Tenti! kata yang akrab di kuping saat berada di Sapa. Kata yang akan terlontar dari mulut bayi yang baru mulai belajar bicara hingga perempuan setengah baya yang dijumpai di perjalanan ketika mereka tersadar dijadikan obyek gambar. Tenti! kata yang meluncur dari mulut seorang anak perempuan yang sebelumnya saya ajak bermain (dan bergambar tentunya haha) di Cat Cat Village. Dibisikkan oleh seorang perempuan dewasa – ibu dari anak perempuan itu – yang duduk bersembunyi di balik pohon tak jauh dari tempat anaknya bermain lewat bahasa isyarat serupa suara burung hantu. Ketika siulan burung hantu terdengar, kata tenti pun akan meluncur dari mulut si anak.
Saya mengunjungi Cat Cat (baca: kat kat) Village – kampung etnis Black Hmong, salah satu etnis minoritas yang tinggal di lembah Muong Hoa, Sapa, Lao Cai, Vietnam bagian utara yang berada dekat dengan daratan Tiongkok – di jelang sore pada hari pertama di Sapa. Cat Cat telah dikelola menjadi kampung wisata ekoturisme dan jadi destinasi favorit bagi pejalan karena letaknya tak jauh dari pusat kota Sapa. Jika berjalan kaki dengan langkah panjang – panjang dari Quang Truong Square dan sesekali berhenti untuk memotret, hanya memerlukan waktu 30 menit saja untuk sampai di gerbang kampung Cat Cat. Sebelum turun ke perkampungan, setiap pengunjung harus membayar tiket masuk (HTM) sebesar VND 70K/orang. Menurut informasi, HTM itu diperuntukkan bagi warga di kampung Cat Cat yang telah membuka kampung (dan rumahnya) untuk dikunjungi orang asing.
Salah satu pesan penting yang saya ingat baik – baik tercantum di selebaran berisi informasi dan jalur trekking di Cat Cat yang dibagikan kepada setiap pengunjung ketika membeli tiket masuk Cat Cat jelas tertulis, please do not give money or candy to the local children as this may encourage them to drop out of school. Di saku celana saya ada beberapa lembar VND 10K. Sengaja diselipkan di situ untuk memudahkan ketika diperlukan dengan cepat tanpa harus membuka dompet. Tapi sebagai pengunjung yang taat pada aturan, hati saya tak tergerak sedikit pun dengan belas kasihan untuk merogoh kantung celana dan memberikan apa yang diminta anak perempuan itu.

Dengan muka yang sering dituding serupa pembunuh berdarah dingin, saya punya cara tersendiri untuk meluluhkan hati anak – anak. Anaknya saya ajak bercanda. Karena dia hanya paham bahasa Hmong, saya pun mengajaknya berbincang dengan bahasa .. INDONESIA dong! Tentu saja dia tak paham rentetan kata yang keluar dari mulut saya, sehingga kami pun mulai menjadi pusat perhatian pengunjung lain karena tempat kami bermain berada tepat di sisi kanan jalur trekking. Dua anak ini memang sengaja didandani dan ditempatkan ibunya di ayunan untuk menarik perhatian pengunjung. Saya pegang tangannya, mendekatkan muka ke mukanya agar dia dapat memerhatikan gerak mulut, dan mendengar suara saya dengan jelas. Sesekali mata kami bersirobok. Tak lama, dia luluh. Senyumnya melebar. Di saat yang sama, suara berisik serupa siulan burung hantu makin nyaring terdengar dari balik pohon. Ibu si anak mulai gelisah.
Dari tangan kanannya anak perempuan itu menyodorkan gelang. Trik kedua dia keluarkan, menawarkan suvenir untuk barter jasanya sebagai cameo. Tenti! Kata itu kembali terlontar dari mulutnya. Apaaan tenti, tenti? Si anak tak tahu, saya telah melakukan survey kecil – kecilan secara acak di pasar dan kios – kios suvenir. Harga wajar untuk seutas gelang Hmong VND 5K. Tak sampai hati, saya beri dia VND 10K untuk satu gelang yang diikatkannya langsung di pergelangan tangan kiri. Tak lupa kembali mengingatkan dirinya untuk tidak asal meminta uang pada pengunjung yang gemas melihat mereka. Kepalanya mengangguk – angguk, entah mengerti entah pula karena ke dalam tangannya sudah diselipkan uang.

Malamnya sebelum kembali ke penginapan saya mampir menikmati secangkir kopi di sebuah kedai kopi di jantung Sapa, dua orang anak Hmong lainnya bolak – balik mendatangi kedai tempat saya duduk. Saya menebak usia anak yang paling besar tak lebih dari 8 tahun, adiknya tentu lebih muda darinya. Di punggung mereka masing – masing memanggul tas serupa ransel, di dalamnya tertidur adik mereka yang masih bayi. Apa yang mereka lakukan hingga masih betah berkeliaran pada malam hari di jalanan? Apakah orang tuanya tak mencari?
Sapa, rumah bagi 5 (lima) etnis minoritas Vietnam: Hmong, Red Dao, Tay, Giay, dan Phu La. Mereka (terutama perempuannya) dengan mudah dikenali dari pakaian tradisional yang dikenakan. Misal orang Hmong pakaiannya didominasi warna gelap terutama hitam, sedang Red Dao dengan mudah ditandai dari tutup kepalanya yang berwarna merah. Di keseharian mereka hidup dari bertani. Namun sejak pariwisata menyentuh Sapa, roda kehidupan mereka pun berubah. Perempuan – perempuannya yang gigih, banyak yang turun ke jalan menjadi penjaja suvenir dan/atau pemandu wisata. Sedang kaum lelakinya tetap tinggal di rumah bertani meski ada juga yang menjadi ojek motor.
Anak – anak mereka pun tak ketinggalan menjadi pencari nafkah buat keluarga, dibawa ibunya ke kota. Tak jarang ada anak di bawah 10 tahun yang terlihat berlarian di taman, menyeberang jalan tanpa tengok kiri kanan, atau hilir mudik di tempat – tempat yang ramai dikunjungi pejalan sembari memanggul bayi di punggungnya dari pagi hingga malam. Melihat booming-nya pariwisata Sapa, para orang tua pun melihat peluang yang baik dengan memanfaatkan anak – anaknya sebagai pengais rejeki dari kantung turis yang ramai berdatangan ke Sapa. Dan tenti (= twenty), tarif dua puluh ribu dong (VND 20K); angka yang sepertinya telah “disepakati” untuk dikenakan sebagai “balas jasa” mereka ketika sadar dijadikan sasaran kamera pejalan di Sapa. Angka yang sama mereka patok ketika menawarkan suvenir kecil kepada turis yang mereka jumpai.

Di hari lain ketika berjalan – jalan di Xuan Vien Park, saya bersua dengan Mama Ca dan Mama Lili, dua perempuan Hmong yang menawarkan jasa sebagai pemandu untuk trekking dan melihat lebih dekat kehidupan di perkampungan Hmong yang masih natural di lembah Muong Hoa. Karena saya memilih untuk ikut Mama Lili, ia harus membayarkan sejumlah DONG sebagai pengganti jasa Mama Ca – yang notabene sahabat dan tetangganya – karena Mama Ca yang pertama mengajak saya ngobrol. Persahabatan dan bisnis macam apa lagi ini?
Kami berjalan 4 (empat) jam dari Sapa untuk sampai di Hau Thao, kampung Mama Lili. Melalui jalan beraspal hingga menyusuri jalan kampung yang becek, jalannya naik turun, melewati kebun teh, tembakau, kebun bunga milik orang Vietnam – di Sapa penduduk mayoritasnya adalah etnis Kinh yang disebut sebagai orang Vietnam asli – sawah terasering, sesekali melewati kandang kerbau, dan sesekali bertemu dengan warga lokal yang pulang dari sawah. Ketika sampai di satu ketinggian, Mama Lili berhenti. Dia menunjuk ke arah Sapa dan mulai bercerita bagaimana Sapa yang tenang sebelum wisatanya booming dan Sapa sekarang yang bising. Di satu sisi, ia bersyukur kehidupan ekonomi keluarganya terdongkrak dari pemasukan yang dia peroleh sebagai pemandu wisata dan hasil mengelola homestay di rumahnya. Namun di sisi lain, ia khawatir melihat gencarnya pembangunan yang mulai meringsek ke kampung – kampung etnis minoritas. Dilema.

Sapa dengan mudah dapat dijangkau dari Hanoi, naik bus atau kereta api. Saya memilih untuk mencoba kedua moda transportasi ini. Berangkat dengan sleeper bus pk 21.45 dari Hanoi, tiba di Sapa pk 04.00 kurang lalu pulangnya dengan sleeper train pk 20.55 dari Lao Cai turun di stasiun Hanoi pk 04.30. Saran saya, jika tak mau repot, saat berangkat ke Sapa; pilihlah sleeper bus. Bus akan berhenti di Sapa, sedang kereta api hanya akan sampai di Lao Cai. Untuk sampai ke Sapa, dari Lao Cai masih harus menyambung sejam perjalanan dengan minibus (atau grabcar, taksi, minta jemputan dari hotel) yang tentu menambah biaya lagi kan? Jadi, jika ditilik dari segi ongkos, tentu lebih irit naik bus! Dari segi waktu, lebih hemat juga dengan bus. Baik tiket bus maupun kereta api saya pesan lewat daring seminggu sebelum terbang ke Vietnam. Tiket bus lewat Klook dan kereta api lewat Baolau. Satu lagi, e-ticket kereta harus ditukarkan dengan tiket fisik di stasiun Lao Cai sebelum berangkat.
Pariwisata Sapa berkembang pesat dalam 20 tahun ini. Awal 2016 SunGroup mulai mengoperasikan Fansipan Legend Cable Car yang menghubungkan Sapa dan the roof of Indochina; Fansipan, gunung tertinggi di Indochina. Dengan cable car, perjalanan mendaki gunung yang biasanya ditempuh 2 – 3 hari untuk sampai di ketinggian 3.143m, bisa dipangkas menjadi 20 menit saja. Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak pejalan yang penasaran untuk menjajal cable car terpanjang di dunia. Lalu di akhir 2018, SunGroup membuka The Hotel de la Coupole – MGallery by Sofitel, hotel bintang lima pertama di Sapa yang terkoneksi dengan Sun Plaza, mal megah yang berdiri gagah di seberang Museum Sapa yang lusuh. Semakin memudahkan lagi perjalanan pengunjung untuk sampai ke Sapa Station – stasiun awal untuk menuju ke Fansipan – karena di dalam mal ini, dibuka tiket box untuk perjalanan ke Fansipan sehingga pengunjung tak perlu lagi berkendara ke Sapa Station. Cukup masuk mal, beli dan bayar tiket perjalanan sebesar VND750K, lalu ikuti saja petunjuk arah di dalam mal. Adem.

Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Rough Guides pada 2018, Sapa berada di urutan keenam dari daftar 10 destinasi terbaik di Asia Tenggara. Suatu pencapaian yang wajar jika melihat antusias pejalan berdasarkan data stastistik yang dikeluarkan oleh pemerintah Lao Cai, pada 2016 angka kunjungan turis asing ke Sapa sebanyak 970.000 sementara penduduk Sapa pada saat itu tak sampai 60.000 jiwa. Wow, emejing? Kejadian deh apa yang disebut sebagai over tourism a.k.a turisme massal, fenomena yang terjadi ketika jumlah pengunjung destinasi wisata menurunkan pengalaman berwisata dan berdampak pula pada kualitas hidup warga lokal.

Sapa tak sendirian. Beberapa daerah di Indonesia pun mengalami hal yang sama kan? Yang menjadi pekerjaan rumah bagi pelaku wisata adalah apa yang akan diharapkan di masa datang bergantung pada apa yang dimulai dan dilakukan di hari ini. Bagi saya, ada alasan untuk kembali ke Vietnam dan menyapa Sapa tahun depan, saleum [oli3ve].
Dari awal baca aku udah ngebayangin aja pariwisata di Indonesia yang nggak beda jauh, ya. Eh, beda jauhnya dijumlah, sih.
begitulah kira – kira 😉
Komentar saya pertama adalah: saya pengin ketemu dan ngopi-ngopi sama Mbak Olive nih, hahaha. Kapan yaaa….
Di Indonesia pun, saya rasa juga tidak luput dari dilema turisme massal. Ketika saya mendapati sejumlah anak di beberapa daerah di NTT meminta uang jajan atau uang mainan kepada saya, saya tidak terlalu terkejut. Meskipun memang cukup ‘mbatin’, karena bisa jadi uang/materi menjadi sangat utama.
Dilema turisme massal, yg sering kena dampak adalah penduduk lokalnya karena mereka berpikir orang – orang yg ramai datang dari jauh ke kampungnya adalah orang yg membawa banyak uang, gak tahu kita nabung dulu buat bisa jalan 🙂
jadi mau ngopi dimana Rifky?
Iya, betul, Mbak. Wah cocok lanjut ngopi ini. Di mana, ya hahaha.
yuklaaah dimana, kemarin baru ngopi di warkop samping gerbang Lubang Buaya 😉