Ada keriuhan di Jakarta beberapa pekan ini yang mengarak banyak orang berlomba untuk tahu, melihat, dan menikmati sumber riuh. Tak hanya warga Jakarta tapi juga warga dari kota – kota tetangga dekat seperti Depok, Bekasi, dan Bogor. Obrolan antar kawan, keluarga, rekan kerja di keseharian pun tak lepas dari sumber riuh sehingga pertanyaan “Udah nyobain em-ar-ti belum?” sepertinya menjadi tanya yang wajib ditanyakan saat bersua. Bila dijawab dengan IYA biasanya akan meluncur keluhan dari lawan bicara “katanya ribet ya, mau pesan tiket GRATIS untuk uji coba aja mesti donlot aplikasi bukalapak” Keluhan ini saya dengar tak hanya dari satu orang, tapi dari beberapa orang yang ditemui di tempat yang berbeda.
Katanya .. kata si A, B, C .. kesannya jadi orang koq malas sekali mencari tahu informasi yang valid dan lebih senang mendengar kata orang? Bagaimana kalau mencoba langsung agar lebih nyata pengalamannya?
Mass Rapid Transit a.k.a Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, buah bibir yang ramai dibincangkan sebulan ini. MRT Jakarta diresmikan Joko Widodo, Presiden Indonesia, pada 24 Maret 2019 lalu. Sebelum tarif resmi diberlakukan, pengelola MRT Jakarta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menikmati perjalanan dengan Ratangga, nama moda transportasi baru di Jakarta itu TANPA dipungut ongkos perjalanan. Minggu lalu, selama 4 (empat) hari saya pun mencoba menumpang Ratangga dengan sengaja memilih waktu yang berbeda untuk melihat suasana pada jam – jam tertentu: pagi, jelang siang, siang (di waktu istirahat pekerja kantor), dan di akhir pekan dengan naik/turun di stasiun yang berbeda.

MRT Jakarta fase pertama menghubungkan Lebak Bulus – Bundaran Hotel Indonesia (dan sebaliknya) dengan waktu tempuh 30 menit saja melewati 7 (tujuh) stasiun layang dan 6 (enam) stasiun bawah tanah. Hari pertama mencoba MRT Jakarta, serupa calon penumpang lainnya WAJIB mencoba perjalanan dari ujung ke ujung, saya pun naik dari Bundaran HI, stasiun terdekat yang mudah digapai dari rumah dengan Transjakarta. Waktunya di saat anak sekolah masih belajar dan karyawan kantor baru mulai berkutat di meja kerja sehingga suasana di stasiun dan saat masuk ke dalam Ratangga pun terasa lega. Pulangnya, saya turun di stasiun Bendungan Hilir. Kali kedua, saya mencoba rute Blok M – Fatmawati – Bendungan Hilir, lalu Dukuh Atas – Lebak Bulus – Bendungan Hilir, dan yang terakhir Bendungan Hilir – Fatmawati – Dukuh Atas.


Tentu ada alasan kenapa memilih naik/turun di stasiun – stasiun tersebut. Bundaran HI adalah stasiun di jantung Jakarta dan menjadi stasiun incaran para calon penumpang MRT yang beraktifitas di tengah kota. Lebak Bulus selain menjadi stasiun paling selatan juga merupakan depo MRT; pusat kontrol, tempat parkir, dan perawatan Ratangga. Fatmawati ini stasiun yang dari peronnya bisa menikmati Ratangga berbelok dari/menuju Cipete. Di Blok M, stasiun MRT nyaris berdempetan dengan Blok M Plaza dan memiliki tiga peron. Stasiun MRT dan mal terintegrasi sehingga memudahkan penumpang yang baru turun dari MRT keluar dari stasiun masuk ke mal dan sebaliknya. Bendungan Hilir salah satu tempat mencari kuliner di Jakarta Pusat, karenanya saya memilih turun dan naik di stasiun Bendungan Hilir bertepatan dengan waktu makan siang.


Dukuh Atas adalah stasiun tempat banyak moda transportasi publik terintegrasi: MRT Jakarta, Transjakarta, commuter line, kereta ekspres bandara, dan angkutan umum reguler. Di pelataran atas stasiun juga memiliki taman yang tak terdapat di stasiun lainnya. Saran bagi yang hendak berpindah ke stasiun kereta bandara, gunakanlah pintu keluar ke stasiun KCI Sudirman. Dari pintu keluar ini ada eskalator naik sedang di pintu keluar ke stasiun kereta bandara yang seharusnya, HANYA tersedia tangga yang merepotkan penumpang yang menggeret koper. Tak apa kan jalan berputar sedikit daripada kaki gempor mendaki tangga yang menanjak 😉

Meski tata cara menumpang MRT pada prinsipnya serupa dengan penggunaan fasilitas publik yang lain, tetap saja muncul keriuhan karena pola tingkah beberapa penumpang yang di luar kewajaran. Banyak kelucuan – bahkan ada yang mengaku berlaku sedikit norak – yang tampak dan diperlihatkan warga ketika pertama kali mencoba MRT yang juga baru hadir di Jakarta (dan Indonesia). Dari yang senyum lebar – lebar ketika menuruni tangga stasiun dan melihat Ratangga muncul di peron, bersorak girang kala Ratangga keluar dari perut bumi dan pemandangan dari jendela menjadi terang menjelang stasiun ASEAN (Sisingamangaraja), yang tarik – tarikan sambil berlarian berganti peron ketika sampai di stasiun ujung karena takut tertinggal Ratangga hingga yang semangat mengajak keluarga besar piknik dengan menggelar tikar sembari menikmati bekal makan siang di pelataran stasiun. Euforia!


Antusias masyarakat mencoba Ratangga, mengingatkan pada masa awal dibukanya koridor pertama Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta jurusan Blok M – Kota yang dioperasikan PT. Transportasi Jakarta pada 2004 lalu. Gairahnya serupa, ingin tahu, penasaran untuk menikmati, dan mendapatkan pengalaman menumpang Transjakarta, moda transportasi baru di Jakarta masa itu.


Ternyata di pagi hari, penumpang MRT umumnya para pekerja yang berangkat dari tempat tinggal ke kantor atau ke tempat pertemuan yang lokasinya tak jauh dari stasiun MRT. Pada siang hari, giliran pekerja kantor yang lokasi kantornya di sekitar stasiun MRT berjalan berkelompok mengisi jam istirahat untuk mencoba MRT. Beberapa malah sengaja mencari tempat makan siang yang sedikit jauh dari kantor yang dilintasi jalur MRT. Sedang di akhir pekan dimanfaatkan oleh keluarga – keluarga yang mengisi liburan akhir pekan dengan mengajak orang tua, anak, keponakan, dan cucu piknik dengan Ratangga.



Oh iya, karena sudah masuk April, masa uji coba GRATIS tidak berlaku lagi. Programnya diganti dengan pemberlakuan tarif perjalanan dengan DISKON 50%. Pembayarannya menggunakan kartu uang elektronik seperti e-Money Mandiri, Flazz BCA, Brizzi BRI, Tapcash BNI, dan Jakcard Bank DKI. Bisa juga menggunakan kartu JakLingko atau Kartu Jelajah MRT yang dapat dibeli langsung vending machine (mesin tiket otomatis) atau loket di stasiun MRT sebelum naik Ratangga.



MRT Jakarta dibangun dengan pemikiran, tenaga, waktu, uang, dan pengorbanan demi tersedianya sarana transportasi publik yang moderen dan dapat mempercepat waktu perjalanan warga ke tujuan. Tinggalkanlah kebiasaan – kebiasaan egois di rumah ketika menggunakan sarana transportasi publik. Termasuk fasilitas publik yang disediakan di setiap stasiun untuk dimanfaatkan bersama. Ingat orang lain juga! Saleum [oli3ve].
semoga fase 2 cepet kelar hehehe …..
AKU SUKAAAAAA!
Akhirnya transportasi umum di Jakarta mulai terintegrasi. Saat berkelana di Singapura, KL, atau Bangkok, aku selalu menikmati momen berganti line (laluan), berganti moda (dari MRT ke LRT, BTS ke MRT, dsb), dan keluar masuk mall yang terhubung dengan stasiun. Sekarang, setelah Jakarta punya MRT, akhirnya bisa mereview MRT di negara sendiri. Aku kayaknya bakal bisa “puasa” traveling berkat MRT ini. Terbayang sebulan sekali ke Jakarta untuk menjelajah tempat-tempat di sekitar stasiun MRT dan berburu foto.
Berarti polanya sama kayak KRL ya. Pagi-malam weekday ramai pekerja kantoran, lalu weekend ramai keluarga yang piknik. Aku ingin merasakan momen membaur bersama para pekerja kantoran itu hehe.
Semoga Ratangga tak hanya dicinta di awal usia, tapi juga seterusnya.
Aku belum cobain MRT, nih. Pengin banget ngerasain langsung gimana semakin mudah dan nyamannya bepergian ke mana-mana dengan transportasi umum begini. 😀