Satu pagi di bulan Mei ketika matahari sedang garang – garangnya, seorang perempuan menghentikan langkahnya di depan Gedung Sultan Abdul Samad. Ia merogoh kantong celana jinnya, mengeluarkan dan memeriksa gawai yang bergetar; menggelitik pangkal pahanya. Sebuah pesan baru saja masuk ke gawainya.
+ Mbak, loe dimana? Sudah boardingkah? Gw otw bandara nih.
– Dataran Merdeka, mas 😉
+ Eh buseeet, bukannya pesawat loe pk 11 ya?
Yakin segala sesuatunya berjalan baik – baik saja, dengan santai perempuan itu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Pk 09.30. Dia tak was – was sedikit pun meski otaknya segera disetel untuk berpikir; dirinya harus menggapai KLIA dalam waktu 30 menit (bila tak ingin ketinggalan pesawat!!). Caranya? ENTAH!
Setelah sepagian berjalan dari tempatnya menginap di daerah Ampang karena inginnya yang terlalu kuat untuk bertandang ke rumah Chow Kit di Tangsi, dia pun harus kembali ke Ampang menjemput sebuah koper kecil berisi pakaian kotor untuk dibawa serta ke bandara. Bukannya bergegas, dia masih menyempatkan mampir menikmati sebotol minuman dingin di mini market yang dilewatinya.
Tahun – tahun berlalu. Tanpa disengaja, di satu sore pada awal Maret 2018, perempuan itu kembali ke kota yang sama. Keesokan harinya saat petang mulai turun, perempuan itu (kembali) berdiri di beranda tengah rumah Chow Kit!
Ia tak ingin membuang waktu percuma seperti pada kunjungannya yang lalu. Bersegeralah dirinya memanjat tangga, membuka lebar – lebar salah satu jendela di bagian tengah lantai atas, tempatnya berdiri menikmati pemandangan kota. Didengarnya bisik – bisik di belakang, rumah itu dibangun Chow Kit pada 1907 untuk ditempati perempuan – perempuan kesayangannya. Dirancang oleh A.K. Musdeen, arsitek Anglo Indian, yang memiliki darah campuran India dan Inggris, di kawasan perumahan mewah warga Inggris semasa Malaysia berada di bawah kekuasaan Inggris.
Chow Kit tak lama menempati rumah itu. Setahun setelah selesai, ia menjualnya kepada para pedagang Inggris yang kemudian mengubahnya menjadi penginapan mewah tempat keluarga – keluarga tentara Inggris tinggal ketika menjenguk keluarganya di Kuala Limpur. Penginapan itu diberi nama Hotel Empire, hotel pertama yang berdiri di Kuala Lumpur pada 1909.
Hmm … siapakah Chow Kit yang membuat perempuan itu serupa orang keranjingan?

Chow Kit adalah nama sebuah jalan (dan daerah) yang terkenal di Kuala Lumpur. Macam Tanah Abang, Kebon Sirih, atau Thamrin di Jakarta. Daerah yang dikenal sebagai tempat bertemunya para pengusaha dari segala lapisan, dari pedagang kaki lima (kebanyakan orang Padang) hingga para tycoon! Bahkan, pada era 1980an kawasan ini pun dikenal sebagai wilayah marhaen. Daerahnya orang kecil. Sejarah mencatat, Chow Kit diambil dari nama Loke Chow Kit; tycoon Malaysia abad 19. Ia memiliki banyak usaha terutama di bidang pertambangan dan perniagaan timah. Chow Kit lahir dan besar di Pulau Pinang. Pemillik pusat perbelanjaan pertama dan terbesar di Kuala Lumpur yang berdiri pada 1892; Chow Kit & Co.
Dari jendela kamarnya yang lega di lantai 16 Hilton Garden Inn, perempuan itu leluasa menikmati kawasan Chow Kit. Keriuhan jalan raya di depan pasar Chow Kit, pasar basah terbesar di Kuala Lumpur, terlihat jelas dari kamarnya. Di pagi sebelum dirinya bertandang ke rumah Chow Kit, saat dirinya berkeliling mengayuh sepeda, ia sempat mampir ke pasar itu. Di sana ia bersua dengan banyak orang Indonesia yang berdagang dan berbelanja di pasar serta membeli buah segar untuk dinikmatinya saat bersantai di kamar. Ah ya .. ini satu lagi yang boleh kamu catat tentang Chow Kit. Karena ramainya orang Indonesia di kawasan ini, daerah ini dikenal pula sebagai kawasan orang Indonesia. Bagaimana tidak, sewaktu dirinya berjalan keluar dari Hilton Garden Inn, dijumpainya Rumah Makan Padang Sederhana, Bank Rakyat Indonesia, Gerai Telkomsel, Restoran Ayam Penyet, dan lain – lain. Serupa berjalan ke Bendungan Hilir saja.
Hilton Garden Inn adalah hotel bintang empat yang baru mulai beroperasi pada Desember 2017. Beruntunglah dirinya bisa merasakan aroma benda – benda yang masih baru di dalam hotel yang berdiri di salah satu sisi Jl Tuanku Abdul Rahman ini. Lebih menyenangkan lagi ia mendapatkan kamar dengan pemandangan kota Kuala Lumpur dan ikonnya Petronas Twin Tower. Setiap pagi, ia betah berlama – lama duduk di depan jendela menikmati datangnya matahari dari belakang gedung – gedung pencakar langit sambil menikmati seduhan teh panas.
Hilton Garden Inn
49, Jalan Tuanku Abdul Rahman,
Chow Kit, 50100 Kuala Lumpur
Telp +60 – 3-2778 8888
Queen Deluxe Room yang ditempatinya dilengkapi dengan kamar mandi dan toilet terpisah dalam ruang yang lega dengan peralatan dan perlengkapan mandi yang lengkap. Ada lemari pakaian yang terbuka berikut peti besi untuk menyimpan barang berharga. Tersedia pula barang yang selalu dicarinya bila menginap di hotel; setrika dan pengering rambut elektrik alias hair dyer.
Sebuah meja bulat untuk bekerja dengan bangku kerja ergonomis; aman dan nyaman menyanggah punggungnya yang pernah kejepit. Dari meja kerjanya ia leluasa menikmati menara kembar, siang ataupun malam. Sebuah sofa panjang dengan meja yang sedikit pendek juga tersedia di dalam kamarnya. Bisa dijadikan tempat tidur bila ada yang bertamu malam – malam. Namun dia memilih tak membuka pintu kamarnya untuk orang asing.
Ia jarang berlama – lama di dalam kamar. Bila hari sudah terang, dirinya akan turun mencari tambahan energi dari kudapan – kudapan dan makanan yang tersedia di Garden Grille sembari menikmati lalu lalang warga yang bergegas ke tempat kerja. Satu hal yang sangat dinikmatinya setiap malam saat kembali ke kamarnya yang berada di lantai paling atas Hilton Garden Inn adalah membasuh tubuhnya yang lengket setelah seharian berjalan dengan aroma Crabtree & Evelyn di bawah air pancuran yang hangat.
Bagi tamu yang masih memiliki simpanan energi untuk berolah raga setelah berjalan seharian keliling Kuala Lumpur, ada pusat kebugaran di lobi hotel. Baginya yang seharian telah mengayuh pedal sepeda, ia memilih bersantai saja di kamar. Yang ingin memuaskan rasa dengan camilan, bisa mampir mencarinya di Pavilion Pantry sebelum beranjak ke kamar. Nyemal – nyemil sambil berselancar di dunia maya pun bisa dilakukan di pojok lobi. Di situ tersedia dua perangkat komputer yang bisa digunakan tamu. Bila tak ingin membawa pulang baju kotor ke rumah, cuci saja di Coin Laundry. Setrikanya bisa di kamar sembari nonton TV.
Meski di kamar itu tersedia seperangkat TV berlayar datar dengan saluran program yang beragam, dia hanya sesekali menyalakan TV itu untuk mencari film yang menyenangkan untuk ditonton. Bila tak ditemukannya program TV yang menarik (menurut seleranya), dia akan memilih menenggelamkan dirinya di balik selimut tebal hingga pagi datang.
Hilton Garden Inn berada di kawasan yang strategis, dekat dari destinasi wisata Kuala Lumpur seperti Dataran Merdeka, Petronas Twin Tower, Bukit Bintang, Petaling Street, Aquaria dan lain – lain. Dari depan hotel jalur transportasi ramai. Tinggal pilih mau naik bus, monorail, taksi online, atau berjalan kaki. Atauuuu … menumpang shuttle bus yang disedikan hotel ke beberapa lokasi pada jam – jam tertentu yang jadwalnya bisa dicek di meja resepsionis. Karena perempua itu lebih senang berjalan kaki, ia tak menggubris mbak Chumy, resepsionis yang bertugas saat dirinya pamit dari hotel tempatnya menginap selama 5 (lima) malam, yang menyarankannya untuk menggunakan taksi ke Terminal Bersepadu Selatan. Ia memilih menggeret kopernya ke stasiun monorel Chow Kit dan menikmati berpindah transportasi publik di Kuala Lumpur, saleum [oli3ve].
Jadi, ketinggalan pesawat nggak kak?
Chow Kit memang Indonesia banget! Makanannya pun murah-murah, 4 MYR udah bisa beli kwetiaw haha. Hotelnya oke banget kak, bisa dapet pemandangan Menara Petronas.
ketinggalan pesawatlah tapi puas aja bisa jalan2 *lhoooo*
Gpp, yang penting bahagia 😀