Tingkat peradaban suatu bangsa dapat ditakar lewat perkembangan budaya yang bisa ditelusuri lewat seni, religi, bahasa, dan ilmu pengetahuan di dalam masyarakatnya. Agar tak lama berpikir dalam – dalam, jika waktu tak cukup banyak saat berkunjung ke suatu daerah, datanglah ke museum daerahnya. Kalau tak ada museum? Jelajahi saja kawasan kota tuanya. Cobalah berbincang dengan warga lokal yang usianya terlihat banyak dan matang berpikirnya. Tak bertemu juga? Nasibmu, Lip!
Oh, masih ada satu cara untuk meresapi makna perjalanan ke kota itu lewat seni mengecap rasa. Nikmati kuliner lokalnya! Belumlah lengkap berkunjung ke Singkawang bila lidah belum menikmati sajian lokalnya. Beberapa yang sempat dinikmati, yang sebagian saya jumpai di tenda kuliner Cap Go Meh karena tak punya waktu banyak untuk mengeksplorasi kota.
Che Hun Tiau
Kesejukan adalah kemewahan yang sangat didambakan saat sengat matahari teramat menusuk ubun – ubun. Karenanya Che Hun Tiau, cendol tradisional Tionghoa memanglah cocok dinikmati sebagai penganan pembuka untuk menyejukkan lidah dan kerongkongan. Tampilan cendolnya berbeda. Lebih serupa so’un, panjang – panjang berwarna putih. Rasa manisnya menambah energi untuk mencari sasaran berikutnya hahaa.
Dalam semangkuk Che Hun Tiau berisi cendol, bubur ketan hitam, kacang merah, serutan es batu disiram kuah santan, gula aren, dan ditambahkan toping kue bongko (kue lapis berwarna hijau). Harganya tak mahal. Saya mendapatkannya di tenda kuliner Cap Go Meh dengan menukarkan 2 (dua) lembar kupon makan @Rp 5.000,-.
Choi Pan
Camilan kukus yang bentuknya serupa pastel ini biasa juga disebut Chai Kwe. Kulitnya terbuat dari campuran tepung beras dan sagu dengan 3 (tiga) pilihan isi bengkoang, kucai, dan talas. Choi Pan paling pas dinikmati selagi panas dicocol ke dalam kuah sambal.
Rumah keluarga Thjia adalah tempat yang tepat untuk menikmati Choi Pan di Singkawang. Mereka membuka kedai di depan rumah dengan 2 (dua) meja panjang. Setiap pengunjung diperbolehkan masuk ke dapur melihat proses pembuatan Choi Pan. Sayang, saya baru mendapatkan informasi ini sepulang dari sana. Esok siangnya ketika kembali ke rumah itu usai melihat perarakan tatung, kedai mereka libur.
Bubur Babi Singkawang
42% warga Singkawang keturunan Tionghoa. Wajar jika di keseharian menu makanannya pun tak asing dengan daging babi. Sebagai penikmat kuliner non halal, tidaklah sopan jika ke Singkawang tak mencicipi seporsi Bubur Babi Singkawang.
Secentong nasi disiram dengan kuah air tajin yang sudah digunakan untuk merebus telur berkali – kali, diberi sayur hijau, potongan daging dan jeroan babi (tergantung selera), telur mata sapi rebus setengah matang, ditaburi bawang putih cincang, cacahan daun seledri, dan kerupuk kulit babi tentunya. Meski namanya bubur babi, boleh koq meminta dibuatkan bubur ikan atau sapi, atau menambahkan potongan ikan/udang/ daging sapi ke dalam bubur babi.
Seporsi Bubur Babi dari Khian Hie yang saya dapatkan di tenda kuliner Cap Go Meh ini boleh ditukar dengan 4 (empat) lembar kupon makan @Rp 5.000,- jika dirupiahkan HANYA Rp 20.000,-. Murah banget dan wuenaaaaak!
Bakso Sapi Singkawang
Selain bubur babi, Bakso Sapi Singkawang juga wajib untuk dicicipi. Usai menonton arak – arakan tatung saya memilih duduk di Rumah Makan Yuin Lay 23 di belakang Masjid Raya Singkawang memesan seporsi Bakso Daging Sapi (mie-nya saya minta ganti dengan kwetiau) dan secangkir Jus Alpukat murni.
Meski bukan penggemar bakso, sajian siang itu tandas dalam sekejap. Rasa daging yang tersaji di semangkok Bakso Sapi 23 Singkawang sungguhlah nikmat untuk dilewatkan. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan pun tak terlalu besar. Semangkok bakso daging dengan tambahan babat seharga Rp 25.000,- dan jus murninya Rp 10.000,- saja.
Bubor Paddas a.k.a Bubur Pedas
Jika Manado punya tinotuan, maka orang Melayu di Sambas dan Serawak punya Bubor Paddas (sering disebut Bubur Pedas). Bubur berisi sayuran yang biasanya dinikmati di rumah – rumah kemudian merambah jadi jualan iseng di depan rumah untuk tetangga yang malas memasak. Jika ingin menikmatinya, Pontianak dan Singkawang, dua kota tempat Bubur Pedas mudah dijumpai.
Saya menampik ajakan makan Bubor Paddas ketika perut baru saja dipuaskan semangkok Bakso Daging Sapi. Tapi karena penasaran ingin tahu wujud dan rasanya, saat transit semalam di Pontianak saya melarikan diri ke Kedai Bubur Pedas Pa’ Ngah. Tempat yang banyak direkomendasikan pejalan sebagai tempat terbaik untuk menikmati Bubur Pedas.
Buburnya berwarna kecoklatan karena pengolahan beras sebelum dimasak menjadi bubur terlebih dahulu ditumbuk lalu disangrai bersama ketumbar dan lada. Ketika dimasak ditambahkan aneka sayuran seperti kangkung, tauge, daun kesum, daun pakis, wortel, dan potongan ubi jalar. Yang wajib hadir di semangkuk Bubur Pedas adalah daun kesum dan beras tumbuk yang disangrai. Tambahan sayuran dan bumbu pelengkapnya tergantung selera yang memasak. Bubur Pedas biasanya disajikan di piring atau mangkuk bersama teri dan kacang goreng.
Sayang, seporsi Bubur Pedas Pa’ Ngah seharga Rp 11.000,- di jelang siang itu menjadi pengalaman pertama berjumpa bubur pedas yang mengecewakan karena keterlaluan sekali asinnya. Entah karena tempat makannya sudah terkenal sehingga kualitas rasanya sudah tak diperhatikan lagi ataukah tekanan darah juru masaknya sedang tinggi.
Ngopi di Singkawang
Di perjalanan malam Pontianak – Singkawang, kami mampir meluruskan kaki di Warung Kopi Mekar di daerah Sui Pinyuh, Mempawah. Saya memesan secangkir kopi hitam. Menurut seorang kawan berjalan namanya Kopi Walet. Saya tak sempat bertanya ke pemilik warung, kopinya terbuat dari sarang walet ataukah mereknya walet karena rasanya tak serupa kopi pada umumnya. Jadilah saya membandingkannya dengan kebiasaan lidah menyesap arabika Toraja dan Gayo. Selain kopi, di warung kopi ini juga tersedia beberapa jenis penganan tradisional seperti Lepat Lau, Lemper, Ketupat Pedas, dan Pengkang sebagai teman ngopi.


Di pusat Singkawang, tak jauh dari Vihara Tri Dharma Bumi Raya ada beberapa kedai kopi yang bisa disambangi. Dari gerobak kopi abang – abang di pinggir jalan yang menyediakan bangku – bangku bakso, hingga warung kopi yang mengkhususkan menjual kopi dan kawan – kawannya.
Dua tempat yang banyak dikunjungi pejalan adalah Toko Kopi Nikmat dan Kopi Tiam Rusen. Kalau kamu penikmat kopi sejati dan senang berimaji dengan rasa, mampirlah ke kedai kopi tempo dulu yang telah ada sedari 1930an; Toko Kopi Nikmat. Namun jika kamu penikmat suasana, Kopi Tiam Rusen pilihan yang baik. Rusen, kedai kopi kekinian bergaya tempo dulu yang dibuka pada awal Desember 2017 di sebuah gedung tua bekas penginapan Rusen. Siang itu saya mampir ke Rusen demi satu cup Es Jeruk Tiga Asam, campuran dari jeruk fermentasi, jeruk limau, dan jeruk kunci.

Kedatangan saya ke Singkawang terlalu sebentar. Tak banyak waktu untuk menjelajahi kotanya dan menikmati kuliner lokal di kedai – kedai makannya. Semoga satu waktu nanti berkesempatan untuk kembali menyusuri jejak masa di kota ini, saleum [oli3ve].
mantep kak..sukses bikin laper..
jujur baru tau kalau ada ketupat pedas..
penasaran sama rasanyah..
ketupat pedas itu .. bayangkanlah makan lemper isinya serundeng yg pedas