Sabang sedari dulu telah menjadi kota pelabuhan terpenting di nusantara. Sebagai pelabuhan dan tempat perlintasan kapal – kapal dagang dunia, Sabang pun menjadi kota pertahanan laut bagi Indonesia. Sabang tak pernah lepas dari ingatan. Meski sesekali masih menyapa kota di ujung barat Indonesia itu ketika cuaca sedang bersahabat, dan lekak – lekuk elok tubuhnya dapat dinikmati dari Lamreh, terkadang, ada rindu yang menggoda untuk kembali menjejakkan kaki di sana. Karenanya, saat menyusun rencana perjalanan pulang ke Aceh, Pulau Weh – pulau tempat kota Sabang berada – pun ditempatkan sebagai destinasi pertama yang hendak dikunjungi saat menjejak di Nanggroe.
Di perjalanan pulang ke Nanggroe kali ini, saya tak berjalan sendiri. Ada Ine sahabat saya. Kami bersua di Aceh pada akhir Desember 2015 lalu. Waktu itu kami sempat menyusuri sebagian kecil Banda Aceh dan Aceh Besar. Dengannya, Aceh selalu menjadi topik yang menarik untuk dibincangkan dan disusuri.
Tugas saya mengutak – atik itinerary. Setelah menetapkan jadwal penerbangan, penginapan, dan mendapatkan informasi jadwal penyeberangan dari pelabuhan Ulee Lheu di Banda Aceh ke pelabuhan Balohan di Sabang; kami memutuskan untuk menyeberang dengan kapal cepat. Kami mendarat di Sultan Iskandar Muda di jelang waktu sholat Jumat. Di hari biasa, kapal cepat dijadwalkan menyeberang ke Balohan pada pagi dan petang hari. Sedang di akhir pekan, jadwalnya menjadi tiga kali. Jumat terhitung dalam jadwal akhir pekan. Kapal cepat terakhir hari itu berangkat pk 16.00. Sela waktu sebelum beranjak ke Ulee Lheu, kami gunakan untuk berjalan – jalan ke Lamreh, Krueng Raya.
Express Bahari beranjak tepat waktu dari Ulee Lheu. Dengan kapal cepat, Balohan dapat dicapai dalam 45 menit. Sedang dengan kapal lamban, waktunya lebih lama 1 jam 15 menit. Kami membeli tiket executive seharga Rp 80.000,- per penumpang dewasa. Meski sudah masuk akhir pekan, tak banyak yang menyeberang ke Sabang petang itu. Bangku – bangku di ruang executive banyak sekali yang kosong sehingga penumpang yang ada bebas saja untuk memilih dan menempati bangku -bangku yang tersedia.
Balohan telah banyak berubah. Dulu, keluar dari dermaga menuju tempat parkir berderet omprengan menuju Sabang. Kemarin, saat berjalan dari dermaga ke parkiran, tempat itu tampak lowong. Ruang kedatangan dan keberangkatan pun terlihat lebih bersih dan tertata dengan baik. Igor Hendrasmoro dari The Pade Dive Resort yang berkabar akan menjemput kami di Balohan 20 menit menjelang kapal merapat, berdiri tepat di tangga keluar saat kami meyembul dari dalam perut kapal.

Sabang di siang hari sepi. Pasar, kedai – kedai, dan tempat – tempat usaha lainnya akan menutup pintu dan jendelanya dari pk 12.00 hingga pk 14.00. Di hari Jumat, mereka beristirahat lebih cepat, pk 10.00. Tak hanya pekerja kantor yang beristirahat, kota Sabang pun mengistirahatkan diri dari kegiatan di siang hingga petang hari. Beruntung sekali kami sampai pada saat yang tepat, ketika kedai – kedai sedang berbenah untuk melayani di petang hari.
Sebelum meneruskan perjalanan ke The Pade Dive Resort, tempat untuk beristirahat selama di Sabang, kami mampir ke Kedai Kopi Pulau Baru untuk mengisi perut yang mulai kosong. Kami memesan menu spesial di kedai ini, Mie Jalak. Serupa mie rebus yang dihidangkan di dalam piring beling coklat – bukan di mangkuk – tersaji dengan telur rebus setengah matang yang masih bulat utuh meski sudah lepas dari cangkangnya. Di atasnya ditaburi daun seledri dan semacam daging yang dipotong kecil – kecil berbentuk dadu. “Itu daging, campuran ikan dan ayam,” kata pelayannya ketika saya memastikan terbuat dari apa butiran dadu itu. Meski tampak polos, Mie Jalak memiliki aroma dan rasa yang khas … laut.

Selesai makan, kami mampir sebentar ke Toko Kue Pelangi dan toko kelontong di seberang Kedai Kopi Pulau Baru membeli sekotak pia, air mineral, serta beberapa makanan kecil untuk camilan di kamar bila lapar.
The Pade Dive Resort jauh dari keramaian. Berada di balik gunung. Tempat yang tepat bagi pejalan yang ingin menepi dan menyepi. 45 menit perjalanan dari Sabang melalui jalan beraspal yang berkelok – kelok, menembus hutan dengan pemandangan laut, pepohonan, dan sesekali perkampungan. Jika malam hari perut lapar, dan tak punya bekal camilan; masih bisa mengandalkan menu dari restoran untuk mengganjal perut.
Hanya 3 (tiga) kamar dari 13 (tiga belas) kamar di The Pade Dive Resort yang terisi malam itu. Setiap kamar dilengkapi dengan kamar mandi di dalam dengan air panas dingin yang mengalir dari pancuran serta perlengkapan untuk mandi. Dari 3 (tiga) tipe kamar yang tersedia: Garden View, Beach View, dan Indoor Room; kami menempati salah satu dari 4 (empat) kamar dengan beranda menghadap ke laut. Tak banyak yang ingin dilakukan sesampai di resort. Kami hanya turun sebentar ke bibir pantai bermain dengan senja, menikmati matahari tenggelam dari beranda kamar, dan beristirahat.

Hari kedua di Sabang adalah hari berbasah – basah. Alangkah ruginya datang ke Sabang tanpa turun ke laut. Igor, master dive The Pade akan menemani diving dan snorkeling seharian itu. Usai sarapan, kami turun memilih perlengkapan untuk menyelam, dan mengikuti briefing singkat mengenai petunjuk serta aturan menyelam di Diving Center. Pantai di depan The Pade Dive Resort penuh dengan karang. Bukanlah tempat yang tepat untuk berenang, sekadar berbasah – basah boleh – boleh saja dengan memerhatikan ketinggian gelombang.
Di Pulau Weh, ada sekitar 20 (dua puluh) titik selam yang menggoda para penyelam untuk diselami. Untuk diving, tersedia operator selam dengan jasa pemandu, penyewaan alat selam juga pelatihan selam. Tak ingin repot, kami memilih memanfaatkan paket dan fasilitas diving yang sudah tersedia di The Pade Dive Resort.


Pagi itu, Igor membawa kami ke Teluk Pria Laot untuk menyelam di underwater hot spring atau lebih akrab disebut titik volcano. Dari The Pade Dive Resort, kami berkendara 20 menit ke Iboih, dan melanjutkan 25 menit perjalanan dengan speedboat untuk menggapai lokasi penyelaman. Sesuai namanya, di sini, para penyelam dapat menikmati gunung berapi bawah laut yang masih aktif dengan sajian biota – biota laut yang ada di sekitarnya. Sejam di titik volcano, kami melaju ke darat, ke tempat yang tak ramai dan hanya disinggahi dua speedboad penyelam, merapat ke sisi utara pulau Rubiah untuk menyeruput kelapa muda.
Hari sudah siang, perut mulai keroncongan tapi air laut masih melambai – lambai untuk diselami. Kami kembali melaju dengan speedboat menuju tempat snorkeling sebelum berlabuh di depan Rubiah yang ramai untuk mengisi perut dengan ikan dan udang bakar, serta sate gurita. Dengan perut penuh, kami kembali ke The Pade Dive Resort. Sebungkus ikan bakar menjadi buah tangan yang menyenangkan untuk menu makan malam. Setelah bersih – bersih, kami sempatkan untuk beristirahat sebentar (tepatnya tidur pulas).

The Pade Dive Resort
Jl. Balik Gunung, Gampong Iboih
Kecamatan Suka Karya, Kota Sabang 23518
Weh Island, ACEH, Indonesia
Telp : +62-652-3324500
Fax : +62-652-3324400
Direct And SMS Line : +62853-7029-9896, +62812-6941-188, +62852-7113-3935
Email : info@thepade.com/sales@thepade.com/fo@thepade.com
Belumlah lengkap menjejak di Pulau Weh bila tak berkunjung ke Tugu Km Nol di Indonesia bagian barat. Maka, menjelang senja, kami pergi ke Tugu Km Nol menanti matahari turun ke peraduannya. Saat ini, Tugu Km Nol masih dalam tahap renovasi sehingga hanya bisa dinikmati dari tepi jalan raya. Agar tak sia -sia, kami memilih masuk ke salah satu kedai yang ada di kaki tugu, memesan kelapa muda, menunggu senja pulang. Ada baiknya datang ke tugu di pagi atau petang hari. Jika datang saat petang, dan segeralah beranjak ke penginapan selepas senja karena kawasan di sekitar tugu akan berubah senyap dalam sekejap.
Pagi kedua di Sabang, kami turun ke kota melihat kegiatan warga di Pasar Kota Bawah Sabang, menikmati brunch di Kedai Mie Sedap, dan menyeruput secangkir sanger di kedai kopi Aci Rasa. Sebelum kembali bermain air di depan resort – dan bersiap untuk kembali ke Banda Aceh – kami pun menyempatkan menjenguk Opa Jacques Carissa dan kawan – kawannya di Kherkof Merbabu.

Transportasi adalah sarana penting selain akomodasi yang harus dipikirkan ketika memilih berwisata ke Pulau Weh. Selama di Sabang, kami memilih menyewa kendaraan operasional yang tersedia di The Pade Dive Resort untuk bepergian. Lebih murah dan lebih mudah untuk mengatur jadwal berjalan. Namun jika resort sedang ramai, perlu mempertimbangkan untuk mencari alternatif kendaraan lain agar tak mengganggu aktifitas di resort dan agenda perjalanan dengan menyewa mobil atau motor. Aku Sabang Kamu! Senang bisa kembali ke Pulau Weh, saleum [oli3ve].
Sabang dan dive di sana adalah salah satu wishlist yang belum terlaksana sampai sekarang. Btw, untuk arusnya bagaimana di sana kak? Termasuk mild atau agak ‘keras’?
mild to strong kk, rerata sedang kecuali yg mendekat ke laut lepas ada arus kuat
Noted. Harus siap-siap tenaga yang cukup buat ngayuh aja ya kalau gitu?
arrrrrgghhh kak Olivee.. aku iri kali lah baca ginian..ntar bisikin aku ya kak biar gini juga 😀
Ya ampun, kak Oliv. Aku kalau nginep di situ akan memaksimalkan waktu banget di resort. Bangun siang, mandi dan sarapan dengan santai, menulis, blogwalking, browsing internet, nonton TV, paling hanya sesekali keluar kalau udah bosen.
Rinduuu pulau Weh…sudah lama gak kesana
hahahha jaman gua backpaceran ke sabang naik motor cuma bisa intip2 resort ini, kita mah nginepnya nenda
Lumayan banyak ya titik selamnya.. Tak ada foto underwaternyakah?
Wah mantap sekali mbak, saya tahun lalu juga dive di Sabang … dive operatornya Rubiah Tirta Dive Center. ~>> https://mwkusuma.wordpress.com/2017/02/19/dive-trip-sabang-1/
Resort nya kelihatan pewe, aku kalo nginep disitu pengen males-malesan bangun siang, nulis blog, nulis jurnal, baca buku aja deh kayaknya 😀
Cheers,
Dee – heydeerahma.com