekan turun ke kota untuk menawarkan kerajinan tangan yang mereka buat kepada pejalan.

Keadaan itu terus berlanjut hingga anak – anaknya lahir, mereka pun tak bisa ke sekolah. Alasannya, sekolah jauh dan tak ada biaya. Untuk mendongkrak perekonomian keluarganya, Mama Lili banting setir. Ia memberanikan diri menjadi pemandu wisata dengan berbekal bahasa Inggris ala kadarnya yang ia pelajari saat menjadi penjual souvenir. Kini, Mama Lili bisa bercakap dengan bahasa Inggris yang lancar. Ia pun bersyukur kehidupan ekonomi keluarganya terdongkrak dari pendapatan yang dia peroleh sebagai pemandu wisata dan mengelola homestay di rumahnya. Untuk itu, Mama Lili pun mewajibkan empat orang cucunya harus bersekolah setinggi – tingginya agar tak serupa nenek dan orang tuanya.
Namun di sisi lain, Mama Lili juga khawatir melihat gencarnya pembangunan yang mulai merambah kampung – kampung etnis minoritas. Di perjalanan pulang dari Hau Thao, beberapa kali kami melewati bukit – bukit kapur yang sedang dikeruk alat berat, lahan lapang yang berdebu, dan suara mesin bersahut – sahutan mengetuk bakal dinding – dinding kamar hotel mewah yang sedang dibangun di sekitar Ta Van. Dilema.

Tanpa mengesampingkan motivasi para pejalan mengunjungi Sa Pa dan promosi yang gencar dilakukan oleh dinas pariwisasta Lao Cai, dalam hati saya hanya berharap, pembangunan yang berjalan terkontrol sehingga tata kotanya tak semrawut. Tak merusak lahan hijau serta tetap memerhatikan/menjaga budaya dan kehidupan etnis minoritas yang ada di Sa Pa yang telah merekatkan hati pada Sa Pa, saleum [oli3ve].
Aku ingin ke Sa Pa saat musim dingin. Siapa tahu dapat salju 😀
Ingin naik juga ke Fansipan dengan cable car.
Bahkan di kota sekelas Sa Pa pun yang ke gereja cuma sesepuhnya saja ya. Mungkin anak-anak mudanya sudah tak beragama. Atau jangan-jangan itu jadwal ibadah kaum wanita lansia hihi.
tempo hari saya naik fansipan lagi dingin dan berkabut, gak keliatan apa2 haha
kayaknya emang salah jadwal deh .. anak mudanya sepertinya ibadah pagi 🙂
Gapapa kak, yang penting kan perjalanan dan pengalamannya dapet 🙂
Kalau lagi jalan-jalan, selalu tertarik buat mampir ke gerejanya dan kali ini aku jadi penasaran sama Katedral Sa Pa. Bukan cuma itu, kepengin juga ngerasain trekking dan ngelihat Sa Pa dari ketinggian. Rasanya adem sekali~
hayuklah ke Sa Pa, pasti deh jatuh hati 🙂
Sudah masuk ke daftar destinasi impianku. 😀