Banda Aceh sore itu. Kita duduk melepas penat, menikmati seduhan kopi dari sebuah kedai kopi yang berdiri di salah satu pojok Blangpadang. Pilihanmu es cappucino, sementara aku, memesan kesenangan lidahku; sanger dingin.
“Maghrib sebentar lagi datang. Kita harus bergegas ke Baiturrahman, agar tak terlambat menyambutnya.”

Kuseruput sanger yang tersisa di dalam cangkirku sebelum kubereskan tagihan pada si abang penjaga kedai yang sedari tadi kuperhatikan sebentar – sebentar melirik ke meja kita. Rupanya si abang penasaran, kamu makhluk dari bumi sebelah mana? Kenapa rupanya tanyanya senada dengan penjaga Museum Tsunami yang kita mampiri tadi? Serupa jawabanku di museum, kuberi jawab si abang itu dengan,”PERI[bumi], bang.” Jawaban yang membuat mereka puas – kurasa – karena tak kudengar lagi tanya yang mengikutinya.
Selangkah dua langkah terayun, aku teringat pesan seorang kawan ketika kuutarakan niat untuk kembali ke Baiturrahman,“Eh Nong, jangan coba – coba melangkah ke Baiturrahman bila tak mengenakan busana syar’i!”
“Ouww … aturan dari mana itu?”
“Ah, tak percaya kakak ni. Coba sajalah kakak ke sana, kalau diminta keluar, sudah kuingatkan ya kak.”
Bisa begitu? Tiga kali aku pernah memasuki Baiturrahman, tak pernah kudengar aturan itu. Apakah pengurus masjid sudah berganti? Ataukah setelah dua tahun, dan masjid dibaharui serupa Masjid Nabawi di Madinah dengan payung – payungnya yang bisa dibuka tutup serta pelataran dan lantainya dilapisi marmer dari Italia; ada peraturan baru yang diterapkan pengurus masjid? Lalu, bagaimana pula mereka yang tak punya baju syar’i macam aku, yang ingin berwisata ke ikon sejarah Banda Aceh yang wajib dikunjungi bila bertandang ke Aceh itu? Haruskah [membeli] mengenakan busana muslim?
Di beberapa perjalanan, aku senang bertandang ke masjid dan rumah – rumah ibadah agama lainnya. Misal di Malaysia – tak bermaksud membandingkan, tapi ini kenyataan – pengelola masjid tak sekadar membuat aturan, tak mengenakan busana muslim tak boleh masuk ke dalam masjid. Mereka menyediakan jubah untuk dipinjam dan dikenakan selama berada di kawasan masjid. Jadi sembari melangkah, kubuang segala prasangka tak baik yang berusaha mengganggu itu. Aku tak ingin memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa saja kujumpai nanti. Menyenangkan ataukah mengecewakan. Biarkanlah ia menjadi warna dari perjalanan ini. Jadi, kuayun saja terus langkahku hingga ke Taman Ghairah, taman bersantai keluarga kerajaan yang dibangun pada abad ke-16 semasa Sultan Iskandar Thani; lalu menyeberang ke Baiturrahman.
PEDAGANG dilarang berjualan di pekarangan masjid!
Nah kaaaaan! Di spanduk yang menggantung pada dinding pagar dan kertas yang disampirkan di gerbang jelas terbaca tulisan larangan dan peruntukannya buat siapa.
Di situ tak kutemukan kata – kata .. PEREMPUAN tak berBUSANA SYAR’I dilarang masuk pekarangan masjid!

Tergesa, kukeluarkan syal dari perut Onye, dan menudungi kepala. Engkau pun mengeluarkan mukena untuk sholat dan melangkah di depan. Katamu, cuek aja Lip! Aku mengekor dari belakang, pura – pura tak peduli dengan pandangan aneh dari mereka yang keluar masuk pekarangan masjid dan berpapasan di gerbang yang baru saja kita lewati. Kuingat, empat tahun lalu, saat terakhir masuk Baiturrahman, tak ada keharusan untuk mengenakan busana syar’i atau aku yang bebal pura – pura tak tahu? Jika sekarang ada peraturan yang berbeda setelah masjid didandani, pasti ada alasan – alasan kuat yang menjadi landasan dikeluarkannya peraturan tersebut. Otakku berpikir keras, aku datang dengan hati bersih dan niat baik (menurut pandanganku), bukankah itu yang utama? Kalau sekujur tubuh sudah kututupi tapi hati dan pikiranku kotor, buat apa? Aku berjalan sembari merapalkan doa dalam hati, tak menemui kendala di Baiturrahman.
Kutitipkan sandal di tempat penitipan sandal/sepatu di samping kiri gerbang. Pada bang Nazarudin, salah seorang yang bertugas di sana, kupastikan, apakah boleh berjalan – jalan saja di pelataran luar seperti penampakanku di depannya? Kepala sudah ditutup syal, kurasa tak mengapa untuk berjalan – jalan di luar saja. Bukankah semua sudah tertutup, kecuali lengan yang menganga karena sore itu aku mengenakan kaos berlengan pendek. Dari sebuah rak di belakangnya, Bang Nazarudin mengambil selembar rok panjang berwarna putih dengan corak kembang – kembang pada ujung kakinya,”Tak enak sama yang lain, pakai rok panjang ya.” Melihatku mulai berbincang akrab dengan bang Nazarudin, kau pun pamit untuk sholat.
Sore itu udara Nanggroe cukup panas. Dengan selembar kaos saja, keringat sudah menderas di badan. Gimana rasanya badan ditutupi dengan kain dobel – dobel? Namun dorongan kuat yang mengajak untuk kembali ke Baiturrahman, membuatku abai pada gerah, dan mengenakan rok itu bertumpuk dengan jin.

Kamu tahu, salah satu alasanku ke Baiturrahman untuk memastikan prasasti bersejarah itu tetap dipasang setelah tempatnya dibenahi. Sayangnya, ketika kutanyakan hal itu, bang Nazarudin malah mengantarkanku ke papan – papan informasi di bagian belakang masjid. Beruntung sekali kami bersua dengan bang Naisaburi, salah seorang pengelola masjid. Si abang yang sudah duduk manis di atas motor bersiap untuk pulang, menawarkan diri menemaniku berkeliling masjid dengan syarat,”Dengan kaos lengan pendek begitu, tak nyaman jika dilihat yang lain. Kalau mau, kami ada jubah untuk menutupinya.”
“Aaaah, bolehlah kupinjam bang. Berapa sewanya?”
“Tak perlu sewa, memang jubah ini disiapkan untuk dikenakan mereka yang tak membawa baju tertutup.”

Alhamdulilah dipertemukan dengan lelaki – lelaki baik hati ini. Tak serupa lelaki – lelaki (pun beberapa perempuan) di gerbang tadi yang menatap nanar dan penuh curiga pada perempuan bercelana panjang dengan kaos lengan pendek, dan cueknya minta ampun haha. Dengan cuek pula kubuka rok panjang, kutitipkan di ruang pengelola masjid, dan menggantinya dengan jubah. Petang itu, kunikmati setiap ruang di Baiturrahman dengan hati lega dikawani bang Naisaburi.
Jadiiiii, setelah direnovasi selama dua tahun, kini Masjid Baiturrahman tampak seksi. Pelatarannya dilapisi marmer yang memantulkan bayanganmu ketika melangkah di atasnya. Ada ruang bawah tanah di bawah pelataran itu yang dilengkapi dengan ruang parkir kendaraan bermotor, yang dapat menampung 340 unit sepeda motor dan 250 unit mobil. Tempat wudhu serta toilet untuk lelaki dan perempuan dibuat terpisah, demikian juga tempat penitipan barang, untuk bagian lelaki dijaga oleh petugas lelaki dan bagian perempuan tentu saja dijaga oleh petugas perempuan.

Saat melangkah di selasar di bawah tanah, kami menjumpai pasangan muda – mudi yang sedang melakukan pemotretan. “Bang, kalau yang foto – foto itu sudah sah ataukah masih pra nikah?” Ini di Aceh, kau tahu dan pernah dengarkan aturannya? Menurut si abang, mereka pasangan yang sudah mengucap janji ijab kabul di Baiturrahman. Biasanya, mereka memanfaatkan selasar dan pelataran masjid untuk bergambar. Di ruang bawah tanah itu juga tersedia ruang pertemuan yang bisa dimanfaatkan untuk berkegiatan serta ruang menyusui untuk ibu – ibu yang membawa balita.

Aku melangkah ke ruang wudhu perempuan. Tempatnya megah dan lapang, lantainya .. marmer, licin! Karena tempat itu akan selalu basah, pengelola masjid harus awas dan memasang karpet anti slip, serta menjaga kebersihannya agar tak berlumut, pengap, dan lembab.
Dari ruang bawah tanah, bang Naisaburi mengajakku berjalan ke samping masjid, ke tempat yang ingin kudatangi. Aku melihat beberapa pokok kurma yang ditanam di pekarangan Baiturrahman, tapi bukan pokok itu yang kucari. Aku mencari pokok geulumpang, satu – satunya pokok ketapang yang ditanam di sana, tempat prasasti itu seharusnya dipasang. Kami berjalan berputar, ke samping kiri masjid. Di tempat yang tersembunyi itu, kutemukan apa yang kucari; prasasti Kohler!

Bang Naisaburi pun mengajakku memasuki Baiturrahman, menikmati suasana di dalam masjid sebelum dirinya sendiri pamit setelah kusita banyak waktunya untuk menemaniku berkelliling. Kulihat, makin sore, makin ramai pula pengunjung datang memadati pelataran Baiturrahman. Ada yang datang dengan toga – mungkin usai wisuda – ada yang datang beramai – ramai dengan keluarga, ada yang berpasangan, pun yang berjalan seorang diri serupa diriku yang asik sendiri. Ah dan jangan lupa, ada satu yang tak lepas dari pandangan; beberapa pedagang yang terlihat menjajakan barang dagangannya di dalam lingkungan masjid. Kamu bisa menebak, siapa sebenarnya yang tak memahami aturan, aku ataukah mereka?
Kunikmati sesaat duduk selonjoran di atas ubin dingin di pelataran masjid. Tak lupa kukirimkan pesan padamu, cepat – cepatlah keluar bila sudah selesai urusanmu bercengkerama denganNYA. Aku menunggumu di gerbang Baiturrahman, saleum [oli3ve].
Jadi, utk teman2 kak olive yang ingin ke sini, disarankan masuk dari pintu sebelah Selatan atau bersisian dengan Taman Sari. Lebih mudah menemukan tempat penjaga masjid dan bisa langsung berkonsultasi dengan bang abang tadi. Atau parkir langsung di basement dan bisa menuju ke tempat peminjaman jubah.
So? Lontong kak pipi? Amanlah.. hahahaha
So
Hahaha, setiap tempat mempunyai aturan dan tata laku kak. Dan untuk masjid ini, memang itu ada hadistnya. Menutup aurat adalah salah satunya. Untuk itu, disarankan memakai baju kurung seperti yang disarankan oleh Bang Nazaruddin. Bahkan, Nabi Muhammad SAW melalui sabdanya juga berujar untuk menghindari masjid jika habis makan bawang (dan belum bersiwak). Satu hal lagi yang relevan, Baginda Nabi juga bersabda untuk tidak menggunakan masjid sebagai tempat berniaga. Jadi, lebih amannya memang seperti yang kak Olive lakukan. Minta izin dulu jika belum tahu. Hal-hal seperti penggunaan baju kurung sepertinya juga berlaku di Istiqlal. Aku pernah lihat sendiri ada bule pake piyama motif batik kalau gak salah, ditemani pemandu. Saleum 😉
Jadi ingat pas kita di selangor ya kak. Hihihi, dirimu terlihat feminin dengan jubah dan syal itu.
Alhamdulillah, Baiturrahman sudahh mulai berbenah dengan adanya ruang khusus untuk meminjamkan jubah kepada mereka yang non muslim. Aih, aku udah lama juga enggak ke Baiturrahman, pasca shalat idul fitri kemarin. Ckckckck
feminim tapi jalannya koboi ya Liza 😂
Pantesan, heran juga kok mbak olive punya jubah kayak gitu. Ternyata hihi. Sekarang beda banget ya mbak masjid Baiturrahman..dulu aku bela-belain pakai rok, walapun baju atasannnya agak ketat juga. Agak khawatir gak boleh masuk, tapi ternyata boleh, alias gak ada yang menegur
bukanlah. aku tahu ada jubah di masjid waktu pertama kali tur masjid di Terengganu beberapa tahun lalu. amanlah kalo jalan di Malaysia, nah waktu ke Baiturrahman penasaran 😊
Aih, sudah pernah ke Masjid ini dan sama sekali tidak tahu tentang prasasti Kohler. Bahkan teman yang mengantar juga tidak pernah cerita 😦