they shall not grow old, as we that are left grow old
age shall not weary them, nor the years condemn
at the going down of the sun and in the morning
we will remember them
Pernah membaca atau minimal mendengar sebait puisi di atas?
For The Fallen, ode yang ditulis oleh Robert Laurence Binyon dua minggu setelah benturan pertama pasukan Inggris dan Jerman terjadi di Mons usai pernyataan perang Inggris terhadap Jerman yang dikeluarkan pada 4 Agustus 1914; tanggal keramat yang menandai pecahnya perang dunia pertama (PD 1).
Beberapa jurnalis kadang keliru ketika mengutip potongan puisi di atas dalam tulisan mereka sebagai bagian dari In Flanders Field, puisi yang ditulis oleh John McCrae.
Baik For The Fallen maupun In Flanders Field, adalah puisi yang ditulis semasa PD 1, melekat dalam benak setiap orang yang terseret ke dalam emosi lewat rangkaian kata dalam puisi yang menyentuh ketika mengenang mereka yang pergi semasa perang.
Lalu, dimana letak perbedaanya?
Pada awal September 1914 selagi duduk menikmati birunya laut di puncak bukit Polzeath, Cornwall; pikiran Binyon berlarian mengingat mereka yang terluka, hilang, dan kehilangan karena benturan di Mons (dan benturan – benturan lain yang menyusul pecahnya PD 1). Di Mons, Inggris menderita banyak kerugian. Tentara Inggris banyak yang terluka juga gugur. Peristiwa itu sangat lekat, mengaduk – aduk emosi, dan menginspirasi Binyon menggoreskan bait keempat For The Fallen yang mampir pertama kali di pikirannya; ode untuk menyemangati pasukan Inggris. 6 (enam) bait lainnya menyusul dan disebarkan ke seantero negeri saat diterbitkan di surat kabar The Times pada 21 September 1914.

Sedang In Flanders Field ditulis oleh McCrae yang terinspirasi dari benturan hebat yang terjadi antara Jerman dan Perancis di Ypres, Belgia pada April 1915. Dalam catatan sejarah, benturan di Ypres tercatat sebagai salah satu perang terbesar semasa PD 1. Pada masa itu, McCrae yang bertugas sebagai ahli bedah, merawat tentara yang terluka di garis depan di dalam tenda selama 17 hari. In Flanders Field ditulisnya setelah kepergian sahabat dekatnya yang gugur di Ypres.
Di Inggris, dan di taman – taman peristihatan tentara Inggris dan persemakmuran (Kanada, Australia, dan Selandia Baru), Commonwealth War Grave (CWG) di seluruh dunia, kedua puisi ini tak asing. Ia sering dibacakan untuk mengenang mereka yang pergi semasa perang pada peringatan Remembrance Day yang datang setiap 11 November; ditandai dengan kehadiran bunga – bunga poppy berwarna merah yang disematkan di baju, dirangkai dan diletakkan pada tugu – tugu peringatan, serta dikalungkan di nisan – nisan orang terkasih.
Saya terserap sejak membaca potongan For The Fallen di atas pertama kali pada pertengahan Juli 2006 lalu. Terpatri pada sebuah plat yang ditanamkan pada batang pohon di salah satu sudut Ereveld Ancol, salah satu taman peristirahatan bagi mereka yang pergi semasa perang dunia kedua (PD 2) yang dikelola oleh Oorlogsgravenstichting (OGS) di Indonesia. Meski dituliskan semasa PD 1, bait – bait ode ini akan selalu menyentuh setiap hati yang mengenang hal – hal baik yang ditinggalkan orang – orang dekat dan mereka yang mendahului semasa perang.

Beberapa kawan yang masih suka penasaran dengan kesenangan saya bermain ke tempat – termpat peristirahatan kadang bertanya pakaian apa yang sering saya kenakan ketika bermain ke sana? Apakah ada peraturan yang mengatur cara berbusana pengunjung? Lalu, jika pada peringatan Remembrance Day orang Inggris menyematkan bunga poppy di baju, apakah saya juga mengenakan hal serupa?
Jangankan tempat peristirahatan, berkunjung ke rumah orang lain saja ada aturan – aturan yang mesti kita patuhi bukan? Aturan yang dibuat untuk menjaga itikad baik antara tamu dengan yang empunya rumah, ada rasa saling menghargai.
Karena sering waktu saya lewati berjam – jam saat bertandang ke tempat peristirahatan, maka saya lebih senang mengenakan pakaian yang gampang menyerap keringat dan tak menimbulkan bau asam berkepanjangan; saya memilih celana jeans dan t-shirt, sesekali dengan kemeja. Jika panasnya menyengat seperti suhu udara dalam satu – dua bulan ini, biasanya saya tambahkan jaket tipis biar kulit tak gosong.
Pernah kejadian, saya diundang oleh pengelola Jakarta War Cemetery (JWC) untuk bertemu dengan wakil pimpinan Commonwealth War Grave Commission (CWGC) dari Inggris. Seminggu sebelum jadwal pertemuan yang telah ditentukan, saya bertanya pada si bapak apakah ada aturan berpakaian dan mendapat jawaban, “Nggak mbak, santai aja”. Nah .. jawaban ini membuat saya hanya berpikir untuk mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung dengan bawahan celana Lois jeans, produksi Lois Indonesia, yang memang sering dikenakan. Tahu apa yang terjadi? Begitu sampai ke lokasi pertemuan, saya grogi melihat manusia berseragam militer serta berjas rapi melintasi lapangan berumput hijau di pekarangan JWC. Sejak itu, saya tetap memilih berpakaian casual saja! 😉 Jika datangnya dengan udangan resmi, mesti memerhatikan siapa pengundangnya, kegiatannya apa? Jadi tak salah kostum meski travelling ke kuburan!
Tahun ini menjadi tahun puncak peringatan berakhirnya PD 1. Di Jakarta, sebuah upacara peringatan sederhana digelar di JWC, tempat berisitirahat sekitar 1.100 orang tentara persemakmuran Inggris yang gugur semasa PD 2 pada Minggu (11/11/2018). Dan, saya datang terlambat 5 (lima) hari dari hari seharusnya saya datang ke JWC. Meski melewatkan momen kembang poppy mewarnai JWC dengan merahnya, tak mengapa. Saya tetap saja dengan 3 (tiga) tangkai mawar merah untuk 3 (tiga) lelaki yang gugur di Surabaya pada akhir 1945.
Tiga minggu sebelumnya saya juga datang lebih awal dari hari 73 tahun kepergian Opa Mallaby karena ada jadwal lain yang tak memungkinkan untuk digeser. Tentang ini, sebenarnya tak ada peringatannya, saya saja yang senang bertandang ke peristirahatan si Opa setiap tahunnya. Kemarin itu sekalian menemani seorang kawan yang sangat ingin berkunjung ke tempat peristirahatan di Menteng Pulo, Jakarta itu. Peristiwa kematian Mallaby biasanya diceritakan sedikit pada saat peringatan Hari Pahlawan di Indonesia pada setiap 10 November, sehari sebelum Remembrance Day atau hari pahlawan Inggris. Ada yang tahu sejarah peringatan Hari Pahlawan Indonesia kenapa jatuhnya di 10 November? Yuklah .. kita buka – buka catatan sejarah Pertempuran Surabaya 1945 (lagi).
PD 1 berakhir dengan penandatanganan perjanjian gencatan senjata oleh Perancis, Inggris, dan Jerman. Penandatangan dilakukan di gerbong kereta pribadi Ferdinand Foch yang diparkir di Hutan Compiègne, sekitar 60 km utara Paris pada 11 November 1918 pk 05.00 dengan salah satu isinya menyatakan semua pihak yang berbenturan harus menghentikan tembak menembak hari itu juga tepat pada pk 11.00. Seratus tahun telah berlalu dan mereka yang telah mendahului ke sana tetap dikenang di hari ini, saleum [oli3ve].