Berjalan di bawah lorong pertokoan
di Surabaya yang panas
Debu-debu ramai beterbangan
dihempas oleh bis kota
Bis kota sudah miring ke kiri
oleh sesaknya penumpang
Aku terjepit di sela-sela
ketiak para penumpang yang bergantungan
Lagu Bis Kota – nya Franky & Jane Sahilatua yang popular di era 80an itu menjadi lagu latar mencari kamar untuk beristirahat selama 2 (dua) malam di Surabaya. Jika Franky & Jane menyusuri lorong pertokoan di siang bolong, di tanda waktu yang sama saya sedang menyusuri lorong art deco bangunan ikonik yang bisu dan panjang di kota Pahlawan. Dan kalau Franky & Jane terjepit di ketiak penumpang yang lain, bolehlah mereka bersyukur meski kebauan karena lorong yang saya lintasi senyap, tak tampak siapa – siapa untuk bertanya atau pun sekadar berbagi sesungging senyuman.
Setelah menyusuri Jejak Pertempuran Surabaya 1945, kesampaian juga ‘nginap di Hotel Majapahit Surabaya. Saya mengabaikan cerita – cerita yang dibagikan teman sekantor yang sering merasakan gangguan saat bertugas di Surabaya dan harus pulang malam ke hotel. Pun pengalaman sendiri digodain noni Belanda di toilet saat berkunjung ke sini 6 (enam) tahun lalu.

Di perjalanan ke Surabaya kali ini saya tak sendiri. Ada 6 (enam) kawan berjalan. Karena urusan perjalanan diserahkan ke saya, jadi ya pilih dan memilih tempat tinggal pun pertimbangannya diselaraskan. Seorang kawan masih berharap saya bercanda ketika di perjalanan dari Juanda, saya iseng bertanya, “Bang, kalau misal nih kita beneran menginap di Majapahit, oke kan?”
“Aduh, janganlah .. aku pernah nginap dan pentas di sana. Kalau bisa yang lain deh!”
“Emang kenapa bang? Asik kan nginap di hotel bersejarah.”
Ketika kendaraan kami bener – benar memasuki pekarangan Hotel Majapahit Surabaya, sang kawan mulai terlihat lemes.
“Ini serius Lip? Aku pikir kamu bercanda.”
“Peace, bang.” *lalu ngakak*
Lorong dari lobi ke kamar lumayan panjang. Bagi yang suka deg – deg’an pasti akan terasa lebih panjang lagi waktu untuk meredam debaran jantung agar tak melompat keluar ketika melangkah di situ pada malam hari. Oleh petugas hotel, saya diberi tahu jalan pintas agar tak terlalu jauh berputar. Jalan yang malah lebih sepi karena hanya dilintasi penghuni kamar di lorong itu serta petugas hotel yang sesekali saja lewat.

Saya menggapai lorong ujung di sisi kiri gedung bagian belakang hotel dan mendapatkan kamar Heritage Suite yang nomornya sesuai dengan nomor kunci yang diberikan petugas di lobi. Sebuah kamar dengan luas 57m2 beruang tamu yang dilengkapi sofa, meja kerja, dan tv yang disimpan di dalam lemari sendiri. Perabotan di dalam kamar terbuat dari kayu jati merupakan perabotan hotel yang sudah digunakan sejak 1936. Ada partisi kayu yang membatasi ruang tamu dan ruang tidur yang berisi tempat tidur, lemari, dan cermin oval kuno yang berdiri di pojok kamar. Di kirinya pintu menuju kamar mandi yang lega dengan bathtub, ruang pancuran serta toilet yang terpisah. Sebuah kamar yang sesuai kebutuhan mereka yang sering melakukan perjalanan karena tuntutan pekerjaan. Sesuai pesanan pula, berdiri di dekat taman!

Selain Executive (Heritage) Suite, tipe kamar lain yang tersedia di Hotel Majapahit Surabaya adalah Classic Room, Majapahit (Legendary) Suite, dan Presidential Suite. Majapahit Legendary adalah ruang – ruang tidur yang memiliki keterkaitan dengan jejak sejarah hotel dan kemerdekaan Indonesia di Surabaya. Yang membedakan tiap kamar hanyalah letak, luas, fasilitas yang tersedia di kamar, dan tentu saja tarif menginap semalamnya .. #ehm.



Hotel Majapahit Surabaya dibangun oleh The Sarkies Brothers, keluarga pengusaha perhotelan keturunan Armenia. Adalah Lucas Martin Sarkies, putera Martin Sarkies yang melebarkan jaringan bisnis hotel keluarganya ke Surabaya. Eugene Lucas Sarkies, putera Lucas yang saat itu berusia 7 tahun mendapat kepercayaan untuk meletakkan batu pertama pembangunan hotel pada 1 Juni 1910. Setahun kemudian hotel yang rancang bangunnya dipercayakan kepada J. Afprey yang memberikan sentuhan Dutch Colonial Art Nouveau, mulai beroperasi dengan nama Hotel Oranje.

Oranje diambil dari nama Pangeran van Oranje (William I) yang memimpin pemberontakan Belanda terhadap Spanyol. Pada tahun 1935, Sarkies meminta bantuan arsitek top Hindia Belanda, Charles Prosper Wolff Schoemaker a.k.a Opa Schoemaker untuk merenovasi gedung hotel agar tak ketinggalan jaman. Schoemaker tak banyak mengubah bangunan yang ada. Ia hanya memangkas dua menara di depan hotel untuk membuat perluasan lobi sehingga tampak seperti yang ada dan digunakan sebagai lobi hotel hingga hari ini.
Meski beberapa kali berganti – ganti nama bahkan sempat beralih fungsi pada masa pendudukan Jepang menjadi markas militer dan penjara khusus perempuan dan anak – anak dengan nama Yamato Hoteru; bangunan ini tetap difungsikan sebagaimana tujuan awalnya dibangun oleh Lucas Sarkies; the grand hotel di Hindia Belanda (kini Indonesia).

Hari pertama di Surabaya, saya kembali ke hotel dan masuk kamar pada pk 04.00. Kebayang kan berjalan dari lobi ke kamar di koridor paling belakang? Beruntung jalan bertiga saat mata sudah kriyep – kriyep jadi tak lama setelah masuk kamar langsung lena hingga pk 09.00! hmm .. TIDUR apa PINGSAN? Karena harus berangkat kerja lagi pk 10.30, saya mesti bergegas mandi dan meraup sarapan cepat di Indigo Restaurant di lantai dua hotel dengan memilih duduk di Roof Garden.
Dari meja saya terlihat plakat Insiden Bendera yang terjadi pada 19 September 1945 yang dipasang di fasad ballroom. Insiden yang berawal dari kenekatan Belanda menaikkan bendera merah putih biru di menara Yamato yang membuat arek – arek Surabaya marah besar karena Belanda tak menghargai kesepakatan tentang kemerdekaan Indonesia. Akibatnya, mereka mendatangi Yamato yang menjadi tempat tinggal pasukan Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda.



Hotel Majapahit
Jl. Tunjungan No 65, Genteng, Surabaya 60275
Telp. +62 31 5454333
Email: RESERVATIONS@Hotel-Majapahit.com
Di siang hari pada hari ketiga di Surabaya, saya bersua Sabrina Dian Utami, Promotion and Communications Executive, Majapahit Hotel Surabaya yang menemani berkeliling hotel, berbagi cerita, dan bersedia menjadi tukang potret 😉 . Terima kasih banget mbak Tamiiiii 🙂

Ternyata, tepat di ujung koridor kamar saya, kamar 033. Kamar yang ditempati W.V.Ch Ploegman, dijadikan pusat komando pasukan Belanda, tempat mereka berkumpul di malam Insiden Bendera. Kamar ini memiliki pintu darurat untuk melarikan diri dan evakuasi yang terhubung langsung ke perkampungan di belakang hotel. Kamar khusus lain yang tak jauh dari kamar tidur saya adalah Presidential Suite. Kamar langganan petinggi negara ketika berkunjung ke Surabaya yang juga sering dipesan untuk acara keluarga seperti pernikahan. Dua hari jelang 117 tahun Hotel Majapahit, saya pamit dan meninggalkan hotel menuju Juanda, saleum [oli3ve].
Jadi di kunjungan kali ini nggak ada pengalaman mistis kan, kak? 😀
Aku naksir desain interior ruang kerjanya. Mewah, tapi nggak glamor, malah homey banget. Aku bakal betah begadang kerja atau nulis sambil ngopi-ngopi.
Kan dah temenan kita, jadi saling menghargai 🙂
kamarnya agak remang-remang gitu ya heheh
hemat listrik Dlienz, kalo siang buka gorden aja kalo mo terang 😂
ahhhh memang lorong itu ngeri mbak, apalagi mbak jalan jam 4, iuhhh lorong itu sering terlihat pesta dansa orang ornag belanda dan tamanya … hmmmm merinding disco. ogah kalau disuruh bonbok disini sendiri.
untung mereka bersahabat #lol