“Besok, kita jalan siang ke Pontianak,” titah kepala suku pemburu tatung sebelum pertemuan malam itu bubar dan semua beranjak ke kamar untuk packing. Kabar baik yang berkumandang pada malam terakhir di Singkawang itu membuat hati senang. Dia bersiap melompat kegirangan ketika didengarnya lanjutan pesan itu. Pk 03.30 kita bergerak ke kota. Jangan lupa semua barang langsung dimasukkan ke kendaraan. Heee? Apa tak sebaiknya malam ini kita dirikan saja tenda di kota om? #cegluk
Meski tidur hemat karena baru lelap di jelang pagi, kami meninggalkan penginapan saat tamu – tamu lain yang semalaman begadang (sebagian) baru saja lelap di balik selimut. Demi menghalau kantuk, sesampai di kota, secangkir kopi hitam panas dipesan di gerobak kopi yang buka 24 jam di samping vihara Tri Dharma Bumi Raya. Siang masih panjang. Pagi pun bergerak sangat lambat. Untunglah sesuai rencana awal, usai Mengejar Tatung; pk 14 lewat kami meninggalkan Singkawang menuju Pontianak.
Tak banyak yang dilakukan di perjalanan selain tidur, tidur, dan tidur lagi. Hitung – hitung membayar waktu tidur yang sedikit di malam – malam sebelumnya meski tak tuntas. Masih ada sedikit harap yang diam – diam dirapalkan dalam hati semoga tersedia waktu untuk mampir sebentar di Tugu Khatulistiwa sebelum masuk Pontianak. Sayang sekali jika di perjalanan bolak – balik melewati ikon sebuah kota tapi tak diniatkan untuk mampir kan? Jika itu terjadi, akan kusalahkan hujan yang menderas dan gelap yang turun tergesa – gesa di awal perjalanan yang membuat kami urung mampir!
Terpujilah TUHAN, kesempatan itu menghampiri sebelum waktu berkunjung ke Tugu Khatulistiwa habis. Akhirnya bisa melihat dari dekat dan memegang tonggak Tugu Khatulistiwa yang selama ini hanya dibayangkan semenjak pertama kali mendengar tentangnya dari cerita ibu guru di ruang kelas semasa SD dulu. Senang. #makasihom
Menurut catatan Opzichter Wiese yang saya sederhanakan dari tulisan yang ditulis dengan tata bahasa menggemaskan – atau mengenaskan? – dan dipajang di salah satu bagian dinding di dalam Monumen Tugu Khatulistiwa;

pada 31 Maret 1928, satu ekspedisi internasional yang dipimpin seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda, datang ke Pontianak untuk menentukan titik /tonggak garis ekuator di kota Pontianak yang diikuti pembangunan konstruksi berikut:
- Tahun 1928 dibangun tugu pertama berbentuk tonggak dengan anak panah
- Tahun 1930 tugu disempurnakan, berbentuk tonggak dengan lingkaran dan tanda panah
- Tahun 1938 tugu asli dibangun kembali dengan penyempurnaan sesuai rancangan Frederich Silaban. Tugu asli hasil rancangan Silaban disimpan dan bisa dilihat di dalam bangunan Tugu Khatulistiwa yang ada sekarang
- Tahun 1990 tugu direnovasi dengan pembuatan kubah dan duplikat tugu yang ukurannya 5 (lima) kali lebih besar dari tugu aslinya. Bangunan ini diresmikan pada 21 September 1991 oleh Parjoko Suryokusuma, Gubernur Kalimantan Barat masa itu.

Silaban yang disebutkan di atas adalah Silaban yang juga merancang Masjid Istiqlal Jakarta, Stadion Utama Gelora Bung Karno, Monumen Nasional a.k.a Tugu Monas, Makam Raden Saleh, Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta dan masih banyak lagi karyanya. Sayang, namanya tak disebut dengan lengkap di informasi yang dipajang di Tugu Khatulistiwa.
Monumen Tugu Khatulistiwa
Jl Khatulistiwa, Batu Layang
Siantan, Kota Pontianak, Kalimantan Barat 78244
Telepon : +62 – 561 – 881643
Jam Operasional: pk 08.00 – 16.30 wib
HTM: GRATIS
Jika kamu pemburu momentum, datanglah ke Tugu Khatulistiwa disaat matahari tepat berada di garis khatulistiwa. Pada saat itu kamu bisa menyaksikan sebuah fenomena alam terjadinya titik kulminasi, peristiwa ketika matahari berada tepat di atas kepala membuat bayangan benda yang berada di sekitar tugu “hilang” sesaat dari permukaan bumi. Titik kulminasi terjadi dua kali setahun: pada 21 – 23 Maret dan 21 – 23 September.

Tugu Khatulistiwa tak jauh dari pusat kota Pontianak, sungguh sayang bila terlewatkan. Sebagai bukti telah berkunjung ke Tugu Khatulistiwa, kamu bisa meminta dibuatkan Sertifikat Perlintasan Khatulistiwa kepada petugas yang berjaga di sana, GRATIS. Saleum [oli3ve].
Ah, aku mau sertifikatnya kak Olive 🙂
di Sumbar juga ada tugu khatulistiwa tapi enggak dibikin sebagus ini sih hehe..
-Traveler Paruh Waktu
oh ya, terus penandanya apa?
wah ternyata ada juga sertifikatnya toh buat bukti kalau udah pernah berkunjung ke Tugu Khatulistiwa
haha iya, seperti kalau ke titik nol di Sabang