Kegiatan apa yang menyenangkan dilakukan jelang imlek? Kuliner ibab! *ngiiik*
Dulu setiap menjelang imlek saya rajin bermain ke kawasan pecinan Jakarta di Glodok. Kalau tak menemani kawan keluar masuk kelenteng melihat kegiatan menjelang tahun baru Cina, seringnya demi mengurai kangen pada makanan berlemak yang haram tapi enak itu. Kadang pula sebersit hasrat pada sebatang es potong rasa ketan item yang dijual abang – abang di mulut gang Petak Sembilan-lah yang mengantarkan langkah keluar masuk gang di Glodok.

Inipun kembali terjadi seminggu yang lalu. Salahkan Ghana yang sengaja memasang gambar makanan di akun IGnya, sehingga timbul keinginan yang sangat kuat pada Mun Kiaw Mien. Penasaran, saya mengirimkan pesan kepada Ghana agar dia memberi sedikit keterangan tambahan posisi tempat kejadian perkara (TKP). Setelahnya, mencari tahu siapa kira – kira yang waktunya bisa dibajak untuk diajak berkenalan dengan Min Kiaw Mien.
Bermodal kenangan pada gang – gang kecil di sekitar Glodok, informasi TKP dari Ghana serta menggeret seorang kawan yang sering berkeliaran di Glodok; taklah sulit untuk menemukan Wong Fu Kie rumah makan sederhana yang menyediakan masakan khas Haka.

Gang menuju Wong Fu Kie tak terlalu lebar. Kiri kanannya terdapat rumah – rumah tua yang lama tak ditinggali sehingga hanya akar – akar pohon besar yang merambat di dindingnya. Satu dua, dijadikan gudang penyimpanan barang dagangan dari toko – toko kelontong yang ada di sekitar Glodok. Sepintas bila hanya melintas di gang itu, kamu pasti akan berpikir Wong Fu Kie serupa tempat tinggal orang Tionghoa jaman dulu yang membuat dapur di pintu masuk.
Kami bertiga pun begitu, sempat ragu untuk masuk. Tapi angka kembar penanda rumahnya meyakinkan saya untuk melangkah ke dalam ruang makan. Rumah bernomor 22!
Dengan warna kulit yang kecoklatan, kami tampak seperti manusia dari planet lain bagi pengunjung Wong Fu Kie siang itu yang kesemuanya berwajah oriental. Agar pandangan luas ke seisi ruangan dan bisa mengawasi keluar masuk pengunjung; kami sengaja memilih meja kecil yang cukup untuk duduk bertiga di pojok.
Melihat kami hanya membolak – balik menu dan belum juga memesan makanan; Tjokro Indrawirawan, pemilik Wong Fu Kie yang sebelumnya duduk di dekat meja kasir menghampiri meja kami. Koh Tjokro membantu kami untuk memilih menu – menu kesukaan pelanggan Wong Fu Kie dengan menjelaskan jenis, cara penyajian, dan isinya yang menggiring kami memesan 2 porsi Mun Kiaw Mien, 1 porsi Wongsan Cah Fumak, 1/4 porsi Pak Cam, dan 1 porsi Babi Ku Lu Nyuk.

Ketika kami bertanya apakah perlu untuk menambah tiga porsi nasi, dijawabnya,”nasi gampang tinggal teriak, yang penting ini dulu (lauk yang harus dimasak).” Perlu diingat baik – baik, pesanan makanan bisa saja menjadi lama keluar dari dapur saat pengunjung bertambah ramai dan pesanan banyak. Karenanya Koh Tjokro memastikan pesanan yang dicatatnya sesuai yang ingin kami nikmati. Menyenangkan sekali caranya menjelaskan makanan yang tersedia di restoran yang telah ada sejak 1925 ini. Pelayanan yang sudah jarang dijumpai di tempat – tempat makan lain.
Mun Kiaw Mien datang lebih awal disusul Pak Cam, Wongsan Cah Fumak, dan Babi Ku Lu Nyuk. Melihat Mun Kiaw Mien, saya teringat bakmi tumis Aceh yang direbus dengan kuah sedikit saja. Isinya bakmi dengan sayuran, potongan daging babi, bakso ikan, udang, dan pangsit babi. Penampilannya sedikit pucat, tapi rasanya menyenangkan. Sangat pas di lidah saya yang tak terlalu senang dengan rasa masakan yang medok. Bagi yang senang pedas, tinggal menambahkan sambel yang diantarkan ke meja beserta rajangan bawang putih. Pada suapan terakhir, hati saya girang sekali menikmati pangsit babi yang nyesss setelah berendam di dalam tumpukan bakmi.

Pak Cam aka Ayam Rebus dan Babi Ku Lu Nyuk tentu tak asing ya buat penyuka sajian restoran Cina. Yang membedakan di sini adalah rasanya yang asik, dan daging babinya yang tetap renyah meski telah diberi saus. Wongsan Cah Fumak membuat kami penasaran. Penyuka lindung, harus mencoba olahan lindung Wong Fu Kie ini. Potongan lindung yang disalut dengan tepung, digoreng, dan dimasak dengan fumak (semacam sawi) dengan saus khas Hakka yang terbuat dari tape ketan hitam. Ketika masuk ke dalam mulut, lindungnya krenyesss .. krenyesss … tak melempem, dan rasa asem manis dari sausnya meninggalkan sensasi rasa yang menyenangkan.

Penuhnya meja kecil kami membuat berpasang mata dari meja tetangga beberapa kali kepergok sedang berbisik sembari menunjuk – nunjuk penasaran apa saja yang tersaji di atas meja. Yaaa .. begitulah, selain penampakan kami memang sangat kontras; jumlah pesanan yang lebih banyak dari meja – meja lain yang hanya memesan 2 macam menu dan nasi, ditambah makannya yang cepat – karena lapar -, wajar jadi pusat perhatian haha.
Wong Fu Kie
Jl Perniagaan Timur II/22 (Pasar Pagi Lama)
Jakarta Barat 11230
Telp 021-6906374/6924172/6928758
IG: @wongfukie
Wong Fu Kie menyajikan masakan khas Haka, masakan keseharian orang Haka, kelompok masyarakat Cina keturunan Han. Berada di dalam gang yang lebarnya hanya cukup untuk dua orang berbadan sedang berpapasan. Jalan yang sama menjadi perlintasan sepeda, sepeda motor, serta gerobak berisi tumpukan barang yang ditarik oleh pekerja dari toko – toko kelontong di sekitar Glodok. Jika berpapasan dengan mereka, mau tak mau harus menepi sebentar dan memberi mereka ruang untuk berjalan lebih dahulu. Tak ada nama restoran sebagai penanda tempat makan ini, patokannya hanya nomor 22 yang menempel di dinding dengan kesibukan tukang masak di dapur di balik pagar rumah yang tinggi.

Tentu, kami berterima kasih kepada Koh Tjokro yang telah membantu kami menentukan pilihan pada makanan kesukaan pelanggan Wong Fu Kie dengan porsi yang pas untuk dinikmati bertiga hingga piring licin. Tak kekenyangan, tak pula kekurangan. Pas, bahkan masih ada tempat untuk secangkir Kopi Es di Kedai Tak Kie sebagai penutup makan siang, saleum [oli3ve].